SAJAK DARI LANGIT - PART 18

305 52 6
                                    

"Kalani!"

Kalani membalikkan tubuhnya. Ia melihat Arya menghampirinya sambil berlari. "Kau mau pergi?" tanya Arya ketika sudah tiba di depannya.

"Aku harus membeli beberapa buku untuk referensi, ada apa?"

"Kebetulan sekali, aku juga ingin ke toko buku. Mau pergi bersama?"

Kalani berpikir sebentar kemudian menganggukkan kepalanya. Mereka menaiki mobil Honda Civic hitam milik Arya menuju salah satu pusat perbelanjaan. Mobil yang dimiliki Arya tidak semewah mobil yang Kalani naiki bersama Jimi atau Langit, tapi ia justru merasa lebih nyaman. Seperti hal itu sesuatu yang tepat untuk dirinya.

"Buku apa yang kau suka?" tanya Arya ketika melihat-lihat toko buku.

"Aku suka membaca novel fantasi, tapi untuk referensi biasanya aku membaca buku-buku sastra."

"Apa yang ingin kau baca sekarang?"

"Hujan Bulan Juni."

"Sapardi Djoko Damono?"

"Ah ini dia," Kalani menemukan yang ia cari. Ia kemudian mengayunkan butu tersebut di udara. "Betul sekali. Apa kau suka membaca sastra seperti ini?"

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikan tiada."

"Aku ingin karya Sapardi Djoko Damono," sahut Kalani. Ia tersenyum, senang karena ada orang lain yang juga menyukai apa yang ia sukai. Berbanding terbalik dengan Jimi yang hanya membaca buku-buku soal bisnis.

"Kau belum membaca yang ini?"

"Sudah, tapi aku menghilangkan bukunya. Aku perlu buku ini lagi sekarang. Bagaimana denganmu?"

"Buku yang kucari, tidak ada. Apa kau ingin membayarnya sekarang?"

Kalani menganggukkan kepalanya. Ketika tiba di kasir, Kalani mencari dompetnya di tas. Tetapi, Arya telah lebih dulu mengeluarkan lembaran uang. "Eh tidak usah. Aku membawa uang."

"Traktir aku makan setelah ini untuk membayarnya."

Kalani tidak dapat berkutik. Semakin lama ia semakin yakin Arya memang menyukainya. Terutama semenjak mereka pulang dari Surabaya. Sering kali Arya mengiriminya pesan meskipun bukan hal yang tidak penting. Beberapa kali juga mengajaknya makan siang bersama. Kalani kadang harus memutar otaknya untuk menolak, tapi Dinda selalu mengomelinya setelahnya.

"Kenapa kau menolaknya? Kalau ternyata Pak Arya suka kamu, bagaimana? Kau menolak rezeki," ocehnya siang kemarin saat ia menolak ajakan Arya untuk makan siang.

"Karenanya aku menolak, Din."

"Kau menolak karena masih mengingat Jimi, bukan? Kalani, kau harus memutuskan maju atau mundur dalam hidupmu. Kau tidak bisa hidup di tengah-tengan seperti ini. Kau mungkin merasa baik-baik saja, tapi aku sebagai temanmu tahu kau tidak baik. Jadi pikirkan lah baik-baik apa yang kau mau."

Kalani menarik napas dalam. Ia mengakui Jimi selalu ada di pikirannya. Misalnya, tiba-tiba saja ia membandingkan seseorang dengan Jimi, atau ia memikirkan Jimi ketika melihat tempat yang pernah ia kunjungi bersama Jimi, atau saat diam saja ia bisa tiba-tiba bertanya-tanya apa yang sedang Jimi lakukan. Tak salah, karena begitu lah yang ia lakukan selama 8 tahun. Hidupnya benar-benar tentang Jimi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Arya.

"Ya," Kalani tersadar. Ia segera menyuap makananya.

Ia memperhatikan Arya yang sedang menyuap mie ayam menggunakan sumpit miliknya. Setelah mendapatkan buku, mereka makan di salah satu warung mie ayam pinggir jalan yang hanya menggunakan gerobak dan tenda. Arya yang merekomendasikan tempat tersebut, ia berkata mie ayam di sana adalah yang terenak di Jakarta. Kebalikannya dari Jimi, Arya sangat sederhana meskipun rasanya ia mampu hidup sedikit lebih mewah. Dia lebih suka berpakaian santai saat ke kantor ketimbang dengan jas formal meskipun jabatannya adalah pimpinan utama. Ia bicara hal yang ringan-ringan, seperti menceritakan bagaimana anjing kesayangannya pernah hilang dari rumah. Ia membuat Kalani tertawa dengan ceria-cerita lucunya.

Kalani menyeka air matanya yang keluar akibat terlalu banyak tertawa. Hari sudah sore ketika mereka selesai, sehingga Arya mengantarkannya langsung ke rumah. Sepanjang jalan ia tak berhenti tertawa karena Arya menceritakan ketika ia dikerjai dulu saat masa sekolah.

"Kau menginap di sekolah karena dikunci di kamar mandi?"

"Ya! Dan orang tuaku mengira aku diculik."

"Kau tidak takut?"

"Tentu saja takut. Aku menangis sampai kelelahan dan tertidur. Guru-guru menemukanku besoknya dan aku dipulangkan untuk istirahat. Selama seminggu aku tak mau ke sekolah."

Kalani berusaha menahan tawanya lagi. "Aku juga anak yang culun ketika sekolah, beruntungnya tidak ada yang usil padaku."

"Tentu saja tidak, kau kekasih seorang Xavier. Ada yang menyentuhmu sedikit saja akan dikeluarkan dari sekolah."

"Kau berlebihan, baiklah. Aku akan masuk terlebih dahulu. Terima kasih."

***

Langit secepat mungkin menyusul Kalani dan Arya yang sedang berjalan keluar dari kantor. Mereka berdua sepertinya ingin makan malam bersama. Langit merangkul pundak Kalani di tangan kanannya dan pundak Arya di tangan kirinya, memisahkan jarak mereka berdua.

"Kalian mau pergi kemana?"

"Makan malam," sahut Arya ketus. Ia tahu sahabatnya sengaja.

"Aku boleh ikut?" tanyanya pada Kalani. Karena ia tahu sahabatnya tidak mungkin mengizinkan.

"Tentu saja."

Ketika mereka tiba di tempat makan. Langit menggunakan suatu cara agar Arya bisa pergi. Ia mengetik suatu pesan di ponselnya dan tak berapa lama ponsel Arya berdering. Sebuah panggilan masuk.

"Ah, maaf. Tiba-tiba bagian komisi penyiaran meminta bertemu," ucapnya setelah menutup telepon.

Kalani mengangukkan kepalanya. "Tidak masalah."

Arya pergi meninggalkan Langit dan Kalani. Langit sedikit lega bisa memisahkan mereka malam ini. Setidaknya ia berusaha semampunya. Sampai saudara bodohnya itu sadar dengan kebodohannya.

"Kau akhir-akhir ini dekat dengan Arya?" tanyanya.

"Lumayan, ia tidak kaku seperti dulu ternyata. Bagaimana kau bisa bersahabat dekat dengannya?"

"Pada dasarnya aku hanya suka karena ia baik dan mengerti soal radio."

"Kurasa dia memang sangat baik dan dia juga sangat sederhana. Seorang teman yang menyenangkan."

Langit mengulum senyumnya. "Berbeda jauh dari Jimi, ya?"

Kalani mendongakkan kepalanya, menatap Langit. Ia menjadi canggung ketika nama Jimi disebutkan. "Ya, begitu lah."

Kalani berusaha menyuap makannya meskipun tiba-tiba ia merasa kenyang. Dia merasa seperti sedang dipergoki selingkuh. Dia tidak ingin Langit tahu ia dekat dengan orang lain selain Jimi. Bodoh.

"Langit!" panggil seseorang dari arah belakang Kalani.

Kalani menoleh dan segera berbalik lagi. Ia hampir tersedak makanannya karenanya segera mengambil minuman di depannya. Seseorang yang memanggil Langit adalah Dean dan disampingnya berdiri Jimi yang tadi juga terlihat terkejut melihatnya.

"Jangan gugup. Jimi masih manusia," bisik Langit.

Sebenarnya hal ini sudah direncanakannya bersama sepupunya yang lain. Mereka ingin keduanya bertemu. Setidaknya untuk membuat sepupunya berpikir sedikit lebih normal. Tadi Arya hampir mengacaukan rencana mereka, beruntungnya bisa diatasi dengan cepat.

XAVIERS - BTS FanfictionWhere stories live. Discover now