VII

3.3K 164 5
                                    

Aku berlarian menyusuri koridor demi koridor , jantungku berdegup kencang dan tak beraturan. Aku sudah tiba di rumah sakit , Sepanjang perjalanan pikiranku sangat kacau , perasaanku diliputi rasa bersalah. Tak henti-hentinya aku mengumpat , menyalahkan bahkan mengutuk diriku sendiri ! Seharusnya kemarin aku tak meninggalkan Oma begitu saja , ditambah aku mematikan ponselku semalaman. Jika sesuatu yang buruk menimpa Oma , aku benar-benar tak bisa memaafkan diriku sendiri !

Isi pesan singkat Bunda semalam yang baru saja ku baca pagi tadi masih terbayang-bayang di pelupuk mataku , Bunda bilang Oma dilarikan kerumah sakit dan kini keadaannya kritis. Bahkan tadi pagi sekitar jam 6 , Bunda menambahkan pesannya lagi bahwa sampai saat ini Oma belum juga sadar. Ya Tuhan , Ampuni aku ! Ini semua salahku , aku benar-benar bodoh ! Entah apa yang merasuki ku saat itu , yang jelas aku telah mengambil keputusan yang salah. Seharusnya aku tau , Oma mengidap sakit jantung tapi aku tetap nekat membangkang serta mengancamnya dan akhirnya Oma harus berakhir seperti ini. Kenapa aku berfikir sangat dangkal ? Aku masih berjalan , dengan perasaan yang campur aduk. Makin dekat dengan tujuan , perasaanku makin gelisah dan tak karuan.

Ruang VIP No 103 lantai 3 , tadi aku sempat menelfon Bunda. Katanya Oma baru saja keluar dari ICU dan dipindahkan keruang perawatan tapi Oma belum juga bangun , hanya saja kondisinya sudah stabil. Aku merasa agak lega mendengarnya.

Aku telah sampai di lantai 3 , ku lihat ada Bunda , Ayah , Reino , Om Bagas dan Tante Karen berdiri di depan ruang perawatan Oma. Wajah mereka semua cemas , yang paling kasihan adalah Bunda matanya sampai sembab.

" Bunda..." Panggilku , aku langsung memeluk Bunda. " Maaf " Kataku penuh sesal , aku langsung menangis ketika Bunda membalas pelukanku , dekapannya sangat erat. Aku menatap kearah Ayah , dia berkaca-kaca tangannya ikut mengusap punggungku.

" Ini semua salah Naya ... Coba kalau waktu itu Naya nggak pergi " aku masih terisak , sungguh kali ini aku benar-benar menyesal atas perbuatanku.

" Udah Nay , sekarang bukan waktunya buat salah-salahan " Kata Ayah , kalimatnya sangat bijak tak seperti tempo hari. Mungkin karena dia melihatku benar-benar menyesal , jadi tak sampai hati untuk menyalahkan bahkan memarahiku. Padahal jelas-jelas ini memang salahku.

Aku melepaskan pelukanku , kemudian mengusap sisa-sisa air mataku. " Oma di dalem kan ? Naya mau ketemu boleh ? "

Bunda mengangguk , " nunggu dokternya keluar ya , Oma masih di periksa " kata Bunda.

Tak berapa lama kemudian , Dokter keluar dan mengajak Ayah untuk ke ruangannya. Sedangkan aku dan yang lainnya langsung masuk ke kamar Oma. Dia masih tertidur , entah itu tidur atau memang belum sadar , Aku tak mengerti.

" Omaaa " Rengek ku , aku langsung berlari dan memeluk tubuhnya yang terbaring lemas. " Omaa , bangun... Maafin Nayaa "

Mungkin saat ini aku terlihat seperti anak kecil yang merengek minta di belikan mainan pada orang tuanya , tapi biarlah ... Aku sedang ingin menumpahkan segalanya , aku pun tak peduli dengan keberadaan Reino dan keluarganya , terserah apa yang akan mereka pikirkan tentangku.

" Udah Nay , biarin Oma istirahat. " Bunda mendekap pundak ku , aku yakin sebenarnya dia lebih sedih daripada aku , diapun tengah kecewa dengan diriku karena jika bukan gara-gara aku Oma tak akan seperti ini , tapi Bunda tetap memperlakukan ku dengan baik , ia tak ingin aku larut dalam penyesalan tak berujung ini.

Aku pun akhirnya menyudahi tangisanku , tapi aku enggan beranjak dari samping Oma. Aku tetap duduk di samping tempat tidurnya , menyandarkan kepalaku di ranjang sembari terus menggenggam tangan Oma. Bunda , Om bagas serta tante Karen tengah mengobrol , entah apa yang mereka bicarakan. Sedangkan Reino diam saja , dia berdiri di pojok ruangan dekat pintu keluar , tangannya ia lipat ke dada dan wajahnya terlihat cukup khawatir.

Jodoh Ditangan Oma (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang