Jarak lebih pendek di Labirin. Tetap saja, pada saat Rose berhasil memandu kami ke Times Square, aku merasa kami kurang lebih sudah lari sepanjang jalan dari New Mexico. Kami memanjat keluar dari ruang bawah tanah Marriott dan berdiri di trotoar diterangi sinar matahari cerah musim panas, memincingkan mata ke arah lalu lintas dan kerumunan orang.
Aku tidak bisa memutuskan yang mana yang kelihatan kurang nyata—New York atau gua kristal tempat aku menyaksikan satu dewa mati. Aku memimpin jalan ke sebuah gang, tempat aku bisa mendapatkan gema yang bagus. Lalu aku bersiul selantang yang kubisa, lima kali.
Semenit kemudian, Rose terkesiap. "Mereka indah sekali!"
Sekawanan pegasus turun dari langit, menukik di antara gedung-gedung pencakar langit. Blackjack paling depan, diikuti oleh empat teman putihnya.
Yo, Bos! Dia bicara dalam pikiranku. Kau hidup.
"Iya," kataku padaya. "Aku beruntung karena itu. Dengar, kami perlu tumpangan cepat ke perkemahan."
Itu keahlianku! Ya ampun, cyclops itu ikut denganmu? Yo, Guido! Punggungmu kuat nggak?
Guido si pegasus mengerang dan mengeluh, tapi akhirnya dia setuju mengangkut Tyson. Semua mulai naik—kecuali Rose. "Yah," katanya padaku, "kurasa sampai di sini."
Aku mengangguk tidak nyaman. Kami berdua tahu dia tak bisa pergi ke perkemahan. Aku melirik Seulgi, yang sedang pura-pura sangat sibuk dengan pegasusnya.
"Makasih, Rose," kataku. "Kami tak mungkin bisa melakukannya tanpa dirimu."
"Aku nggak bakalan melewatkannya. Maksudku, kecuali saat kita hampir mati, dan Pan ...." Suaranya menghilang/
"Dia bilang sesuatu soal ayahmu." Aku teringat. "Apa maksudnya?"
Rose memilin-milin tali tas punggungnya. "Ayahku ... Pekerjaan ayahku. Dia semacam pengusaha terkenal."
"Maksudmu ... kalian kaya?"
"Iya."
"Jadi, begitu caramu membuat si sopir membantu kita? Kau cuma menyebut nama ayahmu dan—"
"Ya," Rose memotongku. "Jimin ... ayahku seorang pengembang. Dia terbang ke seluruh penjuru dunia, mencari lahan yang belum dikembangkan." Dia menghela napas dengan gemetar. "Alam liar. Dia—dia membelinya. Aku benci itu, tapi dia menggalinya dan membangun subdivisi-subdivisi butut dan pusat-pusat perbelanjaan. Dan sekarang setelah aku melihat Pan ... kematian Pan—"
"Hei, kau nggak bisa menyalahkan dirimu karena itu."
"Kau nggak tahu yang terburuk. Aku—aku nggak suka membicarakan keluargaku. Aku nggak mau kau tahu. Maafkan aku. Aku seharusnya nggak bilang apa-apa."
"Hei," kataku. "Nggak apa-apa. Dengar, Rose, kau melakukan sesuatu yang hebat. Kau memandu kami melalui labirin. Kau berani sekali. Aku cuma akan menilaimu dari situ. Aku nggak peduli apa yang dikerjakan ayahmu."
Rose memandangku penuh terima kasih. "Yah ... kalau kapan-kapan kau pingin nongkrong bareng manusia fana lagi ... kau bolehh meneleponku atau apalah."
"Eh, iya. Pasti."
Dia merapatkan kedua alisnya. Kurasa aku terdengar tidak antusias atau apa, tapi bukan begitu maksudku. Aku cuma tidak yakin bagaimana mengatakannya dengan teman-temanku di sekitarku. Dan kurasa perasaanku jadi lumayan campur aduk beberapa hari terakhir.
"Maksudku ... aku mau."
"Nomorku nggak ada di buku," katanya.
"Aku sudah punya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventures of Demigod #4 (k-idol)
AdventureJimin pindah sekolah (lagi!)... tapi kali ini lebih parah, ketika orientasi murid baru, Jimin sudah bikin kekacauan. Belum-belum Jimin sudah berhadapan dengan monster yang menyamar jadi cheerleader. Dan Jimin pun sebenarnya sudah kehabisan waktu, p...