PEREMPUAN itu sedang memerhatikan cat kuku warna merah menyala miliknya yang mulai pudar sembari menguap lebar. Entah sudah berapa kali ia menguap dalam satu jam terakhir, semua itu karena Coffeshop miliknya selalu sepi. Entah kenapa.
Padahal kedai miliknya itu terletak ditempat strategis dan banyak orang berlalu lalang disekitar sana. Tapi tetap saja, jarang sekali ada orang yang datang ke tempat ini.
Makanya Kara menebar senyum mempesona saat bunyi lonceng pintu terdengar, tanda ada orang masuk kedalam. Ia buru-buru mencepol asal rambutnya lalu meraih pulpen dan nota diatas meja.
Pelanggannya kali ini adalah seorang pria tinggi, putih bersih, wangi, dan -sangat, sangat, sangat− tampan. Bibir yang tipis dan berwarna pucat itu tersenyum ramah, mata cokelatnya itu juga memancarkan aura bersahabat. Dan lesung pipi itu...
Tuhan...
Kara mimpi apa semalam?!
Gadis itu berdeham lalu memasang tampang polos. "Selamat datang di Coffeshop Makaraline, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah saat pelanggannya itu baru duduk dikursi.
Pria itu terlihat membolak-balik buku menu, lalu mengalihkan tatapan ke arah Kara yang berdiri kikuk. "Bagaimana kalau," pria itu diam sejenak, "aku memesan nama dari gadis tidak sopan yang baru saja mengusirku dari sini kemarin malam?"
Bagai disambar petir disiang hari, Kara diam mematung. Pantas... pantas saja ia merasa familiar dengan wangi parfum pria itu. Suaranya juga. Tingginya juga. Matanya juga. Dan... tatapan teduhnya.
Melihat gadis didepannya diam mematung, pria itu melambaikan tangan didepan wajah Karamel. Dan Kara seolah tersadar dari lamunan panjangnya. Gadis itu memelototkan mata dan ketika ia baru saja akan menarik ujung jaket pria itu seperti kemarin, tangannya dicekal tiba-tiba. Gerakannya terhenti.
"Who are you?" pria itu bertanya dengan nada suaranya yang berat, "you make me crazy cause all my mind can think of is you. Just you. All night."
Kara tidak sadar jika dia menahan nafasnya mendengar pengakuan pria yang bahkan tidak dia ketahui namanya.
"Beritahu aku namamu. Hanya namamu. Lalu akan pergi."
Gadis itu mengerjap pelan dan sebelum dia sempat melayangkan sarkasme atau mengusir pria itu, bibirnya lebih dulu menghianatinya. "Na-namaku Kara, Karamel. Karamel Gelato."
Kara ingin sekali menampar bibirnya yang kurang ajar itu.
Pria itu tersenyum samar sebelum bangkit dari posisinya tadi. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Kara, mempertipis jarak diantara mereka. "Gana..." pria itu berbisik pelan ditelinga Kara, "Namaku Gana, Gana Clarkson, dan ini kartu namaku."
Pria yang mengaku bernama Gana itu menjejalkan sebuah kartu berwarna hijau muda ke tangan Kara. Dan perempuan itu masih saja diam, terlalu kaget untuk sekedar berbicara.
Gana mengulas senyum tipis, "Telpon aku kapanpun kau mau." lalu pria itu beranjak pergi dari sana.
Kara mengerjap cepat −seakan baru bangun tidur− seraya memeriksa kartu hijau yang diberikan pria bernama Gana itu. Di kartu itu, tertulis nama lengkap Gana, nomor telpon, alamat, umur, dan yang pasti pekerjaannya.
Mata Kara membulat dan jantungnya seakan copot saat mengetahui satu fakta dari pria itu.
Gana Clarkson adalah nama panggung seorang aktor dan DJ terkenal kelahiran Korea-Australia. Nama aslinya adalah Park Gana. Berusia dua puluh empat tahun dan sangat tampan. Kaya dan terkenal.
Lalu apa yang sudah ia lakukan pada pria itu?
Jika Gana itu memang orang terkenal, maka Kara sudah melakukan kesalahan besar dengan mengusir pria itu dan melakukan berbagai hal tidak sopan lainnya.
Sial.
Kenapa ia tidak menyadari jika Gana itu aktor dan DJ terkenal?! Pantas saja pria itu terlihat tidak percaya saat Kara bilang ia tidak mengenalnya.
Kara menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana kalau hal itu sampai tertangkap Paparazzi?!
Tuhan... ia pasti akan dituntut!
Kara menggigit bibir cemas. Tidak masalah. Ia bisa meminta maaf pada pria itu, lalu semuanya akan selesai. Gadis itu kemudian meraih ponsel disakunya dan memencet beberapa nomor yang tertera di kartu hijau itu.
Selagi menunggu panggilan tersambung, ia menggigit kukunya sendiri. Ia lalu memejamkan mata erat saat menyadari sesuatu.
Bagaimana kalau Gana tidak mau memaafkannya lalu melaporkan hal ini ke publik?!
"Halo?"
Saat suara itu terdengar, Kara tau ia tidak bisa kembali lagi. Oleh karena itu ia berdeham pelan sebelum menjawab, "Halo. Aku Karamel."
Hening sesaat sebelum suara nyaring seorang pria terdengar.
"Oh, Karanie! Akhir-,"
"Tunggu!" Kara menyela, "siapa itu Karanie? Aku Karamel, bukan Karanie! Kau ini bodoh atau bagaimana sih?!"
Seperti yang kita tahu, bukan Karamel Gelato namanya jika kata-kata sarkas tidak keluar dari bibirnya.
Gana tertawa pelan diseberang. "-ie itu nama imbuhan di Korea agar terdengar lebih akrab. Kau tidak tahu ya? Bodoh."
Emosi Kara tersulut. "Memangnya budayamu itu penting bagiku? Cih, dasar idiot." ia sangat ingin mengatakan itu tapi ketika ingat apa tujuannya menelpon Gana, ia memilih menahan emosinya lalu berucap, "Aku tidak tahu."
Hening beberapa saat sebelum Gana berdeham pelan diseberang. "Kenapa menelponku? Ada urusan penting?"
"Eh, itu... anu," Kara menggigit bibirnya gugup, "aku ingin minta maaf, untuk semua perbuatan tidak sopanku padamu tempo hari."
Keadaan kembali hening, kali ini hening cukup lama sebelum Kara berucap, "Halo? Kau masih disana?"
"Karanie." panggil Gana.
"Ya?"
"Kau sehat kan? Kepalamu terbentur tidak?"
Kara sempat linglung dengan pertanyaan aneh Gana, untuk apa pria itu menanyakan kesehatannya?
"Aku sehat tentunya. Memangnya kenapa?"
"Tidak, hanya saja..." Gana diam sebentar, seolah ragu untuk berucap, "hanya saja rasanya tidak mungkin, orang sepertimu mau meminta maaf."
Kara bersungut. Apanya yang tidak mungkin? Kenapa bisa tidak mungkin?
"Tapi sudahlah. Aku bahkan tidak pernah menganggapmu punya salah denganku," ucapan Gana itu membuat senyum Kara merekah lebar.
"Benarkah?"
"Iya," Gana diam sejenak, lalu melanjutkan. "Jam berapa coffee shop mu tutup?"
"Mau apa?" Kara balas bertanya.
"Aku hanya bertanya,"
"Dibalik setiap pertanyaan pasti ada tujuan,"
"Aku bertanya karena ingin tahu."
Kara mendecak, bocah sd saja mengerti hal itu. "Kenapa kau ingin tahu?"
"Kenapa kau bertanya kenapa aku ingin tahu?"
"Terserah. Aku tutup jam sembilan." Tanpa Kara ketahui, Gana sedang sibuk menahan tawanya diseberang sana. Hening beberapa saat sebelum telfon itu kemudian dimatikan sepihak oleh Gana.
Kara tercengang.
Pria sialan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
RomanceAku tidak pernah punya keinginan lebih selain melihat orang yang kusayangi bahagia. Sekalipun aku harus mengorbankan segala yang aku punya. Tapi sekarang, setelah bertemu dengan pengacau satu itu -Gana-ssi−, aku jadi menginginkan banyak hal. Ingin s...