Aku segera menarik tangan Kakak, menatapnya dengan kedua mataku benar-benar lurus ke kedua matanya. Memberi kode untuk jangan meninggalkan aku di sini sendirian一maksudku bakteri seperti aku bersama berlian sendirian!一paling tidak suruh aku kembali agar Pak Arden ini tidak mengira aku sengaja pergi karena menghindarinya nanti.
"Kakak lama? Aku balik aja deh." Dengan tegas aku benar-benar mengatakannya dengan tegas!
"Engga kok, beneran deh bentar. Mending lo ngobrol aja sama Arden soal beasiswa lo, sekalian memperdalam ikatan aja gitu." Suruh Kakak dengan santainya.
Astaga Kak! Kalau memang dari awal kami tidak saling mengenal sebelumnya pasti memang akan sangat amat luar biasa mudah untuk aku membaur, tapi mengingat orang yang kini duduk tepat di hadapanku ini sebagai si 'direktur' dingin yang tidak menerima kesalahan sekecil satu biji beras pun menjadi beban tersendiri!
Aku ingin sekali berteriak dan mengutarakannya, seandainya Pak Arden beranjak sebentar saja! Atau tuli mendadak juga tidak apa-apa...
"Beneran dah gak lama, sumpah ga boong. Lo stay dulu bentaar aja di sini, oke? Lagian kita kan gak tiap hari ketemu gini." Kakak dengan santainya melepas genggaman tanganku, "lagian kan gak sendiri, ada Arden juga."
Ya karena ada Pak Arden! Lucu kamu, Kak.
"Yah, tapi Kak..." otakku berusaha sekilat mungkin mencari alasan agar bisa pergi dari sini, namun suara Pak Arden membuyarkan sistematis sel otakku yang sepertinya tinggal satu.
"Saya kan juga mau tau gimana orang yang mendapat sponsor dari saya. Pantas atau tidak, apakah benar-benar berbakat?" Ya ampun Pak, kan kita sudah pernah wawancara bersama!
Saat itu juga aku ingin menangis, bisa-bisa masa depanku... oh! Masa depanku yang malang...
"Nah, yaudah ya? Udah ditungguin Pak Joko, nih... dah." Kakak segera beranjak pergi meninggalkan kami berdua.
Benar-benar meninggalkan aku berdua saja dengan Pak Arden! Luar biasa, aku bisa melihat suramnya masa depanku hanya dengan sekali melirik ke arah beliau!
"Kamu sebegitu bencinya sama Saya?" Tanya Pak Arden tanpa basa-basi, langsung to the point!
Aku berusaha tersenyum, walau aku berani taruhan pasti kini terlihat sekali betapa canggung dan buatannya senyumku. Karena memang pada dasarnya mana ikhlas aku tersenyum di situasi seperti sekarang!
"Ma, mana mungkin Pak!" Mana mungkin saya tidak benci, saya benar-benar benci Pak!!!!
"Oh, kamu kelihatannya tidak mau bicara sama saya, tuh." Ia menatapku serius, menusuk sekali tatapannya.
"Aduh, Pak! Mana mungkin, sih... hahahahaha..." Oke, aku menyesal sudah tertawa. Barusan canggung sekali!
"Habis kamu daritadi sepertinya sangat ingin pulang menghindari saya," singgung Pak Arden kini meletakan tangannya di dagu, "memangnya ada apa dengan saya? Kamu takut beasiswa kamu dicabut?"
Astaga, iya Pak!
"Engga, eh maksud saya tidak Pak! Saya cuman capek dari rumah ke ITB jauh, jadi mau cepat-cepat balik sebelum sore banget," dan juga cepat-cepat balik dari Bapak!
Pak Arden tersenyum menyinggung, Pria 30 tahunan di hadapanku ini kalau sudah tersenyum menyinggung penuh sarkastik begini pasti ada sesuatunya! Sial, kenapa Pak Arden harus tampan sekali, sih? Aku kan jadi tidak bisa setotalitas itu membenci beliau!
Maksudku, siapa yang tidak suka om-om berduit berwajah tampan? Hanya aku? Oke.
"Berarti kamu tidak apa kalau beasiswamu Saya cabut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Teen FictionKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...