Manuscript no.10: Seni dan dirinya
Kali ini aku menghabiskan Minggu dengan berjalan-jalan di pusat kota. Jimin terpaksa ikut karena aku ingin ditemani. Aku mengambil alih hari minggunya kali ini. Dia sedikit keberatan namun tepaksa mengiyakan. Aku tidak tahu apa alasannya tapi aku bersyukur dia mau aku ajak. Setidaknya Ku tidak perlu berjalan sendirian di tengah keramaian.
Kami melirik beberapa toko. Toko buku, toko kamera, toko game, toko aksesoris, bahkan toko boneka. Jimin juga tampak antusias saat kami masuk ke dalam toko kamera dan game. Seolah benda-benda di sana membangkitkan semangatnya lagi.
Kami juga mampir ke perpustakaan kota. Berkeliling di antara rak-rak tinggi berisi buku-buku. Aku menjelajahi buku yang bertumpuk sangat tinggi dan berjalan
di antara rak-rak buku, mencari sebuah buku yang kelihatan menarik. Rak-rak buku itu sudah dilabeli, mulai dari sejarah, geografi, sastra, karya terjemahan, puisi, drama, bahkan buku-buku asing, semuanya tersusun rapi.Akhirnya, aku memilih satu set buku yang terdiri dari beberapa
jilid yang memiliki sampul sangat indah, karya terjemahan
berjudul The Arabian Nights, mengambil satu jilid dan membawa -
nya ke ruang baca. Sedangkan Jimin memilih untuk menikmati ponselnya lebih dari apapun saat ini.Ini pertama kalinya aku datang ke perpustakaan pusat kota. Tempatnya persis
seperti yang aku lihat dalam foto di majalah—luas dan nyaman,
dengan langit-langit yang tinggi. Sesekali angin berhembus perlahan
melalui jendela yang terbuka, tirai berwarna putih melambai lembut
di udara yang agak panas. Dan aku menyukai sofa yang nyaman ini. Sebuah piano tua berdiri di suatu sudut, dan keseluruhan
tempat itu membuat aku merasa berada di rumah seorang teman. Tapi aku tak menghabiskan hari Mingguku hanya untuk membaca di perpustakaan itu. Setelah membuat sebuah kartu keanggotaan, aku memboyong tiga jilid buku untuk kubaca di rumah."Nuna, bagaimana kalau kita ke game center?" Tanya Jimin.
Aku mengangguk. Di sebuah pusat perbelanjaan, kami pergi ke game center. Sontak Jimin lagi-lagi bersemangat. Dia membeli koin untuk dimainkan tanpa tanggung-tanggung. Lima puluh koin dia boyong untuk dihabiskan sendiri. Sedangkan aku hanya membeli lima belas koin untuk aku mainkan. Aku tidak terlalu tertarik untuk urusan game.
Beberapa kali aku mendengar teriakan Jimin yang sibuk dengan permainannya. Aku memilih untuk menghabiskan koinku pada beberapa permainan yang tidak terlalu menguras otak. Beberapa permainan yang terkesan kurang menarik dari yang dimainkan oleh Jimin. Setelah menghabiskan semua koin yang aku punya, aku menghampiri Jimin yang sudah memperoleh banyak karcis dari game-game yang ia mainkan.
"Aku masih punya beberapa koin. Tapi aku sudah mulai lapar."
"Kau bisa tukarkan semua karcis itu dulu." Ucapku.
Jimin mengangguk lalu menukarkan semua karcis permainan yang ia punya. Aku menunggunya di bagian luar arena. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit, Jimin kembali dengan membawa sebuah boneka beruang besar berwarna biru muda di pelukannya.
"Tidak ada hadiah yang lain? Kau sama sekali tidak cocok dengan boneka sebesar itu." Ucapku.
"Ada, tapi aku memilih ini."
"Kenapa?"
"Untukmu." Ucapnya. Aku mengerutkan dahi. Apa yang merasukinya? "Kau selalu murung akhir-akhir ini, membuatku kesal. Apa masalahmu sebegitu besarnya hingga kau lupa untuk sekedar mengingat bahwa kau punya adik yang sudah cukup dewasa untuk tahu perasaan kakaknya?" Jimin mendengus.
"Kenapa kau tiba-tiba menyebalkan, Jim?" Tanyaku.
"Kau yang menyebalkan." Jimin berjalan duluan, memeluk boneka beruang itu seperti anak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Manuscripts (Kim Taehyung Ff)
Fanfiction"He is my favorite mute muse..." Kim Taehyung #KimTaehyungFanfiction #Let'sFixFanficLiterature #LFFL