28. Bahagia, Lalu Dilema

2K 352 112
                                    

Bismillah.

***

Hari ketujuh telah lewat, Anna masih belum sadar dari komanya. Dan sudah tiga hari ini Mariam hanya mengunjunginya sekali sehari. Selebihnya ia di rumah mama, menemani Maira yang ia sayangi seperti anaknya sendiri.

Malam itu temperatur tak seperti biasanya, dingin seakan menembus dinding rumah mama. Di luar sana, gerimis menambah suasana serasa magis. Mariam mengenakan knitnya, berkali menggesekkan kedua telapak tangan demi menambah kehangatan. Sesekali dikecupnya Maira yang pulas di balik selimut dan kupluk hasil rajutan sang abuela.

Mariam terkinjat ketika dering ponselnya memecah kesunyian. Segera ditekan ikon berwarna hijau sebelum Maira terbangun karenanya. Ia bergeser beberapa langkah menjauhi si bayi.

"Assalamualaikum, Mariam," suara Ahmar terdengar dari seberang, seperti mencoba untuk tetap tenang.

"Waalaikumussalam. Bagaimana, Ahmar?"

"Maafkan aku. Kumohon kau tetap tenang ya," helaan napas terdengar, sebelum Ahmar kembali bicara, "Emm, saat ini kondisi Anna kritis. Sekali lagi, tolong kau tetap tenang. Dan doakan agar semua baik-baik saja."

"Bo-bolehkah aku berada di sana?"

"Tidak, Mariam. Kau tetap di rumah mama. Bantulah sahabatmu dengan doa." Mariam mengangguk, meski Ahmar tak mungkin melihatnya.

Hampir lima menit, dan ia masih mematung di tempat yang sama tanpa gerakan sedikit pun. Bahkan ponselnya pun masih dipegang di sisi telinganya. Baru tersentak sadar, ketika mama memeluknya dengan berurai air mata.

"Mama, tenanglah. Insya Allah Anna akan melewati semuanya. Dia orang yang tangguh, dia akan sembuh dan kembali seperti dulu. Sekarang lebih baik kita mengambil wudhu dan membantu dengan doa. Salat, membaca kalam-Nya, dan meminta kesembuhan pada Sang Pemilik Kehidupan."

Ia lemah, tapi melihat mama demikian maka ia harus lebih tabah. Dirangkul dan dibimbingnya mama menuju tempat wudhu di patio belakang rumah, lalu bersama kembali menuju kamar di mana Maira berada. Masing-masing larut dalam doa dan air mata, sembari menunggu kabar dari Ahmar.

Entah sudah berapa waktu berlalu. Mama bahkan telah jatuh tertidur dalam lelah. Sedang Mariam masih terjaga. Kedua mata Mariam telah berubah membengkak, suaranya pun terdengar serak.

Dering ponsel kembali membuatnya nyaris terlonjak. Melirik sekilas pada waktu yang tertera di layar. Ternyata subuh hampir tiba.

"Mariam, aku perjalanan pulang. Tolong bukakan pintu. Mama kuhubungi tak diangkat sejak tadi."

"Ba-baik. Anna sama siapa?"

"Dia tidur. Ada Latifa di sana." Dan tak berapa lama, ketukan pintu terdengar. Mariam dan mama yang telah terjaga beranjak tergesa menuju asal suara.

"Assalamualaikum."

"Bagaimana, Ahmar?" Ia sampai lupa menjawab salam.

"Assalamualaikum, Mariam."

"Oh, m-maaf. Walaikumussalam. Katakan padaku bahwa Anna baik-baik saja, Ahmar!" Mariam setengah menjerit, tak sabar. Mama memeluknya, menenangkan.

Selepas Hidayah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang