Jilid 29/62

1.6K 18 0
                                    

Dalam waktu satu tahun saja, Puteri Milana yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu melahirkan dua orang anak kembar, dua orang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Tentu saja mereka merasa bahagia sekali, akan tetapi Puteri Milana menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia harus mengurus dua orang anak! Padahal dia adalah seorang puteri istana yang lebih biasa bermain pedang dari pada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng yang menjadi suaminya itu penuh kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka kedua orang itu mengurus anak-anak mereka dengan baik, dengan cara gotong royong.

Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia memiliki bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mukjijat, tenaga sakti Inti Bumi yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Bu-tek Siauw-jin, dan dia bahkan pernah menerima ilmu mukjijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian Kiam-sut yang sangat sukar ditemukan tandingannya.

Akan tetapi Puteri Milana juga bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super Sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayahnya dan ibunya, bahkan dia memiliki kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu perang. Dia mewarisi ilmu perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya ketika dia berada di istana, dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang pamannya, yaitu kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak-pemberontak di perbatasan utara itu.

Memiliki ayah dan ibu seperti ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu semenjak kecil menerima gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka dengan dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri Milana tidak lupa untuk memberi pelajaran 'bun' (sastra) kepada dua orang anak itu agar mereka kelak tidak menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan mengandalkan kekuatan badan dan menjadi orang-orang kasar.

Pondok mereka yang sederhana itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah menjadi kebun sayur dan bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung oleh jurang dan bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak mungkin didatangi orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Hanya dengan menyeberangi telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang telaga dapat mengunjungi pondok suami isteri pendekar ini.

Oleh karena itu, jarang sekali ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang anak kembar mereka mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang mengajak dua orang anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga agar mereka jangan sampai terasing dari hubungan antara manusia. Para penghuni dusun-dusun di seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak kembarnya ini, yang mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang mengasingkan diri.

Setelah Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun, mereka telah menjadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh melebihi anak-anak biasa. Orang tua mereka memberi nama dengan mengambil huruf Jit (Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka.

Akan tetapi dua orang anak itu pun mulai mengerti keadaan dan mereka mulai merasa heran dan penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu, padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-orang jahat yang menjadi buronan. Padahal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin.

Rasa penasaran ini membuat mereka pada suatu malam, sehabis makan malam, mengajukan pertanyaan kepada ayah bunda mereka.

"Ayah, mengapa kita hidup di tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal di tempat yang banyak ditinggali manusia lain seperti di dusun-dusun itu?" kata Jit Kong.

"Kenapa kita tidak pernah pergi melakukan perjalanan mengunjungi kota-kota besar dan kota raja seperti yang sering Ibu ceritakan? Katanya Ibu adalah cucu kaisar, kenapa sekarang tinggal di tempat sunyi begini?" Goat Kong menyambung. Karena Jit Kong lahir lebih dulu, maka Goat Kong ini terhitung adik, akan tetapi dia tidak pernah mau menyebut kakak kepada Jit Kong.

Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata ini Milana sudah menyerahkan jawaban-jawaban itu kepada suaminya. Maka Gak Bun Beng kemudian memegang tangan kedua orang puteranya, menarik mereka dan merangkul mereka, lalu berkata, "Ketahuilah, anak-anakku. Kita memang sengaja tinggal di tempat sunyi, jauh dari keramaian. Bukankah tempat ini indah sekali dan kita hidup bahagia? Di tempat-tempat ramai, terutama sekali di kota-kota besar, terdapat banyak keributan, terdapat banyak orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lain."

"Akan tetapi kita tidak perlu takut!" Jit Kong berkata.

"Benar, perlu apa kita belajar silat kalau takut orang jahat?" Goat Kong menyambung.

Gak Bun Beng tersenyum dan diam-diam dia bangga melihat sifat gagah itu ada pada diri dua orang puteranya. "Sama sekali kita tidak takut, anak-anakku. Akan tetapi perlu apakah kita mendekati tempat-tempat di mana orang-orang saling bermusuhan? Di sini kita hidup tenang dan damai."

"Akan tetapi aku ingin melihat banyak orang di kota besar!" kata Jit Kong.

"Dan aku ingin melihat kaisar!" kata Goat Kong.

Melihat suaminya kewalahan menghadapi desakan dua orang anaknya, Milana lalu turun tangan membantu dan berkata, "Jit Kong dan Goat Kong, kalian masih terlalu kecil untuk pergi ke tempat ramai dan bertemu dengan orang-orang jahat. Belajarlah baik baik dan kalau kalian kelak sudah dewasa, sudah memiliki kepandaian tinggi, baru tiba saatnya kalian boleh mengunjungi tempat-tempat ramai itu. Aku sendiri yang akan membawa kalian ke kota raja dan menghadap kaisar."

"Benar kata Ibumu," Bun Beng menyambung dengan hati lega. "Dan ingatlah, di dunia ini banyak berkeliaran manusia-manusia jahat. Oleh karena itu, kalian pun tidak boleh mengunjungi dusun-dusun di seberang tanpa ayah ibumu. Mengertikah kalian?"

Dua orang anak itu mengangguk, tetapi saling lirik karena hati mereka sesungguhnya tidak merasa puas. Betapa pun juga, janji ibu mereka itu amat menarik hati dan mereka makin rajin berlatih ilmu silat sehingga ayah bunda itu merasa girang sekali.

Pada suatu pagi, seperti biasanya, Jit Kong dan Goat Kong bermain-main di telaga, mendayung sebuah perahu kecil. Mereka seharusnya mencari ikan, akan tetapi karena semenjak pagi tadi mereka memancing namun belum juga memperoleh hasil, mereka lalu bermain-main dan mandi di telaga. Mereka menanggalkan pakaian mereka di atas perahu dan dari perahu itu mereka terjun ke air yang jernih, berenang ke sana-sini sambil tertawa-tawa, berkejaran, menyelam dan saling siram dengan air.

"Hayo kita berlomba mengejar perahu kita!" Jit Kong berkata sambil tertawa-tawa dan mengusap air dari mukanya.

"Baik, dan yang kalah nanti harus mendayung perahu sampai ke pinggir ketika pulang!" jawab Goat Kong.

Mereka lalu berenang ke arah perahu mereka, kemudian secara bersama-sama mereka mengerahkan tenaga menggunakan tangan mereka mendorong perahu yang meluncur cepat ke tengah telaga. Mereka lalu berenang secepatnya mengejar dan berlomba. Keduanya memang pandai renang, terlatih sejak masih kecil. Akan tetapi, sejak kecil Jit Kong memang memiliki dasar tenaga lebih besar, akan tetapi Goat Kong memiliki dasar gerakan yang lebih cepat, maka ketika berlomba mengejar perahu ini, gerakan Goat Kong lebih cepat sehingga kakaknya tertinggal setengah badan ketika dia lebih dulu memegang perahu dan meloncat ke dalamnya sambil berpegang kepada bibir perahu.

"Aku menang...!" soraknya, mentertawai Jit Kong.

"Kau berenang seperti ikan saja!" Jit Kong kini juga meloncat ke dalam perahu. Mereka tertawa-tawa.

Akan tetapi, tiba-tiba Goat Kong memegang tangan kakaknya. "Jit Kong, lihat! Ada perahu...!"

Jit Kong cepat memutar tubuh dan memandang. Benar saja. Ada sebuah perahu yang didayung cepat ke tengah telaga, datang dari seberang dan agaknya menuju ke tempat tinggal mereka.

"Wah, lihat pakaian mereka!" Jit Kong berbisik.

Dua orang anak ini mendekam di atas perahu mereka dan memandang. Perahu itu ditumpangi oleh dua orang yang berpakaian seperti tentara, bertubuh tinggi besar dan mereka mendayung perahu dengan kuat sehingga perahu itu meluncur cepat sekali.

"Pakaian mereka seperti gambar tentara...," bisik Goat Kong.

"Celaka, agaknya Ayah benar-benar seorang buruan dan mereka tentu datang hendak menangkap Ayah," kata Jit Kong. Dua orang anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.

"Kita harus halangi mereka...," bisik Goat Kong. Kakaknya mengangguk dan bagaikan dua ekor ikan saja, dua orang anak yang masih telanjang itu lalu meluncur ke dalam air dan berenang cepat menghadang perahu yang meluncur dari depan itu. Ketika perahu meluncur dekat, keduanya cepat menyelam.

Dua orang yang berpakaian perwira itu mendayung perahu dan memandang ke arah perahu kecil itu dengan heran. Perahu kecil itu kosong, tidak ada orangnya dan di dalam perahu terdapat tumpukan pakaian!

"Eh, tadi seperti kulihat ada dua orang bocah di perahu itu," kata perwira yang tua, yang rambutnya sudah putih semua.

"Benar, Souw-ciangkun, saya tadi pun melihatnya. Entah di mana mereka sekarang," kata perwira yang lebih muda, yang bertubuh tinggi besar.

"Ehhh...!" "Heiiiii...!"

Mereka berdua berteriak dengan kaget karena tiba-tiba saja perahu mereka itu miring! Mereka berusaha untuk menekan perahu, akan tetapi percuma saja karena tiba-tiba perahu itu terbalik dan mereka ikut terjatuh ke dalam air.

"Tolooooonggg...!" Perwira tua yang disebut Souw-ciangkun tadi berteriak.

Dia adalah seorang perwira yang gagah perkasa, akan tetapi di darat. Kalau di air, dia sama sekali tidak bisa apa-apa, karena berenang pun dia tidak mampu, maka tentu saja dia menjadi ketakutan dan gelagapan, kedua tangannya meraih-raih udara kosong dan mulutnya berteriak minta tolong sebelum kepalanya tenggelam.

Perwira tinggi besar itu dapat berenang, tetapi juga tidak ahli. Maka ketika dia berenang mendekati dan mencoba untuk menolong temannya, perwira tua itu malah menangkap lengannya dengan panik dan hal ini menghalangi temannya untuk berenang sehingga keduanya tenggelam!

Jit Kong dan Goat Kong yang sudah kembali ke perahu mereka, memandang ke arah dua orang yang sedang bergumul itu dengan mata terbelalak.

"Kita tidak boleh membunuh orang," kata Jit Kong.

"Ya, dan mereka itu tidak pandai renang," sambung Goat Kong.

"Kalau dibiarkan, tentu mereka akan mati."

"Karena itu, kita harus menolong mereka."

Kedua orang anak itu lalu terjun ke air, menyelam dan berenang ke arah dua orang perwira yang sudah mulai lemah gerakan-gerakan mereka itu, sebentar timbul sebentar tenggelam seperti dua ekor ayam terjatuh ke air. Ketika kedua orang anak itu berhasil menjambak rambut mereka dan membawa mereka berenang ke perahu kecil itu, mereka berdua sudah tidak bergerak lagi, perut mereka agak kembung dan mereka tidak sadarkan diri.

Melihat mereka pingsan, Jit Kong dan Goat Kong terkejut dan amat ketakutan. "Celaka, mereka sudah mati!" teriak Jit Kong.

"Hayo cepat bawa pulang, biar diobati Ayah!" kata Goat Kong.

"Tapi... tapi kita tentu akan mendapat marah. Kita telah membunuh orang!"

"Biar pun begitu, kita harus memberikan tanggung jawab. Seorang gagah selalu akan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya."

Semua ucapan yang keluar dari mulut dua orang anak itu adalah hasil ajaran orang tua mereka. Maka, biar pun mereka merasa sangat takut dan mengira bahwa dua orang itu telah mati sehingga mereka akan menerima kemarahan ayah mereka, namun mereka tidak ragu-ragu lagi untuk cepat mendayung perahu pulang dan setibanya di tepi telaga, Jit Kong sudah meloncat dan lari secepatnya menuju ke pondok, sedangkan Goat Kong menjaga perahu di mana dua orang perwira itu masih menggeletak tak bergerak dengan wajah pucat.

Tak lama kemudian Gak Bun Beng datang berlarian bersama isterinya, mengikuti Jit Kong yang datang memberi tahu kepada mereka tentang dua orang perwira itu. Ketika melihat mereka menggeletak pingsan, Bun Beng cepat menelungkupkan mereka dan memaksa air keluar dari dalam perut mereka, kemudian mengurut dada dan punggung sampai mereka siuman kembali.

Begitu mereka siuman dan perwira yang sudah berusia lanjut dan rambutnya putih semua itu melihat Milana, dia segera mengenalnya dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu. "Ahhh, sungguh beruntung sekali hamba, akhirnya dapat bertemu dengan Paduka Puteri!"

Kakek ini memang merasa terkejut, terheran-heran dan juga girang bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dapat bertemu dengan orang yang dicari-carinya itu! Mereka berdua adalah dua di antara para perwira yang diutus oleh Pangeran Yung Ceng untuk mencari Puteri Milana.

Dari para penghuni dusun di seberang mereka mendengar bahwa di tempat itu tinggal dua orang suami isteri pertapa yang masih muda dan aneh, bersama dua orang anak mereka. Mendengar betapa suami isteri 'pertapa' ini sudah mengasingkan diri selama beberapa tahun, dua orang utusan itu merasa heran dan mereka lalu menggunakan sebuah perahu untuk pergi menyelidiki. Akan tetapi mereka bertemu dengan Jit Kong dan Goat Kong sehingga hampir saja mereka mati tenggelam di telaga.

"Siapakah kalian?" Milana bertanya sambil mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang akan mengenalnya sebagai puteri istana.

"Maaf, hamba telah berani datang mengganggu. Hamba adalah Souw Ciat, dan dia ini adalah Ciang Sim To," kata perwira tua sambil menunjuk kepada temannya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut ketika mendengar ucapan Souw Ciat. Baru sekarang dia juga mengenal Milana yang berpakaian sederhana seperti seorang wanita petani biasa itu.

"Hamba berdua adalah perwira-perwira pengawal dari istana, hamba diutus oleh sri baginda kaisar mencari Paduka Puteri Milana yang mulia."

Mendengar ini, Gak Bun Beng lalu berkata, "Sebaiknya mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan baik."

Dua orang perwira itu kini pun teringat kepada pendekar ini yang pernah menjadi tokoh terkenal di kota raja, maka Souw-ciangkun lalu menjura, diikuti oleh temannya, kepada pendekar itu sambil berkata, "Terima kasih atas kebaikan Taihiap."

Mereka berempat diikuti oleh dua orang anak kembar, segera menuju ke pondok di mana Jit Kong dan Goat Kong menyalakan perapian sehingga dua orang perwira itu dapat menghangatkan tubuh mereka dan mengeringkan pakaian mereka. Kemudian, kedua orang anak kembar yang sudah biasa bekerja membantu ibu mereka itu lalu menghidangkan arak kepada dua orang tamu itu yang memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata terheran-heran dan juga penuh curiga.

"Kalau tidak berkat pertolongan dua orang Kongcu ini, tentu kami telah tewas," kata Ciang Sim To kepada Bun Beng.

Pendekar itu menarik napas panjang. "Kami telah mendengar penuturan kedua orang putera kami, Ji-wi Ciangkun, dan harap Ji-wi suka memaafkan mereka yang masih anak-anak sehingga belum dapat membedakan orang. Mereka mengira bahwa Ji-wi datang dengan niat buruk, maka mereka telah lancang menggulingkan perahu dan menangkap Ji-wi."

"Jit Kong, Goat Kong, hayo cepat minta maaf kepada kedua Ciangkun ini!" Milana berkata kepada kedua orang putera kembarnya.

Jit Kong dan Goat Kong cepat melangkah maju menghadap dua orang perwira itu, menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, membungkuk dan berkata, "Harap Ji-wi Ciangkun sudi memaafkan kami berdua." Mereka mengeluarkan kata-kata yang sama dan hampir berbareng, tanda bahwa ucapan itu keluar dari hati mereka sendiri dan bukan saling mengikuti saja.

Souw-ciangkun dan temannya cepat membalas dan perwira tua ini berkata kagum, "Ah, sungguh hebat sekali! Ji-wi Kongcu ini masih begini muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian hebat sehingga kami dua orang perwira bangkotan telah dibuat tidak berdaya! Haha-ha, betapa bahagianya hati hamba menyaksikan putera-putera Paduka yang begini tampan dan gagah perkasa!"

"Ji-wi Ciangkun, sekarang ceritakanlah tentang tugas Ji-wi mencari aku, dan mengapa pula kaisar mengutus Ji-wi," kata Milana.

Pangeran Yung Ceng demikian bersemangat untuk menemukan dan memanggil Puteri Milana sehingga setiap rombongan tentu dibawai surat untuk Sang Puteri. Demikian juga Souw-ciangkun tidak ketinggalan membawa sepucuk surat. Untung bahwa surat itu disimpannya di dalam kantung kulit sehingga tidak basah ketika dia terjatuh ke air telaga tadi.

Dengan sikap hormat dia menyerahkan surat itu kepada Milana yang segera membuka dan membacanya. Tidak salah memang. Surat itu adalah surat dari pamannya, putera kaisar yang masih amat muda itu. Biar pun Yung Ceng dan Yung Hwa jauh lebih muda dari pada Milana, namun dua orang pangeran muda ini termasuk pamannya, karena mereka adalah putera-putera kaisar, sedangkan dia sendiri adalah cucu kaisar. Di dalam surat itu, jelas Pangeran Yung Ceng mengharapkan kedatangannya di istana karena di istana telah timbul hal-hal yang membutuhkan bantuan Puteri Milana untuk ditanggulangi.

Milana mengerutkan alisnya. "Yang mengutus Ji-wi bukan sri baginda kaisar, melainkan putera mahkota," tegurnya.

"Harap Paduka maafkan hamba berdua," jawab Souw Ciat. "Karena sri baginda kaisar telah menyerahkan pedang kekuasaan kepada pangeran mahkota, maka kekuasaan beliau tiada bedanya dengan kekuasaan sri baginda kaisar, maka hamba menganggap bahwa yang mengutus hamba juga dari baginda kaisar sendiri."

"Hemmm, apakah yang terjadi di istana maka kaisar menyerahkan pedang kekuasaan kepada Paman Pangeran Yung Ceng?"

Souw-ciangkun lalu menceritakan keadaan di kota raja dengan jelas. Sebagai seorang panglima pengawal yang setia dia ikut merasa lega dan gembira atas tindakan pangeran mahkota itu maka dia dapat bercerita dengan jelas tentang diberantasnya-penyelewengan penyelewengan oleh Pangeran Yung Ceng, betapa para thaikam ditangkapi dan dihukum, dan banyak pula pembesar korup yang dihukum.

"Ah, mengapa terjadi hal demikian? Apakah kesalahan para thaikam itu?" tanya Milana dengan heran.

"Mereka telah menguasai istana dan selalu membujuk sri baginda kaisar melakukan pemecatan-pemecatan terhadap pembesar-pembesar yang setia. Bahkan Jenderal Kao Liang yang telah menjadi panglima besar itu pun dipecat."

"Ehhh...?!" berita ini amat mengejutkan hati Milana dan Bun Beng.

Mereka berdua mengenal siapa adanya Jenderal Kao Liang, seorang yang amat setia dan tangguh, yang sangat besar jasanya terhadap kerajaan, yang sudah berkali-kali menyelamatkan kerajaan dari ancaman pemberontakan-pemberontakan, bahkan yang terakhir, lima enam tahun yang lalu, juga menyelamatkan negara dari pemberontakan dua orang Pangeran Liong.

"Dia dipecat?" Milana menegaskan dengan hati penasaran.

"Bukan dipecat begitu saja, melainkan dipensiun dan diperkenankan mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa hal itu adalah merupakan pemecatan dan pengusiran secara halus." Souw-ciangkun memberi penjelasan.

"Kalau Paman Pangeran Mahkota sudah melakukan tindakan tegas itu dan para pembesar lalim telah dibasmi, perlu apa lagi menyuruh Ji-wi mencari aku?" tanya Milana yang merasa enggan untuk pergi ke kota raja mencampuri urusan pemerintah.

Souw-ciangkun lalu menceritakan tentang ancaman pemberontakan yang agaknya akan dicetuskan oleh Gubernur Ho-nan. "Maafkan hamba, sesungguhnya hamba tidak tahu jelas akan persoalannya, dan tentu saja pangeran mahkota tidak menceritakan kepada hamba. Akan tetapi karena hamba melaksanakan tugas mencari Paduka, maka hamba memperlengkapi diri dengan pengetahuan akan hal-hal itu sehingga kalau Paduka bertanya hamba sudah dapat memberi penjelasan. Mengenai pemberontakan yang agaknya akan dilakukan oleh Gubernur Ho-nan, dimulai ketika Pangeran Yung Hwa menjadi utusan kaisar mengunjungi Propinsi Ho-nan." Souw-ciangkun lalu menceritakan segala yang telah didengarnya tentang peristiwa yang terjadi atas diri Pangeran Yung Hwa dan Gubernur Ho-pei. Sedangkan Milana dan Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Malah akhir-akhir ini terdapat pula berita bahwa Gubernur Ho-nan agaknya hendak bersekutu dengan mata-mata dari Nepal, dan mengumpulkan banyak orang pandai di lembah Sungai Huang-ho. Oleh karena itulah agaknya maka pangeran mahkota hendak minta bantuan Paduka."

Milana saling pandang dengan suaminya. Mereka maklum bahwa keadaan tentu amat gawat, maka sampai Pangeran Yung Ceng mencari Milana. Meski mereka sekeluarga telah menjauhkan diri dan tidak mau berurusan dengan persoalan dunia, akan tetapi mendengar adanya ancaman terhadap kerajaan, tergerak juga hati Milana.

"Baiklah, Souw-ciangkun. Kalian berdua sudah berhasil menemukan aku dan sudah menyampaikan surat Paman Pangeran Yung Ceng. Sekarang kembalilah kalian ke kota raja, dan permintaan dari istana itu akan kami pertimbangkan."

Souw-ciangkun memandang dengan wajah berseri, lalu bertanya, "Apakah Paduka tidak menitipkan surat jawaban kepada pangeran mahkota melalui hamba?"

"Tidak usah. Sampaikan saja secara lisan bahwa aku telah menerima surat beliau dan bahwa permintaan itu akan kami pertimbangkan. Begitu saja. Sekarang, harap kalian suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan memberitahukan kepada orang lain kecuali pangeran mahkota tentang kami dan tempat tinggal kami."

Dua orang perwira pengawal itu memberi hormat, minta diri dan mereka diantar oleh Bun Beng sendiri yang menggunakan perahunya karena perahu mereka tadi entah hanyut ke mana. Mereka diantar sampai ke seberang telaga, lalu pendekar itu kembali pulang dan segera dia memperbincangkan persoalan panggilan dari kota raja itu bersama isterinya.

Akhirnya, oleh karena Milana berkeras untuk membela kerajaan yang terancam bahaya sebagai puteri istana, diambillah keputusan bahwa puteri itu akan berangkat sendiri ke kota raja melihat keadaan. Gak Bun Beng tinggal di rumah bersama putera mereka. Pada keesokan harinya, berangkatlah Milana yang berganti pakaian ringkas dan membawa pedangnya sehingga kini dia berubah dari seorang wanita petani menjadi seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah.....

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang