New turun dari bus terakhir. Ia kemudian berjalan masuk ke dalam gang besar yang tak terlalu sepi. New bisa mendengar suara anak-anak yang tengah bermain menikmati siang yang cerah. Suara itu makin jelas terdengar tatkala kakinya melangkah mendekati gedung sekolah dasarnya dulu.
Langkahnya terhenti. Gedung itu tak banyak berubah. Hanya catnya saja yang tampak baru diperbarui. Tampak sekelompok anak laki-laki tengah bermain bola, seakan-akan tengah bermain di stadion Rajangmala.
New tak sadar jika ia tersenyum melihatnya. Betapa bahagianya melihat anak-anak dapat tumbuh dengan perasaan bahagia. Bukan berarti ia tak mensyukuri hidup dan masa lalunya; Ia sungguh bersyukur masih banyak orang baik yang membuatnya tersenyum. Walau rasa syukur itu lama kelamaan berubah menjadi rasa sadar diri bahwa sebenarnya ia tak pantas mendapatkan itu semua.
New mengeluarkan kunci dari kantongnya. Rumah neneknya yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun itu tampak berdebu---jelas. New pikir, ia harus membersihkannya dahulu sebelum benar-benar bisa beristira-
Eh?
New terkejut menemukan fakta bahwa pintu tak dikunci. Suara pintu berdecit, memekakan telinga. Berbeda dengan di luar, di dalam rumah segalanya tampak bersih, seperti baru saja dibersihkan.
"New?"
Suara itu...
***
Mobil Tay berhenti tepat di depan rumah yang tampak tua, tetapi masih kokoh. Itu rumah nenek New. Ia melihat ke sekitar, tampaknya New belum tiba. Namun, ia ingin memastikannya sendiri. Siapa tahu kan anak itu tertidur di dalam?
Tay memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari rumah New. Ia tak ingin usahanya menyusul sejauh ini sia-sia, hanya karena lelaki itu sadar jika ia dikuntit oleh Tay. Ia mulai paham jika New benar-benar menghindarinya.
Seiring kakinya berjalan, tiap langkahnya seolah membuka kembali tiap-tiap kenangannya semasa kecil dulu. Di desa kecil ini, ia menghabiskan waktu dengan bahagia. Sama seperti anak-anak yang tengah bermain bola di sana. Tanpa beban, tertawa begitu lepas.
Ia jadi teringat pertemuan pertamanya dengan New. New menangis sendirian, bersembunyi di balik tembok belakang sekolah. Sebelumnya, Tay lihat sendiri jika anak itu dirundung oleh sekelompok anak yang badannya jauh lebih besar darinya. 3 lawan 1, sudah bisa dipastikan siapa yang kalah, bukan?
Pada hari itu, Tay pikir seharusnya ia pura-pura tak tahu saja. Ia tak seharusnya repot-repot membantu orang, apalagi orang yang tak ia kenal. Namun, ada sebuah perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Entah rasa simpati atau mungkin iba. Ketika New pergi---diiringi gelak tawa anak-anak yang merundungnya---Tay bergegas menghampiri mereka. Ia memberi ketiga anak itu sedikit pelajaran. Entah ia dapat kekuatan dari mana, ketiga anak itu akhirnya lari terbirit-birit dengan ketakutan.
Ia tahu, apa yang telah ia lakukan akan mendatangkan masalah baru. Namun, ia justru merasa lega. Ia lalu segera menghampiri New yang tengah menangis. Anak itu menunduk, menyembunyikan wajahnya sambil memeluk lutut.
"Hei?"
Bocah itu mendongak sambil buru-buru menyeka air matanya begitu sadar Tay berada di hadapannya. Tay berusaha untuk memberikan senyum ramah padanya, walau sebenarnya ia sedikit canggung.
"Orangnya sudah kuberi pelajaran." Kalimat itu akhirnya Tay pilih sebagai kalimat pembuka percakapannya. Pasti anak itu merasa heran---terlihat jelas dari raut wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfection x TayNew (END)
Fiksi Penggemar(Boy x boy, homosexuality content. Please be a wise reader.) New tahu, apa yang ia rasakan adalah kesalahan. Ia... jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Laki-laki---dan ia juga laki-laki. Oleh karenanya, New mulai menghindari Tay. Ia takut, perasaann...