"Mih, hari ini aku bakal wawancara. Duh, deg degan..." Aku masih merebahkan kepalaku di atas kaki Mami yang berselonjor lurus di atas kasur. Wangi kasur rumah sakit adalah yang terbaik!
"Kamu udah siap tapi kan?"
Yang jelas kalau aku siap, harusnya sekarang aku tidak mengadu kepada Mami. Perihal membawa laki-laki juga, Mami akhir-akhir ini sering memberi kode keras.
Kepalaku pening, ingin makan dinding.
"Harusnya, sih siap."
Sebenarnya tidak, karena dari kemarin aku belum sempat makan orang. Aku terlalu lelah mengurusi masalah Pak Arden dan Evyna kemarin, terlebih Annisa mengambil cuti satu minggu. Pekerjaanku semakin banyak, aku pantas dapat penghargaan seperti uang tiba-tiba jatuh dari langit.
Kapan sih bisa ada cowo ganteng kaya raya tujuh turunan dateng? Padahal diwattpad-wattpad biasanya mereka bertemu secara tidak masuk akal. Aku kan juga mau, mau uang cowoknya.
"Yah kalo gak siap sih cap cip cup aja"
"Mami kira ini soal pilihan ganda?"
"Loh, emang bukan?"
Aku memutar bola mataku sembari terkekeh kecil. Kami pun tertawa bersama, hingga akhirnya suster yang merawat Mami datang dan aku juga harus berangkat pergi sekarang.
"Jangan lupa balik bawa mantu!" Teriak Mami yang diselingi tawa oleh suster.
Tuh kan, ini sih namanya bukan nyuruh aku pelan-pelan tapi buru-buru...
一一一
Pak Anto menyuruhku duduk dan menunggu di lobi kantor. Katanya Pak Rio一salah satu pemegang sponsor beasiswaku一ingin mewawancaraiku secara dadakan. Namun yang membuatku luar biasa tidak senang adalah dalihnya! Ia bilang ia terlalu sibuk, jadi harus aku yang datang ke kantornya.
Luar biasa, perusahaan ini bahkan hanya memberi sponsor beberapa persen namun permintaannya banyak sekali. Aku jadi semakin yakin untuk makan dinding!
Dikala aku sedang duduk dan membuka beberapa artikel yang mungkin berguna, pandanganku tiba-tiba saja tertuju pada seorang pria bertubuh tinggi dan berbahu lebar yang tidak asing. Rambutnya yang klimis ke belakang dengan warna hitam pekat ala orang Indonesia pada umumnya adalah tampilan yang tidak biasa aku lihat, namun selain rambut aku memang betul-betul familiar dengan beliau.
Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Sarden!
Oh, tidak, harusnya om-om ganteng kaya raya?
Tapi aku juga suka panggilannya yang duren kaya raya pemilik perusahaan.
Yah, intinya orang sialan yang sudah mengganggu hariku karena tidak mendengarkan orang lain dengan saksama. Jelas-jelas aku Kak Ninis dan Annisa Mba Ninis, jangan-jangan dia menyukai Annisa dan sengaja memanfaatkan momen itu? Astaga, bisa jadi!
Benar juga, alasan ia bisa mengetahui aku kan juga jelas jadinya. Pasti saat ia mencari tahu mengenai Annisa, ia tidak sengaja melihat data diriku juga yang ternyata anak beasiswanya.
Aku menghela napas, seperti sudah tahu kalau hal-hal seperti itu pasti akan menimpaku suatu hari nanti.
"Kamu kok ada dimana-mana?"
"Astaga! Bapak sejak kapan ada di sini!?"
Astaga astaga astaga, bisa-bisa jantungku bertukar posisi dengan pankreas.
Aku heran dengan om-om yang satu ini, sepertinya sangat menyukai permainan pukul tikus. Tahu kan? Yang tikusnya muncul dadakan terus dipukul pakai palu.
Apa jangan-jangan Pak Arden minta dipukul?
"Harusnya saya yang nanya, lagian kamu ngapain di sini?"
Pengen jual diri Pak, udah bosen jadi orang miskin!
"Menurut Bapak?" Aku memalingkan pandangan dari wajahnya menuju ponselku, lanjut scroll artikel tanpa benar-benar membacanya.
"Hmm, kamu mau daftar jadi office girl di sini?" Ia tersenyum menyindir.
Astaga iya Pak! Saya tahu saya miskin, gak usah diingatkan berulang kali. Heran!
"Ya ampun terserah Bapak aja, saya mah ngikut."
Ngikut ke neraka maksudnya. Kita baku hantam di sana!
"Emang kamu suka dan bisa bersih-bersih?"
Jago banget Pak! Bersihin dosa Bapak sampe ke dasar-dasarnya juga bisa.
Aku tahu, pertanyaan barusan berusaha menyindirku. Kalau Bapak ingin bilang saya tidak bisa apapun tolong sekali saja, sampai bosan saya mendengarnya!
"Ya gitulah," Jawabku ogah-ogahan.
"Kenapa kamu gak coba ngurus di rumah saya aja?"
"Dih, emang saya istri Bapak?"
"Boleh"
"Hah?"
"Mba Adine, Pak Rio sudah manggil mba." Panggil Anton yang menepuk pundak kananku sekali.
Aku segera memunggui Pak Arden, "Oh, makasih ya Pak Anton."
"Iya sama-sama neng."
Saat aku hendak bersalaman dengan Pak Anton untuk berterima kasih, Pak Arden menarik pundak kananku hingga tubuhku terbawa ke belakang. Aku nyaris jatuh di atas pahanya jika tidak berpegangan dengan kursi.
"Astaga Pak!"
"Cepet kamu samperin Rio, dia anaknya baperan kalo ada yang telat."
Kayaknya baperan Bapak deh!
"Iya-iya!"
"Uh, saya pergi duluan ya Mba Adine." Pak Anto segera pergi meninggalkan kami berdua lagi, tolong jangan datang dan pergi dadakan terus dong orang-orang disekitarku huhu.
Saat aku hendak pergi untuk wawancara bersama Pak Rio, tiba-tiba saja Pak Arden menarik tanganku eran dan menahanku.
"Bapak, nanti saya telat!"
"Kamu belum jawab pertanyaan saya kemarin."
Bapak juga belom jawab pertanyaan saya yang tadi soal Istri-Istri itu!
"Yang mana?"
"Buat gantiin mawarnya salah tujuan, kamu mau saya ganti apa?"
Bisa gak, gantinya Bapak pergi dari hidup saya? Atau kasih aja saya duit berapa miliar kek Pak, biar saya bisa kabur ke mana gitu.
"Gak usah Pak, santai aja..."
"Saya gak akan lepasin kamu sebelum kamu jawab mau minta ganti apa."
Minta ganti uang lima miliar juga cukup Pak!
"Terserah Bapak aja deh, yang penting saya cepet wawancara!"
"Terserah saya? Kalau gitu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Fiksi RemajaKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...