5. Auristela _ Aurelia

355 39 2
                                    

"Sayang, maksudku ingin mengabari setelahnya karena aku tau kamu sedang meeting," kata Damian tapi sepertinya Auris tak peduli lagi.

"Kamu nggak bawa mobil?" tanya Auris saat di halaman kafe.

"Aku dijemput."

"Temen kamu itu?" todong Auris, kemudian memberikan kunci mobil pada Damian yang mengangguk lalu membukakan pintu untuknya.

"Meeting dengan siapa?" tanya Damian memakai sabuk pengaman kemudian memakai kaca mata hitam salah satu koleksinya yang selalu ia siapkan.

"Produser." Auris memperhatikan wajah suaminya setelah memakai sabuk pengaman. "Teman?"

"Um?" Damian mendadak kikuk.

"Iya. Yang tadi itu, teman kuliah, kan?" selidiknya, ia tahu ada yang aneh pada wajah suaminya.

"I...ya. Aku nggak terlalu banyak teman wanita jadi..."

"Cantik ya," segah Auris, membuat mereka saling tatap.

"Ya. Um, ya dia memang seperti itu."

"Seperti apa?" pancing Auris.

Damian membuka kaca matanya kemudian menatap istrinya sejenak mengalihkan perhatian dari jalan. "Sayang, kita hanya teman."

"Iya aku tau. Memangnya aku nggak boleh tau kalian dulu bertemannya gimana, hm?" melihat wajah Damian yang berubah Auris semakin ingin memancingnya.

"Yeah, teman biasa. Kamu pikir apa?"

"Kamu kok, grogi gitu sih? Biasa aja kalo emang temen."

"Grogi? Apanya?"

"Itu, pucet gitu."

"Pucet gimana?"

Auris menangkap wajah Damian. "Kamu kok ketakutan? Justru reaksi kamu ini yang bikin aku curiga," Auris menggigit bibir bawahnya untuk menggoda Damian.

"Sayang..., aku lagi nyetir." Damian meluruskan kembali wajahnya ke depan. "Kamu inget ya, aku sekarang bukan jagain kamu aja, tapi anak kita juga." Menyempatkan mengusap perut Auris.

"Kamunya aja yang kebingungan, kaya ketakutan gitu. Padahalkan aku biasa aja."

"Iya oke maaf sayang." Damian meraih tangan Auris untuk mengecupnya.

Tak berapa lama Damian sudah berhenti di kantor Auris.

"Untung aku pake mobil kantor, bukan taksi. Sebentar, aku minta driver kantor buat anterin kamu." Auris turun dari mobilnya sementara Damian yang diminta menunggu justru ikut turun.

"Aku antar ke dalam."

"Aku sendiri aja."

"Nggak, harus aku antar," paksa Damian yang akhirnya membuat Auris pasrah.
__

Kembali duduk di ruangannya. Entah mengapa Damian merasa gelisah dengan kedatangan Aureli. Dia menggosok bibirnya dengan telunjuk. Apa yang membuatnya merasa tidak tenang? Bukankah Auris benar, jika memang hanya teman mengapa dia ketakutan?

"Aurel ... kenapa kamu harus masuk lagi dalam hidup aku?" gumamnya.

Aurelia Aylmer, adalah gadis yang pernah membuat hatinya bergetar. Namun Damian tak ingin mengakui bahwa getaran itu cinta. Ketakutannya akan menghancurkan perasaan wanita membuatnya menyingkirkan jauh-jauh perasaan itu lalu kemudian hanya fokus pada pendidikan dan menetapkan hubungan pertemanan pada Aureli tidak akan lebih. Saat itu, ya. Tapi entahlah untuk saat ini? Ia sendiri tak mengira bahwa pandangan mata gadis itu kembali membuatnya bergetar. Menyadari hal itu Damian melonggarkan dasinya. Ia harus melawan lebih keras lagi perasaan itu. Ia sudah memiliki Auris, dan akan segera memiliki anak darinya.
__

Malam tiba. Malam ini mereka memutuskan untuk tidur di apartemen milik Damian. Auris duduk bersandar di ranjang, kemudian Damian naik dan tidur miring menghadapnya.

"Ini sayang, tiga nama pilihan aku." Meletakkan selembar kertas di ranjang.

"Sebentar, aku balesin chat dulu."

Menit berikutnya Auris meletakkan handphone di nakas. Kemudian mengambil lembaran kertas tadi tanpa merubah posisi duduknya.

"Mana punya kamu?"

"Aku nggak nulis. Aku ingat."

"Oke. Ayo sebutkan dan kita akan memilih. Meskipun ini terlalu cepat, tapi ... lebih menyenangkan kalau kita sudah ada panggilan untuk calon baby kita." Damian mengelus perut Auris.

"Sementara belum tau jenis kelamin baby kita, panggil baby aja dulu." Senyum Auris sangat terpancar, tangannya terjulur mengusap kepala Damian.

"Edward, artinya penjaga atau pelindung," Auris menyebutkan.

"Ya, aku berharap kelak dia bisa melindungi ibunya dan adik-adiknya."

"Bagus," sahut Auris. "Earl, artinya bangsawan. Dan Zander... artinya berani membela."

"Zander Raja Danovan. Edward Raja Danovan."

"Aku lebih suka Edward. Edward Raja Danovan." Kemudian Auris meletakkan kertas tadi di nakas. "Terdengar sangat gagah seperti... Papanya." Membungkukkan tubuhnya untuk lebih dekat dengan wajah Damian. "Papa atau Ayah?"

"Papa," jawab Damian excited. Auris mengecup bibir senyum Damian kemudian kembali bersandar di ujung ranjang.

"Sekarang aku mau sebutin nama pilihan aku untuk anak kita kalau perempuan. Aku juga cuma nyiapin tiga nama."

"Oke, sebutkan. Aku nggak sabar." Damian menegangkan lehernya.

"Papa dengerin baik-baik ya. Yang pertama, Maheswari."

"Artinya?" tanya Damian tak sabar.

"Artinya bidadari. Terus... kedua, Anindia yang artinya pemberani. Jadi aku ingin dia menjadi pemberani meskipun perempuan."

"Oke, bagus. Ketiga?" Damian meninggikan alisnya, penasaran. Auris tertawa karena gemas melihatnya tidak sabar seperti itu.

"Kalau berdasarkan nama aku Auristela, kayanya aku lebih suka yang ketiga."

"Oke, apa?"

"Iya sabar dong sayang, penasaran banget kamu. Em..., pilihan yang ketiga... Aurelia, artinya emas."

Senyum Damian perlahan memudar, kemudian memalingkan wajahnya.

"Aku lebih suka Maheswari. Putriku akan secantik bidadari," katanya tanpa melihat Auris.

Auris menangkap sesuatu, wajahnya terlihat sama seperti tadi ketika mereka membicarakan teman lama Damian yang tiba-tiba muncul.

"Ada apa dengan Aurelia?" pancing Auris.

"Atau Anindia, pemberani."

"Jawab aku. Ada apa dengan Aurelia? Artinya emas, dan Auristela artinya bintang emas. Bukannya itu sangat cocok untuk anak perempuan aku?"

"Terlalu banyak nama Aurelia, sayang."

"Terlalu banyak atau terasa spesial? Teringat seseorang? Mengingatkan seseorang? Nggak masalah. Mungkin kamu ingin seperti Daddy, mengenang masa lalu dengan nama anaknya."

"Sayang bukan seperti itu."

"Lalu seperti apa?"Auris bergeser untuk melihat wajah Damian. "Wajah kamu kenapa jadi seperti tadi?" lama mereka saling tatap. Damian tak dapat menjawab kata-kata Auris. "Jadi namanya Aurelia? Kamu tadi hanya bilang teman tanpa menyebutkan namanya. Aurelia? Jadi benar itu namanya?"

"... Iya."

"Terus kenapa sikap kamu kaya gini? Dami, aku bukan orang yang anti mantan. Kamu masih berteman dengan siapa pun mantan kamu, nggak masalah. Tapi yang aku heran, kenapa reaksi kamu, wajah kamu selalu seperti ini? Seperti takut, khawatirkan sesuatu. Kenapa?"

"Sayang, dia bukan mantan. Aku nggak pernah pacaran dengan dia."

"Ya terus kenapa ekspresi kamu selalu kaya gini?"

"..."

***

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang