"Hei! Hei! Bangun! Bangun!" Abiem terbangun dari tidurnya. Rasanya baru sekejap dia memejamkan mata namun matahari tiba-tiba sudah tinggi saja. "Kamu mabuk, ya?" Tanya pria tua yang membangunkannya. Abiem mengerjap-kerjapkan mata.
"Tidak, Pak. Saya tidak mabuk." Jawab Abiem.
"Kalau tidak mabuk, kenapa tidur di sini? Minggir, sana! Aku mau jualan!" Usir pria itu. Dengan langkah gontai, Abiem menuju motornya. Namun, dia urung menyalakan motornya. Dia kembali lagi kepada pria itu.
"Bapak jualan apa?" Tanya Abiem.
"Itu ada gorengan. Tapi sebentar! Belum siap!" Jawab pria itu sambil mengangkat galon air dari becaknya. Abiem kasihan juga melihat orang itu. Tanpa bicara, Abiem membantu mengangkati galon dan barang bawaan bapak itu. "Eh! Eh! Eh! Apa yang kamu lakukan?" Kata bapak itu.
"Biar saya bantu, Pak." Kata Abiem akhirnya. "Pak, angkot yang lewat depan sini, angkot nomor berapa ya?" Tanya Abiem sambil meletakkan galon di sebelah meja dagangan.
"Tidak ada angkot yang lewat sini." Jawab si bapak.
"Hah? Tidak ada?" Abiem terkesiap. "Terus, kalau orang-orang mau bepergian, naik apa, Pak?" Tanya Abiem lagi.
"Ya naik ojek, naik motor. Kalaupun pengin naik angkot, harus jalan ke sana tuh!" Kata bapak itu sambil menunjuk ke arah kanan. "Dua kilo dari sini." Lanjutnya.
Abiem duduk, termenung. Jangan-jangan, abang cungkring yang kemarin itu bohong. Jangan-jangan, Riri tidak pernah sampai sini. "Ya sudah, Pak. Terima kasih infonya. Maaf, tadi malam saya tidur di lapak Bapak tanpa permisi." Kata Abiem.
"Eh, jangan pergi dulu! Bapak buatkan teh manis, ya. Kan kamu sudah bantuin Bapak." Kata Bapak itu.
"Tidak usah repot, Pak. Anggap saja itu balas jasa karena saya sudah tidur di sini." Abiem menolak. "Saya terburu-buru."
"Kalau begitu, Bapak bungkuskan saja. Minum di jalan!" Kata bapak itu sambil menuangkan teh manis dari gelas ke plastik bening lalu menyodorkannya kepada Abiem.
"Terima kasih, Pak. Bapak baik sekali." Kata Abiem. "Saya pamit." Lanjutnya. Lalu, dia menuju motor.
Abiem tidak tahu harus ke mana lagi. Semalaman dia sudah menyusuri pesawahan namun tidak ada jejak Riri sama sekali. Kira-kira, ke mana dia. Atau, jangan-jangan, Riri sudah pulang? Iya kalau sudah pulang. Kalau belum?
Pelan, Abiem mengendarai motornya hingga memasuki perkampungan. Siapa tahu, Riri ada di situ. Abiem menanyai satu per satu orang yang dia temui namun tidak ada satupun yang melihat Riri.
***
Bu Ismoyo menyodorkan handuk dan baju ganti kepada Riri. "Mandi!" Katanya sambil memeragakan orang menyiram tubuh dengan gayung. "Trus, ganti baju!" Lanjutnya sambil memegang baju seragam Riri. "Bau!" Katanya sambil menutup hidung. Riri tersenyum. Dia mengangguk dia lalu menuju kamar mandi.
Sementara itu, Bu Ismoyo mendengar suara teriakan tukang sayur menawarkan dagangannya di luar sana. Bergegas dia ke kamar, mengambil dompet lusuhnya, lalu keluar bergabung ibu-ibu tetangganya yang sudah menggerombol mengelilingi si tukang sayur. Ketika dia sampai kepada ibu-ibu itu, dilihatnya seorang pemuda mengendarai motor yang baru saja meninggalkan ibu-ibu itu.
"Itu tadi siapa, Bu?" Tanya Bu Ismoyo kepada tetangganya.
"Tidak tahu, Bu Is. Kayaknya bukan anak sini." Jawab salah satu tetangganya.
"Oh... Ada perlu apa ke sini?" Tanya Bu Ismoyo sambil memilih-milih sayuran.
"Dia sedang mencari temannya. Katanya temannya sejak pulang sekolah tidak sampai rumah." Jawab salah satu tetangganya yang lain.
"Hmmm... Anak sekarang ini aneh-aneh saja kelakuannya ya, Bu." Kata Bu Ismoyo. "Pergaulannya juga mengkhawatirkan. Takutnya, gaul dengan yang nggak bener gitu." Lanjutnya.
"Betul, Bu Is." Sahut tetangganya. "Kalau Bu Is mah enak, anak-anaknya nurut-nurut. Sekarang sudah jadi orang semua." Lanjutnya.
"Ya jadi orang lah, Bu. Masak ya jadi kambing." Kata Bu Ismoyo disahut tawa renyah ibu-ibu yang ada di situ. "Sudah, Mang. Tolong dihitung." Kata Bu Ismoyo sambil menyerahkan barang pilihannya kepada tukang sayur.
"Tumben belanjanya banyak, Bu?" Tanya salah satu tetangganya. "Anak-anak di rumah, ya?" Lanjutnya.
"Tidak, Bu. Ini ada keponakan dari desa yang semalam datang. Mau ikut tinggal di sini, biar bantu-bantu saya gitu." Jawab Bu Ismoyo.
"Keponakannya laki-laki apa perempuan, Bu Is?" Tanya tetangganya.
"Perempuan." Jawab Bu Is.
"Cantik tidak, Bu Is? Kalau cantik, bolehlah kita jodohkan dengan anakku si Mono." Tanya tetangganya yang lain.
"Cantik sih, Bu. Tapi..." Bu Ismoyo membayar belanjaanya.
"Tapi apa, Bu Is?" Tanya tetangganya.
"Cantik tapi bisu." Jawab Bu Ismoyo.
"Astaga... Kasihan sekali!" Kata ibu-ibu itu.
"Sudah ya, Ibu-ibu. Saya duluan." Bu Ismoyo pamit dan meninggalkan tetangga-tetangganya.
Sementara, di rumah Pak Ismoyo, Riri sudah selesai mandi dan berganti baju. Dia berjalan tertatih ke ruang tamu. Badannya memang masih terasa ngilu. Luka-lukanya pun kembali terasa perih karena terkena air. Dia memutuskan untuk duduk di ruang tamu. Belum sempat dia duduk, dari jendela dia melihat seorang pemuda menaiki motor dengan pelan. Sepertinya, dia pernah melihat pemuda itu. Dia itu mirip dengan ... .
"Abiem!" Kata Riri lirih. "Apa benar itu Abiem? Abiem..." Riri tertatih keluar rumah. Namun sayang, pemuda itu sudah menjauh.
"Eh, sudah mandi. Sudah cantik." Kata Bu Ismoyo yang baru datang, sambil mengacungkan jempolnya pada Riri. Riri tersenyum. "Ayo!" Bu Ismoyo menggandeng Riri masuk dan mengajaknya duduk di ruang tamu. Bu Ismoyo meninggalkan Riri di ruang tamu. Dia masuk kamar, lalu keluar membawa obat luka dan perban baru.
"Ibu obati, ya. Biar cepat sembuh lukanya." Kata Bu Ismoyo sambil menyapukan obat luka pada luka Riri. Riri menurut saja. Bu Ismoyo memang orang baik-baik. Begitu pikir Riri. Tiba-tiba, Riri teringat dengan neneknya yang sudah tiada. Selama ini, neneknya lah yang merawat dan menyayangi dia. Dia juga tiba-tiba teringat ayahnya. Pasti ayahnya sangat mengkhawatirkan dia. Dan ibu tirinya? Riri tidak tahu, dia khawatir atau tidak dengan dirinya. Tapi, Riri menyimpan kekhawatiran, ibu tirinya pasti marah besar karena dia tidak pulang-pulang. Tak terasa, Riri menangis.
"Kenapa sedih?" Tanya Bu Ismoyo. "Jangan sedih! Kamu aman di sini." Kata Bu Ismoyo yang segera memeluk Riri. Iya, Riri memang aman di rumah itu. Namun, tetap saja Riri ingin pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Abiem
Teen FictionAbiem disudutkan pada pilihan yang rumit. Papanya menjodohkan dia dengan Utari sedangkan dia sendiri jatuh cinta pada Sundari. Di satu sisi, Abiem tidak bisa menuruti keingingan papanya. Dia sangat menyayangi papanya dan tidak ingin mengecewakannya...