6. Pulang

2.2K 249 12
                                    

Banyak wartawan yang juga memenuhi halaman Polda Metrojaya. Kembali wajahku menjadi sasaran blizt kamera.

Kami ditangkap dengam barang bukti berupa satu plastik crep berisi sabu seberat 0,53 gram dan dua alat hisapnya. Ponsel kami juga disita untuk menjadi barang bukti. Aku tak banyak bicara selain meminta diizinkan menghubungi Zul agar dia membawa seorang pengacara.

Polisi melakukan tes urin. Aku bisa bernapas lega sebab aku yakin hasilnya. Tak pernah sekalipun aku memakai benda haram itu.

Zul datang tak lama kemudian. Dia bersama dua orang pria. Satu orang pengacara yang sering kulihat wara-wiri di televisi, juga satu lainnya adalah William Zanuba. Bukankah seharusnya dia masih di berada Bali?

Zul memelukku ketika kami bertemu. "Kau tenanglah, Flo. Aku tahu kamu bukan pemakai narkoba. Ceritakan segalanya kepada kami. Pak Bara yang akan mengurus segalanya."

Pak Bara adalah pengacara terkenal. Tentu saja tarifnya sangat tinggi. Aku ragu bisa membayar jasanya.

"Jangan khawatir, Flo. Bayaran Pak Bara adalah urusan William," bisik Zul seakan mengerti kekhawatiranku.

"Untung aku memajukan jadwal kepulanganku. Saat mendengar berita penangkapanmu, aku langsung menghubungi Zul dan Pak Bara untuk membantumu," ucap Will.  Aku yakin para wartawan akan semakin menggoreng berita kedatangan Will untuk menjengukku.

"Terima kasih, Will." Tak banyak yang bisa kukatakan. Will sangat membantuku.

"Ceritakan segalanya kepada kami, Flo. Apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Bara mulai menanyaiku.

Kuceritakan semuanya. Dari mulai ajakan Monica sampai detik-detik penangkapan kami.

Will terlihat geram. Matanya memancarkan kemarahan. "Monica menjebakmu, Flo. Aku yakin itu. Aku tahu dia adalah seorang pecandu. Itulah kenapa dulu aku putus dengannya. Bahkan beberapa kali dia menawariku benda haram itu."

"Oke, Flo. Keteranganmu sudah jelas. Aku yakin kamu akan segera bebas. Kamu hanya akan dimintai keterangan sebagai saksi. Aku dan tim akan bekerja keras." Pak Bara meyakinkan aku.

"Terima kasih. Kalian sangat membantuku," kataku lagi pada mereka bertiga.

Aku dimintai keterangan oleh Polisi. Tes urinku dinyatakan negatif. Aku dibebaskan dari tuduhan sebagai pemakai apalagi pengedar. Pak Bara dengan intens mendampingi aku. Ini kasus yang mudah saja untuknya.

Aku dibebaskan dan dinyatakan boleh meninggalkan Polda Metro. Hanya saja aku harus siap kapan pun mereka memerlukan kesaksianku.

Zul dan William kembali datang menjemput. Aku bisa bernapas lega. Media terus mengabarkan kedekatanku dengan William. Pemuda itu hanya tersenyum tanpa memberi klarifikasi apa pun saat ditanyai perihal kedekatan kami.

"Terima kasih, Will. Kamu sangat membantuku. Aku tak tahu lagi bagaimana cara membalas kebaikanmu." Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih kepada Will.

"Itulah yang harusnya dilakukan seorang teman, Flo. Cukup kau mau terus menemuiku kalau kau ingin membalasnya," jawab Will ketika kami sudah sampai ke apartemen. Dia langsung pulang setelah mengantarku.

Zul menemaniku sebentar di apartemen. Aku sangat lelah. Rasanya tulang-tulangku remuk dan ingin tidur sepuasnya.

"Istirahatlah, Flo. Jangan berpikir apa pun dahulu. Pelan-pelan kita akan mengembalikan nama baikmu," ucap Zul melihat mukaku yang terlihat pucat.

"Zul, apa ada kabar dari Hamish? Apa pernah dia bertanya tentang aku? Harusnya kemarin aku bertemu keluarganya. Aku yakin Hamish sudah mendengar berita penangkapanku. Dia pasti kecewa."

Aku teringat janji bertemu dengan keluarga Hamish. Keluarganya pasti akan tambah membenciku.

"Hmm ... soal itu nanti kita bicarakan lagi, Flo. Aku akan pulang dulu. Kamu istirahat saja beberapa hari ini."

Zul tak mau banyak bicara lagi. Dia pergi dan menyuruhku tidur. Seperti ada yang dia tutupi. Hamish, tak pedulikah lagi dia dengan calon istrinya sendiri?

Beberapa hari ini aku hanya tinggal di apartemen. Zul menunda semua jadwalku. Banyak wartawan yang ingin melakukan wawancara. Aku masih enggan menemui mereka. Aku terlanjur kecewa dengan yang diberitakan media massa.

Namaku hancur gara-gara kejadian itu. Walaupun aku bersih dari segala tuduhan, namaku terlanjur sangat buruk. Aku disebut-sebut kembali sebagai penyebab putusnya Will dengan Monica. Mereka membuat kesimpulan sendiri. Aku juga disebut artis yang tidak bisa menjaga citra muslimah. Masih sering pergi dugem dan clubing. Jilbab yang dipakai dianggap hanya upaya menaikkan popularitas di tengah terpuruknya karir keartisanku.

Aku memilih berhenti melihat televisi, mengakses berita online, dan juga sosial media. Membaca komentar pedas netizen rasanya lebih dari ditusuk belati tajam berkali-kali.

Selama itu pula tak ada kabar apa pun dari Hamish. Mungkin dia memang tak benar-benar berniat dengan ucapannya dahulu. Hanya Will dan Zul yang selalu datang menghiburku.

Aku merasa frustasi. Ingin rasanya pergi ke tempat yang damai. Di mana tak seorang pun mengenaliku. Di saat seperti itu, aku mendapat telepon dari orang yang selama ini kurindukan. Ibuku.

"Flory ... gimana kabarmu, Nak? Kamu pulanglah. Ibu kangen sama kamu."

Aku menangis mendengar suaranya. Aku tahu Ibu sudah mendengar berita tentangku. Dia tak menyinggungnya tapi dia tahu apa yang kurasakan.

"Bu, aku ingin pulang."

"Pulanglah, Nak. Ada Ibu di sini."

Kudengar ibuku pun menangis. Dia memahami apa yang kurasakan tanpa harus kuceritakan.

Aku memutuskan untuk pulang. Sebelumnya aku sudah menghubungi pihak pengelola apartemen kalau aku berniat menjual apertemenku. Aku tak peduli dengan harganya. Lagi pula masih ada cicilan tiga bulan yang tersisa.

Zul kuhubungi lewat telepon. Aku memintanya membereskan semua pekerjaan. Semua jobku dicancel. Kontrak dengan perusahaan Hamish kuserahkan Zul untuk mengatasinya.

"Zul aku sudah transfer uang untuk gajimu. Aku minta bereskan segalanya untukku. Aku minta jangan beritahu siapa pun ke mana aku pergi," pintaku sebelum pulang.

"Apa kau berniat meninggalkan dunia hiburan, Flo?" tanya Zul ingin tahu.

"Mungkin ... aku tidak tahu, Zul."

"Baiklah, Flo. Aku akan merindukanmu. Jaga dirimu baik-baik."

Aku dan Zul sama-sama menangis di ujung telepon. Zul bagiku bukan hanya seorang manajer, tapi lebih dari itu. Ia sudah seperti kakakku sendiri. Diam-diam aku sudah mengiriminya uang setara dengan lima kali besar gajinya. Seandainya aku punya uang pasti kuberi lebih. Saat ini hanya itu yang kupunya.

Aku mantap meninggalkan Jakarta dan segala keriuhannya. Juga hingar bingar dunia artis yang selama ini membesarkan namaku. Saat ini aku hanya ingin menepi. Menyendiri. Memberi ruang untuk bernapas bagi dadaku yang terasa menyempit akhir-akhir ini.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang