Oleh Nur Azizah
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti punya harapan dan tujuan. Melakukan ini dan itu, berlari ke sana dan kemari demi mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. Bahkan, beberapa jenis manusia rela menghalalkan segala cara untuk mencapai harapan dan tujuan. Ya. Terlepas dari benar tidaknya proses yang dilakukan, mereka tetap saja sedang berusaha demi mencapai satu kata, yaitu bahagia.
Menurutmu, bahagia itu apa?
Bahagia menurut Carr didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang positif, yang ditandai oleh tingginya kepuasan terhadap masa lalu, tingginya emosi positif dan rendahnya emosi negatif. Sementara itu, menurut Seligmen bahagia yang sesungguhnya merupakan hasil penilaian terhadap diri dan hidup, yang memuat emosi positif seperti kenyamanan dan kegembiraan yang meluap-luap, maupun aktivitas positif yang tidak memenuhi komponen emosi apa pun, seperti absorbsi dan keterlibatan.
Hati yang penuh dengan rasa senang merupakan pembawaan diri dari presepsi dan keharusan-keharusan yang kita ciptakan sendiri. Antara manusia satu dengan manusia lainnya tentu memiliki pola pikir, latar belakang, dan prinsip serta kriteria yang berbeda untuk menentukan definisi bahagia.
Seseorang yang menginginkan kekayaan tentu akan mengganggap bahwa sumber kebahagiaan adalah materi. Sehingga untuk mencapai kebahagiaan tersebut ia akan rajin belajar untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar. Berbeda dengan orang yang orientasi hidupnya adalah untuk keluarga. Di mana, kebahagiaan sepenuhnya terletak pada keluarga. Maka, ia akan berusaha semaksimal mungkin mengerahkan tenaga, waktu, pikiran, dan materinya untuk keharmonisan keluarganya.
Namun, apa pun orientasi manusia pasti menginginkan akhir yang baik dalam hidupnya. Sehingga bahagia yang sesungguhnya dapat dirasakan di dunia bahkan hingga di akhirat kelak. Sebab, dunia adalah ladang amal dan akhirat adalah tempat untuk memanen apa yang telah kita tanam di dunia.
Untuk mencapai hal tersebut, ada pendekatan kebahagiaan yang dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari :
1. Mengubah Presepsi Bahagia
Seperti yang sudah dijelaskan tadi. Bahagiamu tidak sama dengan bahagiaku. Artinya, semua orang punya kriteria masing-masing untuk menentukan definisi bahagia. Wajar saja jika semua orang punya kriteria yang berbeda, sebab tidak ada manusia yang sama persis sekalipun jasadnya kembar identik.
Kesalahan yang sering terjadi adalah manusia kerap kali memberi porsi yang besar pada kriteria-kriteria tersebut di dalam dirinya. Mendoktrin berlebihan sehingga ketika kriteria-kriteria yang mereka anggap dapat membawa pada kebahagiaan malah hancur atau tidak terpenuhi. Lalu, mereka akan memberi respon berupa emosi negatif. Seperti marah kepada diri sendiri dan orang lain, kecewa yang berlebihan, frustasi, hingga putus asa.
Tentu, sebagai manusia biasa kita pernah mengalaminya. Namun, jika kita telah mengerti bahwa emosi negatif cenderung berdampak buruk bagi keseharian kita, bukankah lebih baik kita menghindarinya?
Caranya dengan mengubah presepsi dalam diri kita. Tanamkanlah pemikiran bahwa kebahagiaan adalah tentang meraih rida Allah. Bagaimana agar Allah rida? Senangkan hati orang tua, suami, istri, anak-anak, dan semua hamba Allah yang lain.
Bagaimana jika mereka tidak menyukai kita? Tetaplah berbuat baik dan menyambung silaturahmi. Sulit memang. Namun, dengan menetapkan rida Allah sebagai kunci kebahagiaan, hati menjadi tentram. Hidup lebih terarah untuk memaksimalkan segala usaha dengan tidak lagi berorientasi pada kefanaan dunia, dengan tidak meninggalkan dunia sebagai ladang amalnya.
2. Menata Niat
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Di dalam tubuh kita ada segumpal daging. Jika daging itu baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik. Sebaliknya, jika daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuh. Segumpal daging itu bernama hati."
Niat adalah pondasi kedua setelah presepsi. Seseorang yang telah menanamkan bahwa presepsi bahagianya adalah karena rida Allah, maka hal selanjutnya yang perlu ia tata dalam hatinya adalah niat. Niat berangkat kuliah karena rida Allah. Niat bekerja karena rida Allah. Niat mengajar karena rida Allah, dan niat-niat yang lain karena rida-Nya pula.
Sebab, segala sesuatu yang diniati akan berpahala. Dari niatnya saja sudah dinilai pahala, apalagi jika kebaikan-kebaikan yang dilakukan. Akan bertambah lagi pahalanya. Namun, berhati-hatilah. Karena, jika niatnya saja sudah buruk maka niat tersebut akan dinilai dosa.
3. Berusaha dengan Maksimal
Jika di dalam diri kita telah tertanam bahwa rida Allah adalah kunci bahagia serta sudah berniat untuk melakukan segala sesuatu karena rida-Nya. Maka, langkah selanjutnya untuk mencapai kata bahagia adalah dengan mewujudkan presepsi dan niat itu menjadi nyata.
Kebanyakan manusia di zaman ini lebih ahli menata niat dari pada merealisasikannya. Sehingga rencana-rencana teronggok. Agenda-agenda berganti status sebatas wacana. Ups! Jangan sampai, ya!
Usaha adalah pembuktian diri bahwa kita sungguh-sungguh ingin merealisasikan apa yang telah kita niatkan. Jika kita benar-benar ingin menikah misalnya. Sudah mantap niat menikah dengan Si A karena rida Allah, tetapi tak kunjung dilamar.
Bagai ingin makan buah rambutan, tetapi enggan memetiknya. Hanya menunggu buahnya jatuh tanpa usaha mendapatkan. Malah, mungkin saja keinginannya harus pupus jika buah itu jatuh, tapi tak layak dimakan. Atau dipetik orang lain yang berusaha lebih keras darinya.
Bukankah sudah jelas jika Allah akan mengubah nasib seseorang kalau orang tersebut berusaha mengubah nasibnya sendiri? Jadi, masih mau berniat tanpa diiringi usaha?
4. Doa dan Pasrahkan Hasil
Jika kita telah melakukan ketiga hal tadi, hal selanjutnya yang mesti kita lakukan adalah berdoa dan memasrahkan hasil kepada Sang Pemilik doa. Doa dan sikap pasrah adalah pembuktian bahwa manusia hanyalah hamba. Hamba yang bisanya cuma meminta kepada-Nya.
Allah senang mendengar doa kita. Dia amat senang kita meminta. Langitkan doa-doa, lalu pasrahkan hasilnya. Apa pun hasilnya adalah hal terbaik yang Dia berikan meskipun kita memandangnya berbeda. Toh, apa yang terbaik menurut kita belum tentu terbaik menurut-Nya. Apa yang buruk menurut kita, bisa jadi itu yang akan menuntun kita menjadi manusia yang lebih manusiawi. Terserah pada-Nya.
Lagi pula, kita cuma hamba. Toh, kunci kebahagiaan adalah rida-Nya, kan? Mengapa meminta hasil yang baik menurut kita jika kita sudah mendapatkan rida Allah? Yakini saja bahwa pemberiannya adalah yang terbaik.
Nah, kiranya empat hal tadi dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari demi mencapai kata bahagia. Semoga bermanfaat.
YOU ARE READING
Menjadi Bahagia
Non-FictionBagaimana kalau kamu berhenti sejenak dan mencaritahu apa bahagia yang sesungguhnya di sini? Selami dirimu sendiri dan dapatkan hati yang baru setelahnya. Buku ini adalah karya anggota kelas menulis BukuKita pada minggu pertama di bulan Desember 201...