26. Unfinished [horror]

291 37 0
                                    

Galeri seni menjadi salah satu lokasi tujuan studi tur semester ini. Seharusnya bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan, kalau saja galeri yang kami kunjungi bukanlah tempat beraura suram begini.

"Patung ini dibuat pada tahun 40-an dan memperlihatkan bagaimana beratnya kehidupan rakyat saat itu."

Di depan sana, si pemandu sedang bercerita mengenai sebuah patung berbentuk pria yang sedang memegang cangkul. Posisinya membungkuk seperti tengah mengolah lahan, ekspresinya terlihat seperti orang kelelahan dan tepat di sampingnya berdiri patung tentara sedang memegang senapan.

Sekarang mengerti kan, kenapa kubilang tempat ini suram?

Sebagian besar karya seniㅡpatung dan lukisanㅡyang ada di galeri ini menguarkan aura gelap yang menyiratkan kesakitan dan siksaan. Jujur saja, ini bukan jenis tur yang bisa kunikmati dengan tenang.

"Kata orang, makhluk halus tertarik ke benda yang menyerupai manusia."

Aku terkesiap keras, nyaris berteriak keras. Bulu kudukku merinding dan terlebih lagi, di pelaku berbisik tepat di samping telingaku. Siapa yang tidak kaget kalau diperlakukan begitu di sebuah galeri seni beraura horor? Di sebelahku, Elvan hanya terkikik geli. Tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun.

"Jangan nakut-nakutin!" Aku berbisik keras, tanganku otomatis mencubit lengannya. "Aku tahu itu! Nggak perlu diingetin!"

"Astaga, Liv!" Elvan beringsut menjauh seraya mengusap-usap lengannya yang baru saja menjadi korban. "Lagian serius banget sih, merhatiin itu patung. Nanti kesambet loh!"

"Elvan, Livia, jangan mengobrol!"

Mendapat teguran itu, aku menyorot Elvan dengan tatapan menyalahkan. Cowok tengil itu langsung berpura-pura sibuk membaca brosur di tangannya.

Pemandu berpindah ke patung yang lain yang ada di sebelah patung petani. Pada pandangan pertama, aku langsung dibuatnya mengernyit.

"Patung ini menyerupai seorang pemuda yang sedang melarikan diri dari penjajah." Si pemandu mengarahkan tangan ke bagian pinggang patung tersebut. "Seperti yang kalian lihat, patung ini belum selesai."

Di mataku, patung ini entah kenapa terlihat lebih menyedihkan dibanding patung petani tadi. Wajahnya terlihat ketakutan, dengan mata membelalak dan mulut terngaga seolah sedang berteriak meminta pertolongan. Tangan kanan terjulur ke depan, seperti berusaha menjangkau sesuatu tak kasat mata yang bisa memberinya bantuan. Namun, yang membuatnya terlihat lebih miris adalah bagian pinggang ke bawahnya masih berupa batu utuh.

"Pemahatnya ditembak mati penjajah ketika sedang mengerjakan patung ini."

Perkataan pemandu barusan refleks membuatku mengalihkan pandangan dari si patung.

Merinding gila!

Bahkan sejarah pembuatannya pun sangat mengerikan. Dari sekian banyak tempat beraura seni, kenapa pihak sekolah malah memilih galeri ini?

"Baiklah, mari kita ke lukisan yang ada di sana."

Pemandu galeri seni mengisyaratkan kami untuk berpindah ke bagian selanjutnya. Aku dan teman-teman bergerombol mengikutinya di belakang.

"Tolong ...."

Suara itu membuatku berhenti melangkah. Buru-buru kutolehkan kepala ke arah suara, takutnya ada teman sekelasku yang tiba-tiba kesakitan dan memerlukan bantuan.

Begitu berbalik, tidak ada seorang pun. Ternyata aku adalah orang paling belakang dalam rombongan.

"Tolong aku."

Aku membeku. Di depanku hanya ada patung tadi, patung pemuda yang belum selesai. Suara meminta tolong itu tidak lagi terdengar, tapiㅡaku tidak tahu apa ini cuma perasaankuㅡkenapa mata patung itu terlihat seperti sedang tertuju ke arahku?

Ah, ini pasti hanya salah satu ilusi optik. Aku mengalihkan pandangan dan menghela napas pelan. Ilusi adalah penjelasan yang logis. Sama seperti mata lukisan monalisa yang terlihat seperti mengikuti pergerakan orang yang mengamatinya, patung ini pastinya juga begitu.

Aku ingin segera pergi, menjauh dari sana dan kembali bergabung bersama teman-temanku. Sepertinya yang aku memang salah dengar. Aku harus menyalahkan Elvan karena sempat-sempatnya mengatakan hal mengerikan seperti tadi. Meski menyerupai manusia, patung tetaplah benda mati. Benda mati tidak akan bisa melakukan apa pun untuk menyakiti makhluk hidup yangㅡ

"Ya, kau. Orang yang bisa mendengarku."

Kepalaku kembali tertoleh tanpa bisa dikendalikan. Patung itu masih bergeming di tempatnya, tapi perasaan seolah ada yang memperhatikanku terasa semakin kuat.

"Benar. Kau."

Tidak salah lagi, suara barusan memang berasal dari si patung setengah jadi. Perasaanku saja, atau benda itu memang baru saja mengedipkan matanya? Aku kembali merinding hebat. Ingin kabur, tapi kakiku seolah terpaku ke lantai.

"Ya, begitu." Suara kekehan pelan. "Bagaimana rasanya tidak bisa kabur dari tempatmu?"

Matanya seperti memandangiku tajam.

"Aku ingin kaki."

Suaranya terdengar lebih dekat dan semakin dekat tiap detiknya. Kalimat selanjutnya seolah diucapkan tepat ke telingaku.

"Beri aku kaki."

Terdengar suara teriakan melengking.Setelah itu semuanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

TEMA 26:
"Benda seni yang tidak selesai dikerjakan"

***

Niatnya mau bikin cerita horor, tapi ... ga tau deh serem apa enggak (.-.)

Sebenarnya aku tipe yang terlalu takut buat ngebayangin hal2 horor untuk dijadiin bahan cerita T.T
Takut ntar kebawa-bawa mimpi /plakk

/pas lagi ngetik author's note ini di hape, layar laptop di depanku tiba-tiba mati! WHYYY?/

Btw, tinggal 4 hari lagi!

Salam,
Tia

26 November 2019
22.00 WIB

[End] YestodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang