Mendung menghadirkan keraguan antara akan turun hujan atau berlalu setelah itu. Hati Ana gelisah, sudah hampir maghrib suaminya belum sampai rumah.
Sejak tadi ia mondar-mandir sambil mengusap layar gawainya. Berulang kali memencet profil suami yang nampak tersenyum merangkul dirinya. Ragu-ragu mau menelepon karena takut mengganggu di perjalanan.
Teh di teras sudah dingin, menyisakan tetes uap di tutup gelas. Ia memilih masuk ke rumah untuk menjalankan ibadah salat maghrib. Hatinya sedikit tenang setelah menyelesaikan sujud pada rakaat terakhir. Yang ia harapkan saat itu suaminya lekas kembali.
Ana mencoba menelepon suaminya. Hujan turun dengan lebat. Angin bertiup semakin kencang. Dingin menusuk sampai tulang. Tak kunjung diangkat. Ia ulang sekali lagi dengan penuh harap. Nihil, kali ini tidak terhubung. Ia bertanya-tanya sambil bersandar di jendela.
Apakah suaminya masih marah dengan pertengkaran tadi pagi? Pagi tadi ia merengek meminta diajak berlibur. Sampai suami yang biasa hangat berubah dingin.
“Oh, jadi sekarang lebih penting pekerjaan gitu? Kalau Mas tidak mau liburan, biar aku pergi sendiri!” kata Ana dengan nada keras.
Wajah suaminya memerah. Bukannya menenangkan istrinya yang merajuk, tanpa sepatah kata suaminya berlalu meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Apa?
Short StoryDebar dalam penantian itu menyesakkan. Sudahkah kau lapangkan dengan harapan (doa)?