Syifa, nama kearab-araban ini disematkan secara tidak adil dari ayah kepadaku. Obat, sederhana itu arti dari nama ini yang nyatanya tak bisa menjadi penyembuh untuknya.
Untuknya, dia yang selaluku mimpikan.
Cerita ini bermula saat musim semi pertama ku di sekolah menengah atas. Sebuah pertemuan singkat yang meninggalkan banyak luka.
Barangkali banyak yang kucintai secara diam diam, tetapi darell berbeda. Hatiku selalu meriah ketika jumpa. Hanya butuh beberapa pertemuan untuk tahu bahwa darell memang untukku.
Jujur saja, banyak orang yang singgah di hati ku. Tapi tak ada yang sesungguh darell. Dia baik di mata ku. Namun, beberapa orang menatapnya berbeda.
••
Pagi itu, aku mengayuh sepeda ku. Seperti biasa, ditemani sebuah earphone pink yang mengeluarkan musik 80-an. Aneh memang, namun itu memang selera musik ku.
Mungkin jika teman sekelas ku tau selera musik ku, mereka akan tertawa sambil berkata 'selera musik mu sama dengan selera nenek ku'. yaampun, mereka sangat hiperbolis.
Saat sampai di sekolah, aku memarkirkan sepeda ku di tempat teduh dan melepaskan earphone yang sudah menemani ku selama perjalanan dan meletakkan nya di saku rok.
Banyak orang yang berlalu lalang di koridor sekolah. Itu membuat ku menyesali kenapa aku harus melepas earphone itu.
Aku selalu menundukan pandangan untuk menghindari orang lain. Satu hal yang perlu kalian ketahui, aku bukan lah tipe orang yang tepat buat kalian ajak berteman.
Saat masuk jam pelajaran, aku duduk di bangku. Bangku ternyaman bagi ku. Di pojok kelas dengan pemandangan langsung ke lapangan.
Pelajaran hari ini adalah pelajaran yang membosankan. Tapi setidaknya, pelajaran kali ini bukan lah pelajaran rumit tentang angka.
Seperti biasanya, guruku menyalin apa yang sudah ada di buku paket. Kadang-kadang seisi kelas menguap serentak ketika guru mengambil buku lain dan menyalin lagi. Lagi dan lagi sampai aku memutuskan permisi dengan alasan sakit kepala.
Setelah di ijinkan keluar, aku menelusuri tempat yang kurasa sangat cocok untuk bersantai. Tapi yang kudapatkan hanyalah lorong yang ramai. Saat langkah ku menuju ke taman, aku melihat guru yang sedang update sosmed. Aku mendengus kesal lalu kearah toilet cewek. Tapi sama saja. Toilet cewek pun dipenuhi dengan gerobolan cewek yang sedang merumpi dan memakai pewarna bibir. Aku pun mengurung niat, lalu beralih ke toilet cowok yang selalu sepi.
Pantas selalu sepi, suana toilet cowok sangat suram dan seram. Banyak coretan yang saling berbalas. Semakin aku menjelajah jauh kedalam lorong sepi itu, bulu-bulu kecil di tengkuk ku berdiri. Sempat aku ingin kembali, tapi sudah terasa jauh dan aku tak tahan dengan detak jantungku sendiri. Sesibuk aku mencari pintu terdekat ditemani dengan suasana gelap ditambah hati yang kalap, kuraih saja sembarang pintu yang dapat ku jangkau.
Saat kutarik dengan cepat pintu itu, suatu yang berat menimpa kaki ku. Aku mencipitkan mataku mencoba untuk memperjelas 'sosok' apa yang sedang berada di atas kaki ku.
Perlahan kaki ku terasa ringan, dan sosok itu semakin mendekat. Dengan jantung yang berdegup kencang, kupaksakan melihat 'hantu' jenis apa yang sedang menimpa kaki ku. Ku alihkan pandangan ku kekakinya. Hanya untuk memastikan. Sial, pintu menghalangi pandangan ku.
Kualihkan lagi pandangan ku ke bawah, dan samar samar ku melihat hantu yang berwajah ngantuk. Sontak saat melihat wajah itu semangat ku kembali dan aku melengkingkan teriakan terbaik ku.Aku lihat sosok itu berdiri dan membungkam mulutku secara asal. Aku menatap matanya, matanya indah tapi terlihat sekali laki-laki ini ngantuk. Tampak dari matanya yang sayu.
Saat laki-laki tersebut sedang lengah, aku menggigit tangannya. Dia terlihat kesal dan menatap ku dengan tajam. Aku tersenyum manis saat dia menatapku seperti itu. Aku pun tak tau apa alasannya aku harus tersenyum manis, tapi biarkan saja siapa tau dia bakalan jatuh cinta dengan senyuman ku.
Aku mengamati geraknya, dia mengambil tasnya lalu pergi meninggalkan ku begitu saja. Aku masih melihatnya sampai ujung lorong sampai dia berhenti dan menatapku dengan kesal untuk yang kedua kalinya dan meludah seakan aku pembawa nasip buruk untuknya.
Aku masih menatap kesal saat laki-laki itu sudah tidak berada di lorong lagi. Namun saat aku menyadari aku sedang sendiri, keaadan sekitarku kembali seperti suasana sebelumnya, suram.
Aku melengkingkan suaraku untuk kedua kalinya saat tiba-tiba ada yang menyentuh pundak ku. Dan pada saat itu juga, aku berlari meninggalkan toilet itu. Tempat pertamakali yang membawa ku berjumpa dengannya. Derell alvino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending scene
RomanceCerita ini hanya dibuat acak tanpa berfikir panjang. A story by sarlaamautii