Collapse

15 2 2
                                    

"Apa? Rumah kita disita bank, Pa?" Teriak Abiem seakan tak percaya. Papanya mengangguk pelan. "Kok bisa sih, Pa?" Tanya Abiem, seakan tak percaya.

"Papa salah perhitungan, Biem." Jawab Papa Abiem. "Papa tertarik ikut investasi bisnis yang ditawarkan Pak Suyudana. Ternyata, modal Papa semua habis ke situ." Jawab Papa.

"Pak Suyudana? Papanya Emon?" Abiem terbelalak kaget. Papanya sekali lagi mengangguk pelan. "Aduh, Papa..." Abiem mengacak-acak rambutnya. "Ini penipuan namanya, Pa. Papa tidak lapor saja ke polisi?" Tanya Abiem.

Papanya menggeleng. "Papa tidak bisa, Biem. Di awal MoU, Papa sudah menandatangani kesepakatan untuk tidak menuntut pihak PT. Gajahoya jika segala resiko terjadi. Papa yang salah, Biem. Papa tidak teliti membaca isi MoU yang ternyata merugikan Papa." Kata Papa Abiem.

"Lalu, kita akan tinggal di mana, Pa? Jadi gelandangan? Mama bagaimana? Adik-adik bagaimana?" Tanya Abiem.

Papa Abiem menghela nafas. "Papa sudah cari kontrakan. Besok kita pindah ke sana." Kata Papa Abiem. "Segera kemasi barang-barangmu, Biem! Besok pagi kita pindah." Kata Papa Abiem sambil berlalu meninggalkan Abiem. Abiem masih tidak percaya semua ini terjadi. Abiem juga tidak habis pikir, bagaimana bisa papanya begitu mudah dikelabui oleh Papa Emon.

"Sudah, sana! Kemasi barangmu!" Kata Mama Abiem, lirih. Dipandangnya wajah Mama Abiem. Ada kesedihan dan kekecewaan mendalam tergambar di wajahnya. Namun, Mama Abiem selalu bisa bersikap tenang dan sabar. Abiem langsung memeluk mamanya. "Inilah hidup, Biem. Tidak selamanya berjalan sesuai yang kita inginkan. Yakinlah! Kita pasti bisa melewati ini semua." Kata Mama Abiem. Abiem memandang wajah mamanya lekat-lekat. Dia begitu kagum dengan wanita di hadapannya itu. "Sudah, sana! Berkemaslah!" Perintah mamanya. Abiem mengangguk, lalu menuju kamarnya, mengemasi barang-barangnya.

Keesokan harinya, Abiem dan keluarganya pindah ke rumah kontrakan. Jauh dari rumahnya yang dulu. Jauh pula kondisinya dari rumahnya yang dulu. Dulu, rumahnya luas. Kini, rumahnya sempit. Dulu, dia punya kamar sendiri. Kini, dia harus berbagi dengan kedua adiknya. Dia merasa sungguh kasihan dengan adik-adiknya itu. Tapi, tampaknya adiknya tidak ambil pusing. Mereka justru bahagia, boleh tidur sekamar dengan kakak mereka. Abiem pun membiarkan saja. Asal adik-adiknya bahagia.

"Ma, Pa, Abiem berangkat sekolah dulu ya." Kata Abiem sambil mencium tangan kedua orang tuanya.

"Biem, kamu bawa sekalian adik-adikmu, ya!" Kata Papa. "Mobil Papa mau Papa jual, untuk tabungan awal kita. Nanti, Papa mau berusaha cari kerja." Kata Papa Abiem. Abiem hanya mengangguk. Sementara, adik-adiknya yang masih SD itu berteriak girang karena diperbolehkan berangkat sekolah naik motor bersama kakak mereka. Ah, mereka tidak paham kalau keluarga mereka sedang collapse.

Abiem segera mengantar kedua adiknya sebelum berangkat sekolah. Sesampai di sekolah, Abiem masuk kelas dengan wajah kusut.

"Hai, Abimanyu Putra Dananjaya! Apa kabar? Bagaimana rasanya jadi gembel? Hahahahaha!" Sapa Emon dengan nada mengejek.

"Jaga mulut Lo! Kalau Lo tidak bisa jaga mulut, gue robek mulut Lo!" Kata Abiem sambil menarik kerah Emon. Emon menepis tangan Abiem.

"Hei... Ini fakta, Man! Papa Lo bangkrut! Dan semua harta milik papa Lo, jadi milik papa gue!" Kata Emon.

"Dasar manusia licik! Biadab!" Abiem kali ini tidak bisa menahan emosi. Dia segera melayangkan pukulan ke wajah Emon hingga Emon terjengkang jatuh ke lantai. Teman-teman terkejut dengan apa yang dilakukan Abiem. "Papa Lo sama biadabnya dengan Lo, Mon!" Abiem kembali memukul Emon. "Mampus saja Lo! Mampus!" Abiem membabi-buta memukuli Abiem.

"Abiem! Abiem! Hentikan, Biem! Hentikan!" Teriak Riri sambil menahan Abiem.

"Apa? Lo juga mau belain makhluk biadab ini?" Bentak Abiem.

"Abiem?" Riri berkata lirih, tak percaya Abiem tega membentaknya. Matanya berkaca-kaca. Air matanya pun jatuh ke pipi.

Abiem seketika menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Dia kesal dengan Emon dan juga kesal dengan dirinya sendiri yang sudah membentak Riri. "Haaaarrrrgh!" Brak! Abiem melayangkan tendangan ke arah papan tulis hingga papan tulis itupun pecah, berlubang.

"Apa-apaan ini?" Suara bapak guru wali kelas. "Abiem, Emon, ikut Bapak ke ruang BK sekarang!" Lanjutnya. Dengan langkah gontai, Abiem mengikuti wali kelasnya itu.

Di ruang BK, Abiem mengakui semua kesalahannya. Abiem memang yang mengawali memukul Emon. Abiem juga yang sudah merusakkan papan tulis kelas. Bapak guru mengijinkan Emon untuk kembali ke kelas. Sedangkan Abiem, masih harus diinterogasi oleh lebih lanjut oleh BK.

"Kenapa kamu melakukan itu semua, Biem? Selama ini, di mata kami, kamu itu anak yang baik. Walau jago karate, kamu tidak pernah berkelahi. Sekarang, apa yang membuatmu melakukan ini?" Kata Pak Guru BK.

"Ini semua gara-gara Emon, Pak. Dia mengatai saya gembel dan juga merendahkan papa saya." Kata Abiem. Lalu, Abiem pun menceritakan semua masalah ekonomi keluarganya.

"Bapak ikut prihatin atas semua yang menimpa keluargamu, Biem. Bapak harap, kamu bisa lebih sabar. Itulah ujian hidup, Biem. Papa dan mamamu pasti sekarang sangat sedih. Jadi, kamu jangan menambah kesedihan mereka dengan berbuat masalah di sekolah." Kata Pak Guru.

"Baik, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi." Kata Abiem.

"Baiklah. Tapi, bagaimanapun juga, kamu tetap harus dihukum, Biem. Sehari ini, kamu diskors tidak boleh ikut pelajaran." Kata Pak Guru.

"Terus? Saya harus pulang, Pak?" Tanya Abiem.

"Tidak! Kamu masih tetap di sekolah. Bersihkan kamar mandi sekolah, lalu kamu ke perpustakaan, membantu membereskan buku-buku di perpustakaan." Kata Pak Guru.

"Baik, Pak." Abiem segera meninggalkan ruang BK dan menjalani hukumannya.

Pada jam pelajaran terakhir, sebelum waktu pulang, Abiem diperbolehkan masuk kelas. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta maaf kepada teman-temannya atas apa yang telah dia lakukan tadi pagi. Ketika bel pulang berdering, teman-teman sekelas meninggalkan ruangan.

"Awas! Gue akan balas perlakuan Lo ke gue dengan cara yang lebih menyakitkan!" Ancam Emon sebelum meninggalkan kelas. Ingin Abiem memukulnya lagi tapi dia sudah berjanji pada gurunya untuk tidak mengulangi lagi.

Abiem melihat Riri menyandang tasnya di bahu dan beranjak dari tempat duduknya. "Riri!" Cegah Abiem. Riri menghentikan langkahnya. "Maafkan aku karena tadi membentakmu. Kuharap, kamu tidak marah padaku." Kata Abiem.

Riri mendekati Abiem. "Sudah kumaafkan, Biem." Kata Riri. "Tapi, kenapa hari ini kamu tidak seperti Abiem yang selama ini kukenal?" Tanya Riri. Abiem menarik tangan Riri, mengajaknya duduk kembali. Dia lalu menceritakan semua masalah yang menimpa keluarganya. "Kamu harus kuat, Biem!" Kata Riri. "Selama ini, kamu yang selalu menguatkanku. Jika kamu jadi rapuh, bagaimana dengan aku?"

Abiem menggenggam tangan Riri. Kata-kata Riri menjadi penyemangat baru baginya.

Cinta AbiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang