BAB 3 GELISAH (Halaman 3)

1.9K 139 0
                                    

     Mentari agak malu rupanya hari ini. Bersembunyi di balik mendung tipis di langit yang putih bersih. Tapi udara terasa sedikit panas di kediaman Kiai Fatih. Pesan penolakan dari Kiai Husin telah diterima. Kiai Fatih sangat maklum dengan hal itu, tapi sang istri tidak begitu.

    "Astaghfirullah !! memangnya apa kurangnya Annisa,Bah?! kok Syafiq sampai menolak. Aduh Bah... malu rasanya.." Bu nyai duduk geram di kursi goyang.
     Ruang tamu terasa lenggang, tiada santri yang wara-wiri. Kiai Fatih duduk bersandar di sofa panjang. Tangannya terus menggulirkan tasbih. Matanya menatap istrinya yang sedang marah. Tersenyum ia.

    "Yang begini itu sudah biasa, Ummi. jangan berlebihan...Daripada memaksa, nanti pernikahannya malah tidak bahagia."

    "Tapi, Bah.... Kita ini pihak perempuan lo. Dimana harga diri kita yang...."

    Kiai Fatih memotong, "Masya Allah, Ummi... Harga diri apa?! bukankah kita yang datang kepada keluarga Kiai Husin? Mengenalkan Annisa pada putranya, dan Syafiq menolak itu. Dia berhak menentukan pilihan..... Bukankah itu hal wajar?! Bukan mereka yang minta kita datang. " Kiai Fatih berdiri. "Sudah... Abah yang akan bicara dengan Nisa. Ummi jangan terpedaya oleh syetan yang membungkus kesombongan dan keangkuhan dalam kata 'harga diri'."

    Kiai Fatih meninggalkan ruang tamu. Langkah sepuhnya tertatih menuju dapur. Sang istri menunduk, lalu menengadah dengan mata terpejam. Bibirnya berbisik istighfar, meredam amarah yang sekejap menghampiri dadanya.

              ****************

      Bau harum tercium oleh pria tua itu saat duduk di kursi kayu meja makan. Ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur, membuat Nisa melirik kedatangan abahnya sembari tangannya bergelut dengan udang dan sayuran.

    "Masak apa kau, Nak?"

    "Udang asem manis, Bah", jawab Nisa.

    "Duduk sini sebentar, Abah mau bicara."

    Nisa mematikan kompor,mencuci tangannya yang penuh kulit udang. Dia duduk dihadapan sang ayah. Tasbih kayu abahnya berdenting saat beliau meletakkannya di kaca meja. Kiai Fatih memandang putrinya dengan sayu. Tergambar di benaknya betapa dirinya sudah tua dan rapuh, dan ingin melihat Nisa segera menikah.

    "Ada apa , Bah?"

    "Hmm.. Sebelumnya Abah ingin bertanya. bagaimana pendapatmu tentang perkenalan kemarin ?"

    Nisa langsung tertunduk malu, sedikit senyum terlintas di bibirnya. "Nisa senang bisa bertemu dengan keluarga besar Kiai Husin, Bah. "

    "Lalu, bagaimana menurutmu Gus Syafiq itu ?" Kiai Fatih menajamkan matanya.

    Dengan sedikit tersipu Nisa menjawab, " Beliau lelaki yang ramah,Bah... "

    "Kau... menyukai dia Nduk ?" Kali ini nada Kiai Fatih terdengar hati-hati.

    Nisa menghela nafas." Beliau adalah lelaki yang sangat memikat hati, Bah. Wanita mana yang sanggup menolak beliau....." Nisa berhenti sejenak. " Tapi..... "

    "Tapi apa, Nduk ?"

    "Tapi Nisa tidak bisa menikah dengan beliau , Bah...."

    Kiai Fatih mengerutkan keningnya.
" Lhoh?! Memangnya kenapa?"

     Nisa menatap abahnya. Nampak olehnya kerutan di wajahnya,  rambut putihnya dan aura kebijaksanaan agung dalam matanya. "Karena Gus Syafiq bilang beliau tidak bisa menikah dengan saya, Bah....."

     Kiai Fatih terkejut. "Syafiq mengatakan itu padamu?"

    "Tidak secara langsung tapi beliau memberi isyarat demikian...." suara Nisa menghilang.

     Kiai Fatih mengelus jenggot putihnya. Kepalanya tersandar pada kursi.

    "Sejujurnya, apa hatimu tertarik padanya, Anakku? apa kau kecewa atas ucapannya?"

    Nisa sedikit terkejut dengan pertanyaan abahnya. Sedetik dia terperangah. Merasakan jantungnya  bergetar. Merasakan wajahnya yang tiba-tiba tersipu, juga sedikit himpitan di dada yang membuatnya seperti ingin menangis. Diremasnya jari-jari tangannya, berusaha menenangkan diri. Setelah menghela nafas dalam-dalam, dia menjwab," Setiap wanita yang bertemu Gus Syafiq pasti akan langsung menyukainya, Bah. Tapi Nisa tidak kecewa. Sebagaimana beliau menolak para peminang sebelumnya, mungkin memang beliau belum ingin berumahtangga, dan mungkin beliau bukan jodoh Nisa, Bah..."

    Kiai Fatih tersenyum mendengar jawaban putrinya.
"Syukurlah kalau begitu...Tadi malam abah dapat telpon dari Kiai Husin. Beliau meminta maaf karena Syafiq tidak bisa melanjutkan perkenalan dari kita.Ini bukan soal kekuranganmu, Cah ayu.... Tapi seperti katamu tadi, mungkin Syafiq belum jadi jodohmu."

     Nisa mengangguk-angguk. Entah kenapa himpitan di dadanya makin sesak. Air matanya seakan mau tumpah tapi ditahannya.

    "Yah... Semoga kau mendapatkan jodoh terbaik pilihan Allah Swt." kata si abah.

     "Amin, Bah.. "

     Kiai Fatih beranjak dari kursi."Ya sudah, lanjutkan masakmu. Abah mau ke kamar dulu."

     "Iya, Bah..... "

     Kiai Fatih berjalan pelan keluar.
Nisa kembali ke dapur. Tangannya kembali mengupas kulit udang. Perasaan kecewa, tertolak, dan merasa tak layak melandanya. Semula dia hanya mengartikan sendiri arti dari kata-kata Syafiq dalam percakapan mereka tempo hari. Berharap dia salah mengartikannya. Tapi sekarang dengan jelas dia tahu artinya. Tangannya bergetar, dan kulit-kulit udang itu basah dengan air mata.

MENGGAPAI DUA SYURGA (END) - Sebagian part telah di hapusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang