"Jimin? Kaukah itu?" Suara yang ikut beriringan tepat saat decitan pintu tua berkarat di dalam gedung terbengkalai yang sudah termakan usia. Bahkan di sekitarnya rumput-rumput liar tumbuh hampir sedada orang dewasa. Walau terdengar tidak nyaman, mungkin Jimin tidak berpikir demikian.
Hampir setiap hari di ujung petang, Jimin datang ke sana. Hanya sekadar memandang surya yang hampir tenggelam sampai bulan mengabil alih tugasnya menemani malam sampai fajar terbit. Menunggu di lantai teratas gedung, duduk di sofa usang yang menjadi spot paling menarik. Dimana ia bisa memandang jingganya langit sekaligus pemandangan dari lampu-lampu sorot kendaraan yang memenuhi jalan raya.
Jimin sibuk melamun sampai tidak sadar sosok yang tadi memanggilnya di ambang pintu sudah duduk tepat di sisinya. Jimin terkejut karena itu Yoongi. Seingatnya dia tidak pernah memberitahukan siapapun perihal tempat itu, bahkan pada Yoongi sekalipun.
"Wah, pemandangan di sini sangat indah. Kenapa tidak memberitahuku ada tempat sebagus ini?" Tanya pemuda dengan style awut-awutan khas anak berandalan di pinggir jalanan kota. Pertanyaan Yoongi membawa Jimin kembali pada kesadaran . "Bagaimana kau tahu aku ada di sini? Kau membuntutiku, huh?" Cecar Jimin yang malah dibalas kekeh gemas oleh Yoongi.
"Hehe, aku minta maaf telah membuntutimu. Aku hanya penasaran kemana perginya kau biasanya di jam-jam segini. Kau 'kan tidak pernah memberitahuku." Sahutnya.
Jimin kembali bergeming, namun dari kerutan yang tercetak pada dahinya terlihat jelas ia sedang berpikir keras. Yoongi pun ikut menyadarinya.
"Ada apa, Jim? Ada masalah di sekolah?" Tanya Yoongi bingung.Mendengarnya, raut Jimin makin murung.
Bagaimana cara memberitahunya? Aku bahkan belum yakin ini keputusan yang tepat, batinnya.
"Argh, aku akan mulai cepat saja kalau begitu. Tolong dengar baik-baik, aku tidak akan mengulang ucapanku," karena aku tidak yakin aku sanggup atau tidak. Lanjut batinnya.
Yoongi segera mengalihkan pandangannya menyelami iris kecoklatan pemuda manis di sisinya, terkunci di dalam sana. Namun bagi Jimin tatapan itu terlalu menusuk. Tatapan yang mengintimidasi sekaligus membius pemuda manis itu yang hampir terbuai karenanya.
"Yoon, bolehkah aku minta kau pergi? Pergi dari kehidupanku. Aku ingin sembuh. Jadi jangan bebani aku." Cicitnya pelan seiring hembusan angin yang menerpa hingga rambut yang mulai memanjang hampir menutupi pandangan.
"Aku lelah, kau tahu. Tapi dunia hanya memberiku dua pilihan. Aku hanya bisa memilih satu, dan pilihanku adalah melepasmu pergi." Sambungnya. Tangannya meraih tangan Yoongi dan ia genggam, mungkin untuk terakhir kalinya?
"Terima kasih sudah ada selama ini, aku tidak menyesalinya sama sekali." Jimin kini tersenyum cerah sekali, smiling eyes itu ikut muncul.
"Baiklah, Jimin. Jika itu keputusan finalmu, aku akan terima. Selamat tinggal, Jimin?"
Jimin terkekeh, "Selamat tinggal, Yoongi. Sampai jumpa di universe lain."
Perlahan sosok itu ikut lenyap seiring dengan surya yang tenggelam sepenuhnya. Tangisnya kembali pecah.
"Selamat tinggal dan terima kasih, Min Yoongi."
Walau tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, harapannya hanya; Psikosis* yang ia idap dan Yoongi-yoongi selanjutnya tidak muncul kembali, walaupun hatinya berkata lain.
(*) Psikosis adalah kondisi di mana penderitanya mengalami kesulitan membedakan kenyataan dan imajinasi. Gejala yang muncul pada penderita psikosis berupa delusi atau waham, dan halusinasi.
•
•
•
•
•
•
•Note:
Hi^^ selamat datang di tulisan pertama yang aku publish di dunia orange ini hehehe. Tulisanku ini masih jauhhh bgt dari kata bagus, jadi saran dan kritiknya sangat diharapkan sekali untuk memotivasiku untuk terus menulis hehe.Sampai jumpa^-^
-hyeon
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [YoonMin]✔
FanfictionQᴜᴇʀᴇɴᴄɪᴀ (ɴ.) ᴀ ᴩʟᴀᴄᴇ ꜰʀᴏᴍ ᴡʜɪᴄʜ ᴏɴᴇ'ꜱ ꜱᴛʀᴇɴɢᴛʜ ɪꜱ ᴅʀᴀᴡɴ, ᴡʜᴇɴ ᴏɴᴇ ꜰᴇᴇʟꜱ ᴀᴛ ʜᴏᴍᴇ; ᴛʜᴇ ᴩʟᴀᴄᴇ ᴡʜᴇʀᴇ yᴏᴜ ᴀʀᴇ yᴏᴜʀ ᴍᴏꜱᴛ ᴀᴜᴛʜᴇɴᴛɪᴄ ꜱᴇʟꜰ. Oneshoot! 19/12/05