10

1.7K 103 7
                                    

21+

****

Aku berjalan cepat menuruni tangga dari lantai dua menuju parkiran gedung ini. Hari ini aku pulang kampus lebih awal, rasanya bahagia tiada tara bisa kembali bertemu dengan kasurku. Beberapa hari kemarin aku terjaga hingga larut. Ketika kak Ve di rumah sakit, aku dan kedua orangtuaku bergantian untuk menjaganya. Jadilah waktu tidurku lebih sedikit, di tambah lagi paginya aku harus berangkat ke kampus. Kepalaku pusing karena jam tidur yang tidak teratur.

Sejak kak Ve sakit, papa jadi lebih sedikit berbaik hati padaku. Papa mengizinkanku membawa mobil kesayangannya. Tadinya aku ingin memanfaatkan mobil papa untuk ku ajak balap bersama Sendy tapi ku urungkan karena mataku yang tak bisa di ajak melek.

Brak! Kinan menabrak bahuku. Aku melotot mengibarkan bendera perang. Bisa-bisanya manusia segede gini gak keliatan. Dia pikir aku mahkluk tak kasat mata apa. Marahku pada manusia tengil itu.

"Sorry, Shan. gak liat, gue buru-buru." Aku belum sempat menjawabnya tapi cowok sialan itu sudah kabur secepat kilat. Kalo dipikir-pikir rasanya aneh juga si Kinan langsung pergi begitu saja, biasanya dia akan bertanya banyak hal tentang kakakku, Syukurlah tingkat kebucinan dia sudah terkikis sepertinya. 

Aku kembali melangkahkan kaki, sesekali mengacak rambutku pelan, rasanya bosan juga kemana-mana sendiri, biasanya ada kak Ve di sampingku, sayangnya dia belum di perbolehkan ke kampus oleh kedua orang tuaku. Kak Ve cuti untuk waktu yang lama, saat ini kak Ve sedang fokus pada kesembuhannya terlebih dahulu. Dan soal si Farish, setiap hari aku mencarinya, semenjak kejadian itu, Farish hilang seperti di telan bumi. Aku tidak pernah melihatnya lagi.

Langkahku sampai di depan mobil, aku melempar pelan tasku ke jok belakang, dan menaruh beberapa buku di samping kursi kemudi.

"Hah, ngantuk banget gue. Astaga." Aku menenggelamkan wajahku pada stir mobil, memijat keningku sebentar yang terasa pening.

Handphone di saku celanaku bergetar aku kembali menegakkan tubuhku. Dengan malas aku membuka ponselku, ternyata chat dari kak Ve yang memintaku untuk membelikan bakso. Setelah membalas chat dari kak Ve, aku segera menyalakan mesin mobil namun ketukan pada kaca mobil membuatku terlonjak kaget.

"Boby!" Aku hanya melihatnya sekilas tanpa berniat untuk membuka kaca mobilku. Dia terus menatapku dengan wajah sendunya membuatku jadi tidak tega. Aku juga melihat luka lebam di wajahnya, mau tidak mau akhirnya aku membukakan pintu untuknya.

Sejujurnya aku ingin sekali memeluknya, mencium bibirnya yang lama tidak ku sentuh. Beberapa kali aku menghindarinya untuk meredakan sakit yang pernah dia buat, namun nyatanya aku semakin merindukannya.

Sejak kejadian di rumah sakit, kata sayang yang dia ucapkan padaku rasanya seperti duri. Hingga detik ini aku belum bertanya sedikitpun soal dia dengan kakakku. Aku sendiri belum siap jika harus mendengar apa yang seharusnya tidak ingin ku dengar, semisal kejelasan hubungannya dengan kakakku.

"Ada apa?" Tanyaku singkat. Boby tak menjawab, dia malah duduk di sampingku tanpa izin. Aku memukul bahunya karena sudah merusak buku-bukuku.

"Keluar nggak? Sinting lo ya, ini buku gue, lo dudukin." Boby langsung mengangkat tubuhnya untuk mengambil tumpukan kertas milikku.

"Hehe, Sorry." Ucapnya tanpa berdosa.

"Shan..." Boby meraih tanganku, namun aku menepisnya begitu saja. Aku tidak mau lagi luluh oleh sentuhannya. Aku masih ingat bagaimana dia menatap kakakku dengan tatatapan yang sama seperti saat ini.

"Cepat, Bob. Lo mau ngomong apa, gue ngantuk." Aku berbicara tanpa melihat wajahnya, memberi peringatan untuk tidak bertele-tele.

"Shania," Boby kembali menggenggam tanganku, aku menepisnya lagi dengan sedikit kasar, bukannya terhempas dia malah menarikku ke dalam pelukannya. Aku meronta, namun Boby malah semakin memelukku erat.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang