1. Mr. Tredeau

7.2K 331 11
                                    

"Lo tuh sekarang artis gak laku, Honey! Sudah berbulan-bulan gak ada job buat lo. Jangankan pemeran utama, jadi tiang listrik aja gak ada yang nawarin."

Aku menatap sebal perempuan berambut kriting yang sedari tadi duduk bertumpang kaki di sofa berbentuk setengah bola kesayanganku. Zul benar. Sudah lama kerjaanku hanya mendekam di apartemen. Tidak ada satu kontrak pun yang Zul dapatkan untukku.

"Bintang iklan gimana, Zul? Masa gak ada juga?" Zul mengangkat bahu. Menatapku malas sambil menurunkan kaki, lalu beralih memainkan ponselnya. "Terus cicilan apartemen gue gimana dong? Masa gue harus tinggal di kost-kostan!"

Kalau tidak ada kontrak, berarti tidak akan ada pundi-pundi rupiah yang mengalir. Tabungan mulai menipis. Mobil hanya tersisa satu. Cicilan apartemen terancam nunggak. Menyedihkan.

"Sebentar lagi karier lo sebagai artis bakal end. Orang-orang akan melupakan artis bernama Flory Amarilis. Ingat Dear, umur lo udah 26. Produser sekarang mencari artis muda pendatang baru. Mereka suka perempuan berwajah Barbie dan Ratu Prom. Lebih seger." Zul menghentikan jemarinya. Memandangku kasihan. Dia tahu benar kondisi keuanganku. Bulan ini saja, Zul belum menerima gajinya.

"Apa gue kurang cantik? Syahrini aja kepala tiga masih laku?" Aku mondar-mandir di depannya dengan gelisah. Banyaknya artis muda pendatang baru, membuatku terancam menggantung kamera lebih cepat.

"Helo … Syahrini itu bukan modal cantik doang. Suaranya bagus. Gayanya juga cetar. Nah elo, Flo? Kemampuan akting pas-pasan. Suara cempreng. Modal tampang doang."

Kali ini Zuleha keterlaluan. Manajer tidak tahu diri. "Eh Zuleha, lo itu manajer apa haters gue sih?"

"Gue itu sebenernya udah dari dulu pingin resign jadi manajer lo. Berhubung kita teman baik, gue gak tega ninggalin lo,” jawabnya tanpa rasa bersalah.

"Terus saran lo apa? Gue musti gimana? Asal lo jangan jual gue ke mucikari artis, gue mau lakuin apa aja deh biar dapat duit,” sahutku frustasi.

“Cari laki-laki kaya. Gak peduli status duda tampang tua, pokoknya cari yang bisa jamin hidup lo berkecukupan.”

Rasanya ingin kusumpal mulut Zul pakai mendoan. Semelaratnya aku sebagai artis, menikahi laki-laki yang dicintai masih menjadi impian indah untukku. Aku meninggalkan Zul yang kembali sibuk dengan ponselnya. Merebahkan diri di kasur untuk sejenak merehatkan pikiran.

Sebelumnya, aku tak pernah bercita-cita menjadi artis. Hanya karena iseng ikut-ikutan teman daftar casting sebuah film layar lebar, lalu lolos sebagai pemeran pembantu. Setelah itu, mulai tawaran main film berdatangan. Pelan tapi pasti, aku beralih menjadi pemeran utama sebuah film. Meskipun filmku tidak masuk kategori box office, namaku mulai dikenal. Tawaran menjadi bintang iklan mulai berdatangan.

Zuleha tahu kapastitasku. Ia tidak mau menerima banyak job dalam satu waktu. Dipilihnya peran yang tidak terlalu membutuhkan penghayatan selain harus berwajah sedih dan menangis. Zul memintaku serius berlatih akting, dan itu sangat menguras tenagaku. Sampai suatu hari, aku mendapat kritik keras dalam film yang diadaptasi dari sebuah novel. Aktingku mendapat kritik tajam. Aku dianggap tidak bisa mewakili karakter tokoh utama yang sudah terekam kuat di mata publik.

Tragisnya, ditambah pula dengan isu kedekatanku dengan William Zanuba. Seorang aktor yang sedang naik daun. Aku dituduh sebagai pihak ketiga penyebab putusnya William dengan Monica, penyanyi muda yang terkenal. Publik tidak menyukainya. Aku sempat berhenti mengakses media sosial. Zul meng-non aktifkan akun instagramku. Isinya hanya cacian dan bullying menyakitkan. Mereka mengatakan aku artis manja yang hanya menjual tampang, ditambah perebut pacar orang.

Sejak saat itu, tawaran pekerjaan mulai berkurang. Hanya acara-acara kecil sebagai bintang tamu penghias acara, atau sekadar undangan meramaikan acara pembukaan produk tertentu.

“Bangun, Flo! Kita dapat kerjaan!”  Wajah Zul menyembul dari balik pintu. Kali ini senyum lebar menghiasi pipinya.

“Yang benar?” Terbayang akan ada aliran segar ke rekeningku. “Apaan, Zul?”

“Lo dapat tawaran menjadi bintang iklan sebuah produk minuman. Nilai kontraknya lumayan. Lo juga diminta menjadi brand ambassador produk tersebut.”

Brand ambassador minuman ringan? Keningku berkerut. Seandainya menjadi brand ambassador Gucci, Louis Vuitton, atau Loreal Paris mungkin bisa sedikit berbangga. Kutepis pikiran konyol itu. Bayangan pundi-pundi rupiah lebih menarik di benakku.

“Dari pihak PH bilang, bos pemilik perusahaan langsung yang menginginkan elo yang jadi bintang iklannya.” Zul ikut duduk di kasur. Dia baru saja ditelepon PH iklannya selama aku berbaring gelisah tadi.

“Emangnya dia kenal gue? Atau jangan-jangan penggemar gue.”

“I don’t care. Yang penting kita dapat uang. That’s the point!”

Aku mengangguk. Kami berdua melonjak senang. Merayakan kabar gembira sore itu dengan sepiring mie goreng dengan saus sambal yang banyak. Mau gimana lagi? Kulkas pun tak mampu aku isi dengan daging dan telur.

***

Zul menemaniku datang ke kantor PH yang memberi tawaran iklan. Kami membicarakan kontrak, konsep iklan, dan beberapa hal lain yang harus dipersiapkan untuk kepentingan syuting.

“Mas kenal dengan bos perusahaan yang meminta aku menjadi bintang iklannya? Siapa sih?” Aku bertanya kepada Mas Danuar di sela-sela istirahat jam makan siang kami.

“Mba akan bertemu orangnya nanti. Dia bilang ingin memastikan sendiri semuanya berjalan dengan baik. Dia sudah berpesan kepada kami agar di iklan tidak ada adegan minum sambil berdiri, juga model iklan harus berpakaian sopan.”

Aku semakin penasaran dengan orang yang dibilang Mas Danuar. Dengan alasan apa dia menunjuk aku sebagai bintang iklan produknya. Padahal jelas-jelas namaku sedang berada di titik nadir. Siapa pun dia, aku ingin beterima kasih. Paling tidak, ada yang mau berbaik hati memberiku pekerjaan.

Aku sedang mempelajari skenario untuk syuting iklan ketika Mas Danuar berdehem dan berkata sangat pelan, “Mba Flo, tuh orangnya datang.”

Dari arah pintu kaca, seorang pria mendekat dengan langkah panjang dan cepat. Dia mengenakan jas hitam khas eksekutif muda. Sebagai pekerja seni yang akrab dengan dunia fashion, aku terbiasa melihat seseorang dari outfit yang dikenakannya. Pilihan outfit itu penting karena ini soal personality looks seseorang. Biasanya harga kemeja, jas, jam tangan, juga sepatu yang dipakai para eksekutif muda ini bisa membeli satu mobil avanza keluaran terbaru.

Namun, berbeda dengan yang dikenakan pria ini. Jasnya terlihat berkelas, tetapi bukan dari Hugo Boss, Gucci, atau Armani. Jam tangannya juga jam lelaki kebanyakan. Begitu juga dengan sepatunya. Bukan brand yang bisa dibanggakan. Hanya ada dua kemungkinan. Dia lelaki kaya yang sederhana, atau perusahaannya sedang terancam pailit sepertiku.

Setelah memerhatikan outfit-nya, aku mulai mengamati wajahnya. Pria itu sedang berbincang dengan pemilik PH iklan tak jauh dari tempatku. Sepertinya aku mengenal wajah itu.

“Gila, Flo! Apa dia Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau?” Zul menyenggol lenganku dengan sikutnya saat si Justin berjalan ke arah kami.

"Assalamualaikum Flo. Apa kabar?"

Justin Trudeau? Bukan. Aku ingat sesuatu sekarang. Dia …!

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang