24. Dapur Rumah Mereka

1.7K 330 60
                                    

Bismillah.

***

Tinggal di Spanyol ternyata menyenangkan, setidaknya demikian menurut Anna. Soal bahasa, ia sudah mulai terbiasa. Meski tak mengambil kelas khusus untuk mempelajarinya, ia beruntung karena Ahmar dan Latifa tak bosan-bosan membantu agar ia segera lancar menggunakannya.

Waktu berlalu tanpa terasa, musim dingin bahkan telah terlalui sepertiganya. Meski sisi selatan Spanyol jarang sekali bersalju, tapi temperaturnya cukup membuat kondisi badan Anna terganggu.

Pagi itu Anna dan Ahmar berjalan menuju rumah Mama. Akhir-akhit ini ia merasa kedinginan yang melebihi biasanya. Longjohn, kaos lengan panjang, sweater, jaket menempel semua di tubuh jangkung Anna. Tak ketinggalan syal dan penutup kepala, juga sarung tangan. Tapi itu pun seakan belum cukup. Ia pingsan di belokan terakhir sebelum sampai rumah Mama.

Ahmar yang terbiasa tenang pun berusaha tak panik, digendongnya Anna meski dengan sedikit susah payah. Meminta tolong pada seorang bocah untuk membantu mengetuk pintu rumah mama yang disambut dengan kepanikan luar biasa.

"Allah akbar. Apa yang terjadi Ahmar? Bagaimana kau ini? Tidak berhati-hati menjaga istrimu!"

"Tranquila. Tenang, Mama. Adakah Latifa? Jika ada tolong panggilkan dia, Mama." Ahmar tetap tenang. Menaruh Anna di atas sofa, lalu meminta sang mama memanggilkan adiknya. Ia seorang perawat di salah sebuah rumah sakit swasta di Granada, jadi Ahmar yakin ia bisa memberi pertolongan pertama untuk istrinya.

Latifa turun membawa peralatannya. Memeriksa tekanan darah Anna, kemudian mengoleskan essential oil di beberapa titik tubuh Anna.

"Anna. Bangun, Sayang," bisik Ahmar menepuk halus pipi istrinya. Anna menggeliat, lantas membuka mata. Ahmar menggenggam erat jemarinya.

"Dia baik-baik saja kan?" Ganti bertanya pada Latifa.

"Tenang saja, dia baik-baik saja. Aku sih maklum. Kau sudah terlalu lama sendiri dan sekarang punya pasangan halal. Aku yakin, setiap kali kau di rumah pasti tak ada hari yang terlewat tanpa fertilisasi."

"Heh, sembarangan. Maksudmu bagaimana?"

"Dia nggak apa-apa. Cuma tekanan darahnya agak tinggi. Pastikan dia makan dengan baik dan jangan terlalu capek. Saranku, sore nanti ajaklah dia ke dokter obsgyn untuk memastikan ada keponakanku di dalam kandungannya."

"Jadi maksudmu... Anna hamil?" Tak menunggu jawaban, Ahmar segera memeluk dan mengecupi istrinya.

"Sudah sudah, nanti kau lupa melanjutkan fertilisasi lagi di sini."

"Hush!" Sebuah bantal mendarat mulus di muka Latifa, Anna tertawa melihat keakraban dua bersaudara itu.

"Bagaimana? Adrianna kenapa? Dia sakit apa?" Mama nimbrung dengan heboh setelah meletakkan nampan berisi air hangat dan madu, juga beberapa butir apel yang tampak ranum.

"Adrianna baik-baik saja, Mama. Dia cuma, sedang mengandung cucu Mama," jawab Latifa santai.

"APA?! AKU MAU PUNYA CUCU?!"

"Allah akbar. Mama biasa aja deeeh, ngagetin aja." Latifa manyun.

Mamanya sudah tak menggubris perkataan Latifa, dia memeluk dan menciumi Anna penuh sukacita. Bulir-bulir bening berjatuhan dari kedua netranya. Haru sekaligus bahagia.

***

Lama Anna tak berhubungan dengan Mariam lewat video call. Mariam sengaja menghindar dengan alasan banyak pekerjaan. Anna tak curiga karena dulu pun demikian, hanya saja karena mereka mudah saja bertemu muka maka Anna tak begitu mempermasalahkan. Tapi sekarang tidak, walaupun chat via whatsapp masih intens mereka lakukan, tetap saja ngobrol secara langsung itu lebih ada kesan.

Selepas Hidayah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang