Petang itu jam menunjukkan 17: 32, sebuah notifikasi masuk ke HPku.''Assalamu alaikum...🤗'' Begitulah chat yang masuk ke gawaiku.
''Waalaikumsalam..!' Balasku dengan cepat. Kala aku tau siapa pengirimnya. Seseorang yang beberapa bulan terakhir ini menjadi penghuni relung hati.
Aku tau maksudnya mengirimkan chat ini padaku. Dadaku kini mulai berdebar tak tentu. Kala chatnya terpampang di layar gawaiku. Cukup aku menahan segala sakit dan sesak beberapa hari terakhir ini, di karena mendengar kabarnya yang begitu membuatku ngilu. Hati yang nyeri menahan segala sesak. Tak tau pada siapa harus ku tumpahkan hari itu. Hanya bisa menangis.
[maafkan aku, Nung] chatnya lagi. Sepersekian detik ku tatap layar gawai. Menatap chatnya dengan nanar. Lalu, seketika air mata jatuh, melesat dengan cepat tanpa pernah aku minta. Nung adalah panggilan sayangnya padaku.
Ya tuhan. Perih rasanya. Saat mengetahui apa yang tengah terjadi sebenarnya pada dia beberapa hari terakhir ini.
''Ya...''balasku singkat. Berusaha menahan segala sesak yang menyeruak di dada.
''Allah menumbuhkan rasa suka di hati kita. Tapi Allah menjadikan itu sebuah ikatan. Tak ada gading yg tak retak
hanya Allah yang tahu rahasianya,
semoga torehan luka ini
membuatmu lebih dewasa🙏🙏🙏....''Lagi. Handpone ku berdering, memampangkan balasan chat darinya. Yang semakin membuat dadaku nyeri, bersama air mata yang kian berderai, menganak sungai di pipi.
Ya Rabb..
Sakit...Aku hanya mampu menjerit dalam kesendirian, melihat balasan chat dari dia. Seseorang yang selalu ada kala aku terluka selama ini. Seseorang yang menyokongku, kalah patah hati memenuhi sanubari. Hingga akhirnya aku mulai terjebak dengan rasa nyaman yang berbeda. Saat waktu terus saja memperdekat hubungan kami kala itu.
''Amin'' balasku singkat. Sesingkat-singkatnya. Agar ia tau bahwa di sini di petang yang sunyi ini aku tengah meradang menahan segala sakit juga luka yang ia torehkan.
''Hanya satu pintaku, kamu sampai kapanpun di hatiku. Meskipun jiwa kita tidak bersama...''
Balasnya lagi,
yang semakin membuat ulu hatiku berdenyut nyeri. Bersama air mata yang terus saja merembes, membasahi pipi. Aku hancur, aku rapuh. Kala aku tau dia dengan begitu tega mencampakkanku dan memilih menikah dengan wanita lain, pilihan Kakak dan umminya.Tak ada yang tau sakitku. Tak ada yang tau lukaku. Tak ada yang tau perihku. Aku menjerit dalam kesendirian, mengurung diri dalam kamar.
Dia yang ku harapkan bisa menjadi obat penawar dari segala lukaku di masa lalu. Kini, ia malah menorehkan luka yang sama di hatiku. Luka yang takkan pernah mungkin aku lupa. Padahal dia adalah satu-satunya orang yang selalu menguatkanku kala aku rapuh di dalam hidup, sebab aku di khianati cinta masa lalu.
Aku seorang gadis berusia 20 tahun. Bernama Aprilia. Untuk yang kesekian kalinya di hantam luka lara. Dulu, aku sempat bertunangan selama setahun. Lalu kandas sebab hadirnya orang ketiga. Lalu, dia hadir mengobati luka laraku kala itu. Menguatkan aku agar tetap tegar menjalani setiap terpaan badai yang ada. Kala cintaku kandas di persimpangan.
Dia seseorang yang ku anggap sebagai sandaranku selama ini. Seorang pria dewasa, duda beranak satu. Pernah mengajukan lamarannya mengajakku menikah. Namun, aku tolak sebab memikirkan banyak pertimbangan yang ada. Tentang kehormatannya sebagai seorang Gus. Tentang kisahku yang baru saja kandas dengan tunanganku beberapa bulan lalu. Aku tidak ingin membuat imagenya di masyarakat jelek. Aku takut masyarakat menganggap Gus adalah alasan kenapa hubunganku dengan tunaganku kandas kala itu. Padahal, ia hadir jauh sebelum aku bertunangan dulu. Dan hubungan kami selama ini hanya sebatas sahabat, juga tempatku bercurhat padanya. Hingga pada suatu masa, aku merasakan debar-debar aneh tiap kali dekat dengan dirinya. Rasa tenang dan nyaman, tiap kali mendengar dauhnya. Namun, petang itu luka kembali menghempaskanku. Dia memilih mengakhiri hubungan denganku, dan memilih menikah dengan wanita pilihan umminya. Karena alasan, rasa kecewanya padaku. Juga ingin membuktikan pada masyarakat, bahwa aku bisa laku dan mendapatkan lelaki perjaka. Bukan duda beranak satu seperti dirinya.
Tapi, bukankah cinta tidak pernah memandang status dan kasta. Aku mencinta si Gus apa adanya selama ini. Aku menyayanginya dengan setulus hati. Tak perduli siapa dia, dan apa statusnya. Tapi, lagi-lagi semesta tak merestui rasa yang ada. Cintaku kembali kandas di tengah jalan. Saat ia memilih untuk mengakhiri segalanya.
''Singkirkan saya Sebagaimana mestinya. Saya sudah melepaskan segala ikatan antara kita. Yang tersisa hanyalah hubungan darah.''
Balasku setelah sepersekian detik chatnya itu aku diamkan.Menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Menetralisir segala luka yang menyesakkan dada. Sebab aku sadar, takdir tak pernah bisa di paksakan. Aku dengannya memang masih memiliki hubungan darah, dan kekerabatan dengannya.
''Allah yang menumbuhkan rasa,
Allah juga yang akan mengeksekusi.''
Balasnya lagi.Sedang aku sudah tak mampu bersuara, hanya air mata yang terus deras mengalir tanpa jeda.
Sakit.
Hanya itu yang sekarang aku rasakan. Tak ada lagi, segala kenang itu kini harus perlahan di paksa usang. Sebab semesta tak merestui rasa yang kami punya.'' Allah yang menumbuhkan memang., Tapi kita yang menginginkan ini tetap. Tanpa usaha dan ingin. Semuanya tidak mungkin ada.,''
Balasku tergugu dengan isak tangisku. Bergetar tangan kala menuliskannya.
''aku hargai kamu, sebagai mana yang telah lalu.''
Balasnya lagi.
Entah apa yang ia pikirkan kala itu. Tak taulah iya, bahwa aku tengah meradang menahan sakit? Juga segala luka lara?''Saya sudah menghujat rasa saya.
Dan telah melempar kenangan kita ke masa lalu..'' Balasku dengan cepat, mengungkapkan segala apa yang terlalu sakit di dada.''makasih.,,''! Balasnya singkat. Tanpa pernah ingin mengerti keadaanku sekarang.
''..Yang mengakar biarlah ku cabut perlahan. Karena ku tau membuang secara bersamaan adalah luka bagiku.''
''Rasaku sekarang yang tertinggal bukan lagi sayang...''
Sambungku lagi dengan cepat. Bersama air mata yang tak bisa lagi di tahan. Terlalu sakit, terlalu rumit. Entah bagaimana kedepannya aku akan menghadapi kenyataan yang ada nantinya.
Bencikah???.. Tanyanya dari sebrang sana.
''Tidak. Untuk apa?!!... Membenci pun tak kan mengubah apapun. Hanya saja tatapku tak kan lagi kau temukan.
Karena matamu adalah angan dan harap yang pernah tinggal di lubuk hati ini. Mimpi yang pernah menjadi saksi rasaku, meski pun kau tak percaya denganku...''''Kecewa yang tetap menetap dalam diri ini hanya satu.
Karena kau TAK PERCAYA PADAKU.
Sedangkan kau meyakini rasamu ada....'' Sambungku lagi dengan cepat. Bersama rasa sesak, yang tak bisa aku ungkap. Hanya air mata yang terus mengalir membasahi setiap besitan kenangan yang pernah ada.Dia memilih pergi, melepasku bersama segala kenangan. Dia memilih menikah dengan wanita pilihan umminya. Menghapus aku dari kehidupannya. Tanpa pernah ia tau bagaimana sesaknya dadaku, menahan segala luka. Sakit. Hanya itu yanga ku rasa. Sungguh, kecewa itu kembali aku rasa. Menghantam dada kala janjinya hanya tinggal janji. Ia memilih mengarungi dan membangun biduk rumah tangga dengan wanita yang lainnya. Menghempaskan rasa yang aku punya.
Doaku hanya satu. Semoga Jenengan bahagia, Gus. Salam damai dari saya. Seseorang yang sempat kau buat bahagia, dengan segala debar cinta di dada. Semoga sakinah, mawaddah dan warohmah ngih, Gus.