17

1.4K 126 28
                                    

Jalanan kembali basah oleh hujan sore ini, gerimis lembut yang terbawa angin menerpa wajahku yang pucat. Aku segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kemudian pergi ke rumah Kinan yang tidak terlalu jauh dari kampus.

Demi Boby aku membuang jauh egoku. Aku pikir kita belum terlambat untuk saling memperbaiki, andai saja kita bisa saling terbuka, saling meminjam isi kepala mungkin tidak akan serumit ini. Ternyata cintaku lebih besar dibanding benciku. Kenapa aku bisa seperti ini? Sebelumnya aku tidak pernah selumpuh ini oleh lelaki manapun.

Semua sudah ku rencanakan dengan matang, aku tidak bisa jika Boby menjadi milik orang lain. Aku tidak akan rela jika Boby disentuh oleh wanita lain selain aku.

Sepulang dari kampus aku berniat untuk menemui Boby di kostan-nya, dan Kinan bersedia mengantarku. Meskipun aku tau hubungan keduanya kurang baik tapi hanya Kinanlah yang tau dimana Boby tinggal. Tidak mungkin aku bertanya kepada Shani, yang ada kami baku hantam terlebih dulu.

Mobilku sudah sampai di depan rumah mewah bergaya modern, jujur saja aku baru pernah menginjakkan kaki dirumah pewaris tunggal K&K group. Ini bukanlah rumah utamanya, ini hanya tempatnya singgah saja, begitu kata Boby memberitahuku dulu.

Aku membuka kaca mobilku, membunyikan klakson agar dia segera masuk. Tanpa berlama-lama, Kinan yang sedang duduk dihalaman rumah langsung menghampiriku. Aku menatapnya bingung, Kinan menggunakan jas hitam dengan kemeja putih. Bukankah terlalu berlebihan hanya sekedar menemaniku bertemu dengan Boby?

Cowok rusuh itu membuka pintu belakang lalu duduk dengan enaknya layaknya boss, dengan kaki yang ia silangkan dan juga rokok di bibirnya yang belum ia nyalakan.

"Antar saya ke rumah mantan ya mbak."

"Gue bukan supir. Pindah depan." Omelku padanya.

Dia hanya tertawa mengejek, dasar manusia menyebalkan.

"Yang butuh siapa? Gue kan cuma nganter. Udah cepetan jalan."

Aku masih diam menahan kesal, sesekali melirik wajah angkuhnya dari spion mobilku.

"Hahaha, gitu aja marah jangan galak-galak ntar Boby ogah balikan ma lo."

Kinan brengsek, dia selalu saja memancing emosiku. Untung aku sedang tidak PMS. Kalo iya, sudah habislah dia.

"Turun." Kinan tiba-tiba membuka pintu kemudi, menyuruhku untuk turun.

"Apaan sih. Lo aja yang naik. Ngapain nyuruh gue turun." Nada bicaraku memang tidak bisa santai jika bicara dengan Kinan, bawaannya ingin perang saja.

"Shania sayang, gue yang nyetir. Katanya lo bukan supir."

Aku masih diam menatap wajahnya.

"Jangan liatin gitu, ah. Ingat ya, gue ini pacar kakak lo, jangan lo embat juga."

"Dih, najis!" Aku memukul lengannya dengan keras, celetukannya kadang membuatku harus berkali-kali mengusap dada.

"Cepatan, mau pergi gak?"

"Iya gue turun." Aku berpindah pada kursi samping kemudi.

Bukannya duduk, Kinan malah mengikuti langkahku dari belakang, membuatku semakin ingin menguburnya hidup-hidup.

"Mau ngapain lagi sih, jangan bikin gue tambah marah ya."

Kinan kemudian membukakan pintu untukku, aku jadi tidak enak sudah berburuk sangka.

"Silahkan, nona." Ia bersikap layaknya supir pribadiku, ada-ada saja dia ini.

"Thanks." Jawabku singkat.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang