14

1.3K 93 11
                                    

Aku masih terduduk di sini, dipinggir jalan dengan kemeja kotor, dan juga wajah penuh luka. Orang-orang yang berlalu lalang tak henti-hentinya menatapku, aku seperti bukan manusia dari planet ini. Bukannya menolongku mereka sibuk menontonku dan saling berbisik mengejek. Akhlak manusia memang di jungkir balikan abad ini.

Sekitar lima belas menit aku menunggu Shani di gerbang kostan-nya, tapi anak itu belum juga kembali. Tidak biasanya anak itu pergi selarut ini. Teleponku juga tak di angkat, pesan juga belum dibaca, membuatku khawatir saja.

Aku meringis tiap kali angin meniup luka-luka di sekitar wajah dan lenganku, pukulan Kinan memang tak ada dua. Bukannya aku tidak ingin membalasnya namun posisiku memang salah. Semakin aku melawan semakin besar pula kekuatan Kinan.

Aku kembali melihat ponselku dan belum ada tanda-tanda jika Shani akan menghubungiku

"Shani lama banget sih." Geramku tertahan.

Telepon dari Shania yang terus berdering semakin membuatku pusing. Sudah ke dua puluh kalinya dia menelponku sejak kepergianku dari rumahnya. Isi chatku juga di penuhi pesan dari Shania, aku benar-benar sedang tidak ingin di ganggu. Ucapan Shania beberapa jam lalu membuat jantung hampir lepas dari tempatnya, bagaimana bisa dia berkata demikian tanpa meminta izin dulu padaku, Veranda pasti terluka.

Getar pada ponsel di saku celanaku semakin terasa, sudah bisa ku pastikan jika yang menelponku adalah Shania. Aku membukanya dengan malas, tertera nama Veranda pada layar ponselku. Segala pertanyaan saling berebut dalam kepalaku. Ada apa Veranda menelponku, tidak biasanya aku setakut ini, jantungku benar-benar berhenti berdetak saat suara Veranda menyapa indera pendengaranku. Rasanya aku mau mati saja.

"Ha-hallo." Aku menyapanya dengan ragu.

"Boby, udah sampai rumah?"

Aku diam mendengarkan suara lembutnya, tak ada nada tinggi atau omelan dari mulut Veranda. Dia malah menanyakan hal lain diluar kejadian tadi.

"Belum, aku masih dijalan. Kenapa, Ve?"

Ku dengar Veranda menghembuskan napas sebelum menjawab pertanyaanku.

"Sayang," Veranda tertawa kecil saat dia memanggilku dengan kata, sayang. Hatiku seakan mencelos membayangkan wajahnya saat ini.

"Bisa kita ketemu? Aku tunggu di kamar." Panggilan terputus. Butuh beberapa detik untuk mencerna setiap katanya. Sekarang aku bergegas menuju rumahnya.

***

Brak! Boby sampai di kamar Veranda. Selain jago karate, bakat terpendam Boby adalah ahli mengecoh lawan. Pak Satpam sampai kelimpungan mencari seorang pria yang baru saja melewati pagarnya.

"Lama banget, habis dari mana dulu?" Suara Veranda mengagetkan Boby yang baru saja tiba. Peluh bercucuran, bajunya basah dan juga kotor oleh bercak darah. Hati Veranda menangis melihat pria yang ia cintai datang dengan wajah hancur.

Veranda menepuk kasurnya memberi tanda untuk duduk di sampingnya. Boby berjalan mendekat menyeret kakinya yang terasa ngilu karena memanjat kamar Veranda yang berada di lantai dua.

"Kenapa wajah kamu? Berantem?" Veranda bertanya dengan suara bergetar, tangannya menyentuh luka yang masih baru lantas membuka kemeja Boby yang tak jelas rupanya.

Boby tak menjawab, mulutnya terasa berat untuk mengeluarkan suara. Yang ada dihatinya adalah rasa bersalah yang kian dalam. Boby menangis di hadapan Veranda, memeluk tubuh ringkih Veranda yang lama tak ia rengkuh.

"Maaf. Maafin aku, Ve." Boby menunduk, semakin lama menatap mata Veranda semakin menunjukan sejahat apa dirinya.

"Temani aku tidur malam ini." Veranda enggan mengingat hal yang menyakitkan untuk di ingat. Sebelum jauh tak tersentuh Veranda hanya meminta Boby menemaninya malam ini, menumpahkan rasa rindu terbalut luka menghujam kalbu. Egoiskah dirinya? Salahkah dengan keinginannya?

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang