7

9.8K 368 18
                                    

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat ke arah dapur. Sosok tinggi dengan jambang tipis berdiri di dekat tangga menuju lantai atas.

"Assalamualaikum," sapa Firman.

"Wa alaikumsalam," jawab Rania dan Bu Dewi bersamaan.

"Kok kamu pulang sendirian, Nak Firman?" tanya Bu Dewi saat melihat Firman masuk ke dalam rumah sendirian.

"Mama lagi tidak enak badan Bu, Nabilla minta menginap di sana biar ada yang nemenin mama," jawab Firman.

"Sakit apa mama, Mas?" Rania mencoba menunjukkan perhatiannya.

"Gak apa-apa, tekanan darahnya turun lagi. Mungkin salah makan," jawab Firman setelah mengecup punggung tangan Bu Dewi.

"Syukurlah kalau tidak apa-apa." Rania meraih tangan sang suami dan menciumnya.

"Rania dan Ibu sudah makan?" tanya Firman.

"Ibu sudah makan, Nak."

"Aku belum makan, Mas Firman sudah makan? Aku siapkan makan, ya?" sahut Rania.

"Aku sudah makan tadi di rumah mama, di dapur masih ada makanan kan? Atau—"

"Aku belum ke dapur," potong Rania kesal.

"Sepertinya masih ada masakan Nabilla tadi pagi," sahut Bu Dewi.

Firman menggeleng heran melihat tingkah Rania. Kemudian berlalu menaiki tangga. Niat hati ingin menawarkan membeli makan di luar urung karena sikap Rania yang mulai terlihat kasar. Sopan santun dan ramah yang ditunjukkan saat di kantor beberapa waktu lalu seperti pencitraan saja.

"Mama ini kesempatan Nia buat makan malam berdua dengan Mas Firman." Rania mulai protes saat suaminya tak terlihat lagi.

"Suamimu lelah Nia, biarkan dia istirahat. Kamu harus lebih peka dengan keadaan."

"Ishh ...!" Rania kesal dan pergi meninggalkan ibunya.

Bu Dewi hanya menggelengkan kepala. Entah kapan anak tunggalnya yang manja itu bisa dewasa. Setidaknya saat ini Rania dan dirinya tak lagi tinggal di lingkungan yang selalu menggunjing keluarganya. Mungkin saja saat ini lebih parah. Apa lagi putrinya menikahi pria beristri.

Namun, Bu Dewi memiliki keyakinan penuh akan keputusannya itu. Firasatnya mengatakan hidupnya akan berubah setelah ini.

***

"Kenapa kamu malah tinggal di sini, Billa? Mama tidak apa-apa. Toh, ada Bik Siti dan Mang Paiman yang menemani," ucap Bu Retno.

"Gak apa-apa, Ma, Billa ingin memberi kesempatan Rania dan Mas Firman untuk beradaptasi. Keberadaan Nabilla akan membuat masalah semakin runyam."

"Mereka bertengkar?"

"Tidak, hanya saja, Mas Firman selalu membandingkan antara aku dan Rania. Aku tak mau Rania merasa begitu, walaupun aku tahu niat Mas Firman baik."

"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Bu Retno yang bisa melihat jelas penderitaan dalam pelupuk mata sang menantu.

Nabilla mengangguk, tetapi air mata di sudut matanya meluncur begitu saja tanpa seizin sang empunya.

"Menangislah, Nak! Luapkan segalanya, Mama tahu ini berat. Jadi jangan ditahan terus menerus. Sesekali harus ditumpahkan!"

"Maafkan Billa, Ma. Billa terlalu lemah. Billa ...."

"Untuk apa kamu minta maaf? Mama tahu semua ini yang terjadi, itulah sebabnya mama minta kalian untuk berpikir dua kali sebelum ambil keputusan. Tapi kalian terlalu keras kepala."

Dua Cinta Satu Atap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang