The Disaster

1.6K 58 2
                                    

*** Camera, Rolling, and Action***

Take 7: The Disaster

*************************************

Riley (POV)

The Disaster.

Bar macam apa yang menamai diri The Disaster? Dan kenapa Raja Es Sean Philander memilih tempat ini untuk bertemu denganku? Hanya dengan mendengar nama barnya saja aku sudah tahu: bakal ada bencana malam ini.

Aku melangkahkan kaki mendekati pintu bar. Baru sampai pintu saja aroma alkohol sudah menguar keluar. Kukernyitkan dahi ketika melihat sang penjaga pintu yang gemuk menatapku dengan garang. Sialan. Dia pasti mengira aku adalah orang yang gampang mabuk.

Aku segera melewati orang itu dan melenggang masuk ke dalam bar. Mataku menelusuri isi bar. Aku harus segera menemukan Sean sialan yang mengajakku bertemu di sini. Kenapa harus aku yang mencarinya? Harusnya dia yang mendatangiku.

“Hei, Riley.” Seseorang menepuk pundakku dan aku nyaris melonjak karenanya. Terdengar tawa renyah Nathan dari belakang.

Bloody hell. Kau benar-benar mengagetkanku.”

Nathan hanya tersenyum riang, kemudian bertanya, “Sebenarnya dari mana asalmu, sih?”

“Memangnya kenapa?”

Dia menggaruk lehernya. “Aksen Britishmu itu kental sekali. Dan, yah, kau tahu apa yang wanita katakan: aksen British-English itu lebih seksi daripada American-English.”

Aku tak bisa menahan tawa ketika mendengar ocehan Nathan yang lebih sedikit mengarah pada curhatan. Dia ikut tertawa dan merangkulku layaknya sahabat lama.

“Ya, kan? Ya, kan? Ayolah. Aksen Britishmu itu bisa membuat para wanita jatuh cinta.”

“Untuk seorang blasteran Amerika-Inggris yang sudah hidup di Inggris selama lima belas tahun, kuakui, menghilangkan aksen Britishku memang menyusahkan.” Kunaikkan kedua bahuku. Aku bisa merasakan tatapan kagum sekaligus penasaran dari Nathan. “Sekarang, aku harus membiasakan diri ngobrol pakai aksen Amerika. Orang Amerika bakal menertawakanku kalau aku bicara pakai aksen Inggris.”

Nathan tersenyum. “Aksen Amerikamu parah, tahu. Siapa pun yang mendengar pasti bakal langsung tahu kalau kau dari Inggris.”

Aku langsung tertawa. “Damn. Berarti aku gagal.”

Kami berjalan menuju salah satu meja di ujung ruangan. Di sana, Sean sudah duduk dengan manis dengan segelas ­beer di hadapannya. Dia segera mengangkat gelasnya dan menaikkan sebelah alis ketika melihatku dalam rangkulan Nathan. Aku hanya mendiamkan sapaannya karena aku malas menggubris Sean. Hahaha, menyenangkan sekali mendiamkannya begitu.

“Kau marah padaku, Sir?” Sean menyenggolku dengan keras ketika aku memilih duduk di sampingnya.

“Sedikit.”

“Maksudmu: banyak? Wajahmu persis kertas dilipat, tahu.”

“Oh, ya?” Aku menaikkan sebelah alisku. “Wajahmu seperti toilet yang belum dikuras.”

Sean tersenyum dingin dan menyandarkan tubuh pada punggung kursi. “Ayolah, aku tidak mau bertengkar denganmu, Ri. Sekarang, tentang beritanya-“

“Ya,” Aku mengangguk, “apa yang mau kau bicarakan?”

Nathan yang juga duduk di sebelah sisiku yang lain tersenyum nakal. “Kita sedang merayakan pesta lajang, Dude.”

“Pesta lajang?” Oke, ini benar-benar baru. “Siapa yang mau menikah?”

Camera, Rolling, and ACTION!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang