Prita mengutuki kebiasaannya. Melawan sang ibu sudah menjadi makanan sehari-hari sejak Prita kecil. Itulah sebabnya Prita memutuskan untuk bekerja di Solo, agar bisa menjaga jarak dengan sang ibu.
Namun, saat melihat ibunya mencengkeram kain dasternya sendiri, dengan dadanya yang naik turun seperti terbelit sesuatu yang menyesakkan, Prita sadar tindakannya salah besar! Selama ini dia tidak pernah akur dengan sang ibu yang selalu membandingkan dirinya dengan sang kakak, tapi bukan berarti Prita tidak menyayangi wanita paruh baya itu.
Saking sayangnya, Prita takut kehilangan wanita itu, terlebih hanya Bu Vera sekarang adalah satu satunya keluarga dalam hidupnya. Prita tak punya siapa-siapa lagi. Prita pun tak tahu apa yang salah dalam hubungan ibu dan anak itu. Hanya saja, sikapnya selalu berlainan dengan hatinya. Tak pernah sekalipun Prita bersikap manis, layaknya Chilla yang selalu tersenyum. Raga ringkih Chilla selalu membuat Prita benci dengan kakaknya, karena Mamanya selalu memberi perhatian lebih pada Chilla. Sedang Prita, yang dikaruniai raga sehat, merasa tak pernah dipedulikan oleh Bu Vera.
Prita kalut dan hampir menangis. Segera disambarnya smartphone dan mengantar sang ibu yang kesakitan itu ke rumah sakit terdekat. Prita memapah ibunya menuju mobil, dan setelah memastikan ibunya duduk dengan nyaman di jok, Prita berlari mengitari mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
***
Prita duduk di atas lantai bilik IGD itu. Dirinya merasa lega sang ibu sudah ditangani oleh tenaga medis. Dokter menginstruksikan agar Bu Vera dirawat inap. Sesudah mengurus segala sesuatunya, Prita tinggal menunggu ibunya untuk dipindahkan ke ruang rawat inap.
Prita menyembunyikan wajahnya di bawah lengan yang bertumpu di lutut yang tertekuk. Sesekali isakan teredamnya keluar dari mulutnya. Prita sangat menyesal sudah membuat kebohongan yang membuat ibunya terkejut.
Apa aku harus berterus terang bahwa aku tidak hamil?
Prita menggeleng berulang. Tidak! Itu artinya aku akan dijodohkan dengan Indra. Bahkan aku tidak mengenal laki-laki itu! Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku cinta!
Berulang kali Prita mengatur nalarnya. Peperangan batin dan pergumulan di hati terus berlanjut membuat perasaaan Prita tak tenang. Lagi, Prita hanya bisa terisak. Bingung dengan keadaannya. Tak bisa menyalahkan sang ibu yang menginginkannya menikah karena memang usia Prita sudah matang untuk menikah. Tapi Chandra, lelaki yang sekarang menguasai hatinya, belum menunjukkan tanda-tanda ingin melamarnya.
Prita ... kamu dan Chandra kan baru pacaran satu bulan ini, masa langsung minta dilamar?
Prita berdecak. Chandra yang selalu bersikap tak serius itu membuat hati Prita gundah.
Apa yang harus aku lakukan?
"Ta, Mama belum mau mati! Kamu tidak usah menangis seperti itu!" Kata-kata Bu Vera menyeruak ke indra pendengaran Prita. Prita mendongak, menggosok telinganya, meyakinkan diri bahwa itu adalah suara sang ibu. Buru-buru dia bangkit sambil menyeka lebih dulu air matanya.
"Ma, Mama tidak apa-apa?" Prita terlihat kalut.
"Kamu cemas Mama mati?" tanya Bu Vera lemah.
"Mama jangan ngomong mati-mati!" Mata Prita kembali berkaca-kaca. Bu Vera mengusap pipi mulus Prita.
"Prita, anak Mama. Maafkan Mama, ya. Pasti kamu berat sekali, ketika Mama harus memperhatikan kakakmu yang sakit-sakitan. Sampai Mama tidak tahu bahwa kamu sudah dirisak oleh kawanmu, dan kamu tetap diam. Kamu bersikap nyleneh, melawan Mama, tapi sebenarnya kamu menyembunyikan lukamu." Prita tak bisa membendung lagi air matanya, semuanya leleh begitu saja. Prita hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan menggeleng-gelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled (Completed)
RomanceChandra Pradipta, pemuda selengekan yang enggan berkomitmen. Di usianya ke 28 tahun, Prita kekasihnya meminta agar Chandra segera menikahinya. Namun, adik Chandra - Cinde, yang enam bulan lagi menikah membuat Chandra tidak bisa langsung menyetujui n...