"Harusnya Mas Firman bisa bersikap lebih lembut pada Rania. Ini kan hari pertamanya sebagai istri," ucap Nabilla saat dia membantu sang suami mengenakan jas di teras rumah.
"Rania itu jorok, dia harus lebih disiplin dan menjaga kebersihan. Dan itu tugasku untuk mendidiknya," sahut Firman ketus.
"Ciyee ... suami yang bertanggung jawab, nih ceritanya?" goda Nabilla.
Firman berdecih dan menyeringai, lalu berkata, "Kamu kan tahu gimana aku? Aku paling tidak suka wanita yang malas."
Kini Nabilla sadar sang suami sedang tidak enak hati dan bukan waktu yang tepat untuk menggodanya. "Iya, Mas, Rania belum terbiasa, Mas harus lebih sabar."
"Ya, sudahlah! Mas berangkat, ya? Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikumsalam ...." Nabilla melambaikan tangan pada suaminya yang meluncur dengan mobil sedan merah.
Nabilla berdiri mematung, rasa sakit dan sesak di dadanya masih terasa. Benar-benar tidak mudah merelakan suami bersama wanita lain.
Sepulang dari acara resepsi semalam, diam-diam Nabilla mengintai suami dan madunya yang berjalan romantis ke dalam kamar pengantin. Bulir air mata meluncur deras bersamaan dengan pintu kamar pengantin yang tertutup rapat. Dadanya terasa sesak tak kuasa menahan pedih.
Nabilla berlari ke kamarnya, mencengkeram erat bantal yang biasa digunakan suaminya. Matanya seolah-olah melihat apa yang sedang terjadi di antara Firman dan Rania. Bayangan itu tampak jelas tak mau menghilang. Nabilla terduduk di sudut kamar. Terus berdoa berharap pagi segera datang.
Suara adzan Shubuh berkumandang. Padahal baru saja matanya terpejam. Nabilla bergegas membersihkan diri, melaksanakan sholat dua rokaat. Setelah berdandan secukupnya untuk menutupi mata yang membengkak Nabilla turun ke dapur, menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ada rasa rindu menggebu, setelah seminggu Nabilla sengaja menjauh dari suaminya.
"Sarapan apa pagi ini?" tanya Firman sudah berdiri di ambang pintu dapur.
"Mas Firman hari ini pergi ke kantor?" Nabilla balik tanya setelah melihat sang suami sudah rapi dengan setelan hitam.
"Iya, banyak proyek yang harus dikerjakan." Firman duduk di kursi paling ujung meja makan.
"Masak pengantin baru harus buru-buru kerja?"
"Jangan menggodaku terus ... aku tahu hatimu terluka, jangan kau lampiaskan dengan menggodaku, itu akan lebih menyakiti hatimu."
"Aku ikhlas Mas ...." Nabilla tersenyum. Dia menyentuh jemari sang suami setelah meletakkan teko air di atas meja makan.
"Aku tahu, tapi berat dan sakit, kan?" Firman menggerakkan tangan lainnya dan menggenggam tangan sang istri.
"Dan aku wanita kuat, makanya aku bisa lewati ini kan?" Nabilla mencoba tersenyum di antara bulir air mata yang mengalir.
Firman menghapus air mata istrinya, ada rasa berdosa menyakiti Nabilla. Namun, membahas tentang masalah itu hanya akan membuat keduanya kembali bertengkar.
"Nak Billa sedang apa di sini?" Sapa Bu Dewi yang baru pulang jalan-jalan keliling kompleks. Lamunan Nabilla buyar.
"Gak ada Bu, Mas Firman baru saja pergi." Nabilla berusaha menyembunyikan air matanya.
"Ibu sudah sarapan belum? Mari sarapan. Ibu biasa minum susu apa teh? Nabilla buatin, ya?" oceh Nabilla menggandeng ibu Rania seolah-olah itu ibunya sendiri.
***
"Siapa yang buat kopi?" tanya Firman sore itu saat sedang santai membaca koran.
"Aku yang buat Mas," jawab Rania.
"Terlalu banyak gula, kurangi gulanya." Firman kembali membuka lembaran koran setelah melirik sebentar ke arah Rania.
"Mas Firman tidak terlalu suka manis, Nia," sahut Nabilla yang sibuk menyirami bunga.
"Aku buatkan yang baru, Mas." Rania mengambil cangkir di meja.
"Gak perlu! Lain kali tanya sama Nabilla apa aja yang ku suka. Cepat mandi! Alangkah lebih baik jika suami pulang kamu sudah dalam keadaan segar dan cantik. Bukan pakai piyama seperti ini." Firman kembali mengoreksi kebiasaan Rania. Tanpa sadar kata-katanya menyinggung perasaan istri mudanya itu.
Rania yang marah, langsung masuk ke dalam rumah. Dia tidak biasa mandi sebelum jam lima sore. Cuaca yang cukup panas membuatnya cepat berkeringat jika mandi terlalu awal. Sedangkan jam empat Firman sudah pulang bekerja. Niat hati ingin segera menyambut kedatangan suami dengan secangkir kopi, apa daya malah mendapat caci maki.
"Mas ... jangan kasar begitu! Rania itu sensitif tidak seperti aku. Jangan perlakukan Rania sama denganku dulu." Nabilla buru-buru meletakkan selang air dan mendekati sang suami. Volume suara sengaja dikecilkan agar tak ada yang bisa mendengar.
"Aku kan mengingatkan hal baik. Apa salahnya?"
"Ishh ... Mas Firman gak peka." Nabilla segera masuk ke dalam rumah mengejar Rania.
Namun Rania sudah di dalam kamar mengunci pintu dari dalam. Nabilla ingin mengetuk pintu, tetapi urung dilakukan. Dia pikir mungkin Rania butuh waktu sendiri.
"Ada apa, Nak?" Melihat gelagat Nabilla, Bu Dewi bertanya.
"Rania Bu, sepertinya tersinggung dengan ucapan Mas Firman. Aku ingin bicara dengannya, tapi sepertinya dia tak mau diganggu."
"Biarkan saja! Biar dia tenang. Nanti biar ibu saja yang bicara dengannya."
"Makasih ya, Bu?"
"Makasih untuk apa?"
"Semuanya."
"Ibu melakukan semua untuk anak ibu juga kan?"
Nabilla mengangguk, ada rindu yang begitu dalam akan sosok seorang ibu. Sudah lama sejak ibunya meninggal dan dirinya diasuh oleh kakek. Namun, kedatangan Bu Dewi di rumah itu seperti seteguk air di tengah dahaga.
***
"Kok sepi, Ma?" tanya Rania setelah celingak-celinguk dan hanya melihat ibunya di depan TV.
"Firman dan Nabilla ke rumah Bu Retno," jawab Bu Dewi yang duduk di meja makan sembari mengupas apel.
"Kok aku gak diajak? Pasti gara-gara Nabilla." Rania mengambil segelas air putih kemudian duduk di samping ibunya.
"Tadinya mau diajak, tapi kamu mengunci diri di kamar. Mama yang nyuruh mereka pergi berdua saja."
"Mama ini kan mama ku? Kok malah belain Nabilla sih?"
Bu Dewi tersenyum, lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulut putrinya. "Kenapa kamu terlihat begitu membenci Nabilla?"
"Haduh, Ma, siapa sih yang gak benci istri lain suaminya?" jawab Rania dengan mulut penuh.
"Nabilla tidak membencimu."
"Kata siapa? Penilaian Mama itu salah, Nabilla itu sangat membenciku."
"Kenapa kamu bisa bilang gitu?"
"Nabilla itu hobi banget mempermalukan ku di depan Mas Firman."
"Dipermalukan Nabilla atau memang kebiasaan mu yang malu-maluin?"
"Mama!"
"Kamu sudah punya suami, tugas utamamu nyenengin suami. Kamu gak bisa bersikap seenaknya sendiri. Menyatukan dua kepala itu tidak mudah. Kamu harus mulai merubah kebiasaan buruk mu dan mengikuti aturan suamimu. Atau hubunganmu tak akan bertahan lama."
Rania terdiam mendengar nasehat orang tua tunggalnya. Ibunya tidak salah, tetapi Rania masih tidak terima kalau dia dimarahi sang suami di depan Nabilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cinta Satu Atap
RomancePoligami tidak semudah yang dibayangkan. Seadil-adilnya seorang suami, tetap akan ada yang terluka. Lalu bagaimana cara Firman membagi cintanya pada kedua istrinya, Nabilla dan Rania.