Oleh Uswatun Khasanah
Dalam 24 jam sehari, manusia akan berjuang agar hidupnya selalu berlimpah kebahagiaan. Walau mereka juga menyadari bahwa ada kesedihan yang selalu mengiringinya.
Hal tersebut dilakukan manusia karena mereka menyadari bahwa setiap dari mereka yang hidup di dunia berhak untuk bahagia. Bayi yang baru lahir, anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan lansia memiliki hak yang sama.
Sudah menjadi kodrat yang digariskan oleh Tuhan bahwa manusia selalu berjalan menuju sesuatu yang membuat mereka tersenyum dan merasa tenang, yakni sebuah sikap dan perasaan yang dapat menimbulkan bahagia. Sebaliknya, mereka akan menjahui apapun yang terasa tidak menyenangkan serta dapat menyebabkan rasa sakit. Begitu pula dengan saya.
Ketika masih berada pada usia anak-anak, kemarahan ibu adalah hal yang paling saya hindari. Sebab, setiap kali ibu marah, yang timbul dalam diri saya adalah perasaan tidak aman. Saya amat tidak menyukainya dan pada akhirnya saya akan sedih dan menangis.
Sementara itu, saya lebih suka jika beliau memuji dan memanjakan saya. Oleh karenanya saya akan melakukan apapun agar mendapat perlakuan yang menyenangkan dari beliau.
Saya bersedia tidak makan permen coklat atau minum es. Usai pulang sekolah atau mengaji, saya hampir tidak pernah pergi bermain dengan teman-teman. Tidur tepat waktu, makan tepat waktu serta belajar tepat waktu selalu saya lakukan. Nilai-nilai bagus di sekolah pun saya perjuangkan demi mendapat perlakuan menyenangkan dari orang tua, sebuah hal yang membuat saya bahagia.
Lambat laun, apa yang pernah saya lakukan saat masih kecil, melekat kuat pada diri saya hingga dewasa. Bahwa bahagia merupakan sebuah tujuan yang baru bisa dicapai setelah melewati beberapa proses.
Namun, pada kenyataannya, saya sering berada pada kondisi yang tidak menyenangkan selama menjalani proses menuju bahagia tersebut. Mulai dari kesal karena sering merasa jenuh dan letih, hingga stres karena merasa tertekan. Belum lagi, jika gagal meraih tujuan. Kecewa, sedih dan marah sudah pasti harus dialami
Seperti aturan tentang kedisiplinan dari orang tua yang pernah saya coba laksanakan saat masih kecil. Saya melakukannya semata-mata untuk menghindari kemarahan orang tua yang membuat saya tidak bahagia. Di sisi lain saya merasa tertekan dengan itu semua. Tidak bisa bebas, kurang bergaul hingga terdiskreditkan dari lingkungan pertemanan.
Jika konsep bahagia seseorang seperti apa yang saya contohkan, maka kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat langka. Dia hanya dapat dirasakan pada kondisi tertentu.
Memang, bahagia tidak bisa dinikmati pada setiap detik yang berjalan di kehidupan manusia. Tentu saja ada saatnya manusia merasa cemas, takut dan sedih. Namun, saat seseorang bersedia mengubah konsep bahagia, maka mereka berpeluang untuk lebih sering tersenyum dan merasa damai.
Saya pernah bertanya pada diri sendiri. Apakah bahagia memang termasuk dalam tujuan hidup? Jika demikian, apakah itu artinya manusia tidak akan merasa bahagia saat tujuannya gagal tercapai? Betapa melelahkannya hidup yang singkat ini untuk sebuah rasa bahagia.
Pertanyaan ini kemudian perlahan menemukan jawabannya melalui sebuah pengalaman hidup yang sederhana. Beberapa tahun lalu, saat saya merantau untuk menempuh pendidikan strata satu, saya tinggal berdua dengan seorang teman di sebuah kamar sewa. Kami berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, sama-sama kuliah dengan beasiswa dan memiliki kesibukan dunia kampus yang tidak berbeda. Dengan kondisi demikian, harusnya kami memiliki tingkat stres yang sama, bukan?
Pada kenyataannya, dibandingkan saya, seorang teman ini sikapnya jauh lebih tenang, lebih lemah lembut, lebih banyak senyum dan terlihat selalu bahagia. Saya hampir tidak pernah mendengar dia mengeluh, melihat wajahnya murung, atau menjumpainya sedang marah. Sekalipun ia sedang marah atau kesal, sikapnya tak pernah membuat orang di dekatnya merasa tidak nyaman. Dia seseorang yang benar-benar beraura positif, sejauh yang saya kenal selama 4 tahun.
Awalnya saya mengira bahwa sikap yang dia punya adalah sikap bawaan sejak lahir, tapi kemudian saya tidak lagi percaya pada teori itu. Setelah saya memerhatikannya lebih detail dan mengajaknya diskusi, saya ketahui bahwa rahasia di balik sikap positif yang dia punya adalah rasa syukur dan berserah diri pada Allah.
Sejak kecil, ia terbiasa mengucap Bismillah sebelum mengerjakan sesuatu, dan bertahmid (mengucap Alhamdulillah) tiap usai melakukan sesuatu. Saya juga melakukan hal yang serupa, tapi seperti manusia kebanyakan yakni mengucapkannya hanya saat melakukan hal-hal besar. Sementara seorang teman ini, menerapkan kebiasaan tersebut pada seluruh aktifitasnya; menyapu, mengepel lantai, memasak, mencuci baju, membaca buku, menulis rangkuman, berhias di depan cermin, memakai sepatu dan aktifitas lainnya.
Merasa penasaran dengan hasil yang didapat dari menerapkan kebiasaan tersebut, saya pun mencobanya dengan terlebih dahulu memahami makna Bismillah dan Alhamdulillah dalam ketauhidan. Singkatnya, saat saya mngucap Bismillah berarti saya telah bersedia mengerjakan sesuatu dengan penuh keikhlasan, hanya mengharap ridha dan kebaikan dari Allah sebagai imbalannya. Kemudian, ketika saya mengucap Alhamdulillah, maka saya wajib mensyukuri bagaimanapun hasil yang saya peroleh dari apa yang saya kerjakan, meyakini bahwa apa yang telah saya selesaikan bukanlah atas kemampuan saya, melainkan karena Allah yang menghendaki.
Cukup banyak perubahan yang saya rasakan setelah menerapkan ilmu dari seorang teman itu. Bahagia lebih sering saya dapatkan, sebab saya sudah jarang sekali mengeluh baik itu karena alasan jenuh, lelah ataupun merasa kesulitan dalam mengerjakan sesuatu.
Perasaan kesal, tidak tenang, tertekan atau perasaan tidak nyaman lainnya tergantikan dengan kedamaian dan ketentraman. Wajah murung sudah terhapuskan dengan pancaran semangat lewat senyum. Selain itu, saat saya mengalami kegagalan, sedih dan kecewa saya rasakan sekadarnya, tidak berlarut-larut. Sebab, setelah itu saya selalu ditunjukkan pada hikmah dan pelajaran yang ada dalam kegagalan tersebut.
Setelah memahami konsep baru ini, sebenarnya bahagia tidak sesuai dijadikan sebagai tujuan hidup, apalagi jika manusia membuat parameter sendiri untuk mengukur bahagia. Bahagia hanyalah bonus dari sikap berserah diri dan rasa syukur yang wajib melekat pada diri setiap manusia dan diterapkan dalam segala aspek kehidupannya.
Manusia memang berhak mendapat kebahagiaan dan berhak hidup sebagai insan yang selalu bahagia. Satu hal yang perlu diingat, agar hak terpenuhi, kewajiban harus dilaksanakan bukan?
YOU ARE READING
Menjadi Bahagia
Non-FictionBagaimana kalau kamu berhenti sejenak dan mencaritahu apa bahagia yang sesungguhnya di sini? Selami dirimu sendiri dan dapatkan hati yang baru setelahnya. Buku ini adalah karya anggota kelas menulis BukuKita pada minggu pertama di bulan Desember 201...