Kuda yang dikendalikan oleh seorang pemuda gagah dipacu cukup kencang menembus jalanan sempit di tengah hutan. Rupanya, sebuah rumah kayu di tengah hutan menjadi tujuannya. Ketika tiba di halaman, pintu kayu terbuka menyambut kedatangan pemuda tampan itu. Dari dalam, seorang pria berpakaian tumenggung menghampirinya.
"Raden Kamajaya!" Pria itu mempersilahkan masuk. "Raden sudah tahu jika...."
"Saya sudah tahu, Paman Tumenggung. Adipati Anggabaya telah mengetahui apa yang bromocorah itu lakukan," jawab Kamajaya.
"Saya terpaksa menarik para bromocorah itu agar tidak lagi merampok dan meminta pajak." Tumenggung Martaka mengucapkannya dengan takut-takut.
"Yang Paman lakukan sudah benar. Kita punya rencana untuk mengalihkan perhatian. Semoga saja Ki Bahudasa berhasil."
"Maksud Raden?"
Kamajaya tersenyum. "Kita harus libatkan beberapa pendekar bayaran dalam hal ini," ucapnya tenang.
Mata Tumenggung Martaka membesar. Ia merasa keberatan. "Apa tidak salah Raden? Ini bisa berbahaya!"
"Awalnya saya berpikir begitu. Tapi setelah saya pikirkan lagi... hal ini memang harus dilakukan," ucap Kamajaya sambil memandang jendela. "Lagipula... ini perintah mutlak... dari junjungan kita!"
Tak membutuhkan waktu lama bagi Ki Bahudasa dalam menjalankan tugasnya. Ketika malam, rumah kayu itu telah dipenuhi oleh beberapa pendekar golongan tua atau sangat berpengalaman dalam jagat persilatan. Dua di antaranya sudah berusia lanjut, ditandai dengan warna rambut mereka yang kelabu. Ada pula dua orang pria berwajah mirip menenteng pecut. Dua pria ini adalah pendekar hitam berjuluk Setan Kembar. Mereka amat ditakuti dalam jagat persilatan. Kemampuan kanuragan yang mumpuni ditambah kekompakan mereka bermain pecut mampu menggetarkan nyali siapa saja.
"Ada urusan apa Raden Kamajaya mengundang kami kemari?" tanya salah satu Setan Kembar yang bernama Asmani. Sementara saudaranya bernama Asmaji. Untuk membedakan keduanya tidaklah sulit. Asmaji memiliki tompel di pipi kiri. Dan Asmani memiliki bekas luka di dahinya.
"Saya mengundang para pendekar sekalian untuk diajak bekerja sama," kata Kamajaya memulai.
"Kami dilibatkan dalam suatu pemberontakan?" tanya seorang pendekar tua dengan ciri selalu memakai pakaian merah darah. Orang mengenalnya bernama Ki Ludira. Di sebelahnya duduk seorang pendekar tua kurus dengan wajah tirus menampakkan tulang pipinya. Memakai baju warna hijau tua lusuh. Namanya Karsa Pulut.
Kamajaya mengangguk. "Saya akan menggulingkan tahta yang diduduki oleh Anggabaya!"
"Bagaimana caranya? Raden akan menyiapkan pasukan perang dengan dana yang didapat dari hasil rampok?" tanyanya lagi.
"Begitulah."
"Saya yakin tidak akan cukup. Mengingat jika membentuk angkatan perang membutuhkan banyak dana dan waktu lama! Saya tidak bisa menunggu begitu lama!" tukas Ki Ludira.
"Saya juga!" Karsa Pulut ikut berpendapat.
Pemuda berpakaian bagus itu tersenyum sinis. Ia lalu mengeluarkan cincin bermata batu warna merah. "Dialah pemimpin dalam pemberontakan ini!"
Keempat pendekar itu mengamati cincin itu. Rasanya mereka mengenalnya. Apalagi Ki Ludira dan Karsa Pulut. "Endang Gandes?" bisik mereka bersamaan.
"Heeh, ternyata dia masih hidup?" kata Karsa Pulut.
"Murid satu-satunya," tandas Kamajaya. "Dewi Cadasari!"
"Cadasari? Pendekar tanpa arah itu? Heh!" dengus Asmani. Asmaji tersenyum. Ia tahu Asmani merasa dendam pada Cadasari karena pernah menolak cintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Ficção Histórica...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...