Amara menatap kosong pada chandelier cantik di atas kepalanya. Sama kosongnya dengan ruang keluarga besar yang lebih mirip aula tempat ia membaringkan tubuhnya saat ini di atas karpet berbulu tebal.
Dua hari kemarin Amara tidak berangkat ke kantor ataupun kampus. Ia sedang ingin lalai dari semua kewajiban rutinnya. Sesekali bermalas-malas diri, mengosongkan waktu untuk merenungkan hidup. Dan lalainya berlanjut hingga hari ini.
Setengah hari ini Amara habiskan dengan termenung. Bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? Semenjak pertemuan pertamanya dengan pria bernama Arga Pramudya itu pikiran Amara hanya berpusat padanya. Sampai-sampai Amara terlupa dengan tujuan awalnya bekerja di perusahaan sang Mama. Sampai-sampai Amara terlupa dengan pertengkarannya dengan Anggita. Arga berhasil mengalihkan dunianya. Bahkan Arga, berhasil membuat Amara berpikir tentang eksistensi Tuhan. Arga ... berhasil menembus kedalaman hatinya, lebih dari Alvaro, cinta pertamanya.
Sayangnya, perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan. Dan lagi-lagi, Amara harus mendengar bunyi retakan hatinya yang mulai patah. Tepat hari ini, pria itu akan berta'aruf dengan wanita bernama Marisa, cinta pertamanya. Sesuai info dari Mama Jihan. Dan apa yang Amara lakukan untuk menyelamatkan hatinya? Tidak ada. Siapa juga yang berani melawan takdir Tuhan. Lagipula Arga sudah terang-terangan menolaknya. Walaupun memang salahnya Amara yang tidak berani berterus terang kalau sebenarnya bukan hubungan pura-pura yang ia inginkan.
"Mbak, makan siang sudah siap dari tadi. Mbak Amara tidak lapar?" Pertanyaan dari Ibu Susi membuyarkan lamunannya.
"Lagi nggak selera, Bu." Amara bangkit dari rebahannya. Menyejajarkan diri dengan Ibu Susi yang tengah duduk sopan di atas karpet.
"Mbak Amara lagi nggak enak badan? Sepertinya dari kemarin di rumah saja."
"Enggak, Bu. Saya cuma sedang butuh istirahat saja. Emm, Bu Susi jangan lapor ke Mama ya."
"Baik, Mbak." Ia mengangguk menurut. "Mbak Amara mau spa dan massage?"
"Eh, enggak usah, Bu. Saya cuma ingin santai aja di rumah."
"Selamat datang, Mbak Anggita." Ibu Susi langsung berdiri menegakkan badan begitu melihat kedatangan Anggita di rumah itu setelah menghilang dua minggu. Amara juga ikut berdiri lalu segera menghampiri adik kesayangannya itu.
"Gita!" Spontan Amara memeluk erat Anggita yang terkejut karena diperlakukan seperti itu. "Lo kemana aja?"
Anggita segera mengurai pelukan singkat itu. Menatap baik-baik pada wajah sang kakak yang sama sekali tidak terlihat menyimpan amarah ataupun dendam padanya.
"Mbak ... " lirihnya lalu menunduk diam.
"Lo kemana aja? Lo nggak angkat telpon, nggak jawab WA. Mbak kepikiran, Gita." Amara mengeratkan kedua tangannya di bahu sang adik.
"Mbak ... lo nggak marah sama gue?" tanyanya dengan wajah heran.
"Ya ampun, Git. Cuma masalah gitu doang ngapain juga gue marah."
Bukannya bernapas lega, Anggita justru memundurkan langkah dengan kesal. Ternyata strateginya untuk membuat sang kakak benci padanya tidak berhasil.
"Gue udah ngatain lo. Gue udah ngomong kasar. Gue udah bersikap jalang. Gue udah ngerebut Alvaro dari lo. Gue udah ngebajak mobil hasil jerih payah lo. Dan lo masih maafin gue? Lo nggak marah sama gue?" tanyanya tidak terima.
"Ya enggaklah, Git. Gue emang kesel sama lo. But that's it. Cuma sebatas itu. Gue sayang —"
"Stooop!" jeritnya memotong penjelasan sang kakak. "Cukup! Gue nggak mau denger lagi kata-kata 'sayang' dari lo. Gue muak sama lo! Sama sikap egois lo! Sama kemunafikan lo! Gue muak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)
RomanceDania Amara Rielta yang selalu punya takdir sad-ending dalam hal percintaan, sedang dipepet waktu untuk mencari calon suami. Tidak muluk-muluk pintanya pada Tuhan atas kriteria laki-laki yang akan menjadi jodohnya. Namun siapa sangka Tuhan justru me...