Luka Fisik

369 12 0
                                    

Dan benar saja, Candra mencariku bahkan ia sampai datang ke sekolahku. Ia mengajakku ke lapangan untuk menyelesaikan masalah kami berdua, kusetujui saja ajakannya itu. Aku meminta padanya untuk membawa dua orang teman, ia hanya mengiyakannya. Kuajak Anas dan Ari, teman sekelasku karena kebetulan aku berjalan ke luar sekolah hanya bersama mereka berdua. Dan tanpa kusangka, ternyata di lapangan itu sudah ada puluhan orang dengan seragam yang sama seperti dirinya. Aku, Anas, dan Ari, seolah-olah sedang masuk ke kandang singa.

Orang yang ada dihadapanku sekarang, Candra, tersenyum menatapku lalu tertawa. Entah apa yang lucu sebenarnya, apa dia bisa melihat ketakutan yang aku rasakan saat ini. Bukannya aku takut melawan sosok bernama Candra itu, tapi ku tak mau jika teman-temannya berencana untuk melukaiku dan kedua temanku juga. Sekolahku dengan sekolah Candra itu bermusuhan sejak angkatan alumni terdahulu, dan aku yakin sekarang ini pasti ada maksud lain selain balas dendam Candra. Itu bisa dilihat dari seberapa banyak teman yang dibawanya kemari, dan dari pandangan mereka juga nampak seperti sedang kesal denganku. Tapi aku tidak akan lari, masalah ini harus aku selesaikan secara laki-laki. Apapun yang terjadi nantinya, aku siap.

"Sebelumnya, aku mau bilang makasih sama kamu ... Berkat kamu, akhirnya aku punya alasan yang kuat biar bisa putus dari Vira," ucapnya tiba-tiba.

"Hah?" balasku sedikit terkejut.

"Ya sejujurnya aku kemarin buntutin Vira, liatin kamu sama dia ngobrol di kafe dari kejauhan ... Lalu berlagak seolah-olah kalau aku lagi dikhianati, padahal sebenarnya aku juga tahu kamu siapa."

"Sebenarnya kamu tuh ngomongin apaan sih?"

"Entah, yang jelas Vira itu perempuan sialan."

"Jangan asal ngomong soal Vira, bangsat," teriakku, bersamaan dengan diriku yang mulai naik darah karena mendengar ucapan Candra tentang temanku Vira.

Aku tak tahu apa yang terjadi diantara mereka berdua, tapi tetap saja aku tak bisa terima jika Vira dikatakan seperti itu olehnya.

"Aku tahu kamu kemarin ngobrol sama Vira itu tentang alasan kenapa hubunganmu dengan Wiwik bisa putus, asal kamu tahu ya Lang ... Sebenarnya Vira sendiri yang bikin itu semua terjadi, dan sekarang orang yang kamu bela itulah yang bikin kamu sampai disini."

Aku sangat terkejut mendengarnya, tentu saja aku langsung berfikir apa itu benar atau tidak. Memang untuk sekarang omongannya tak mempunyai bukti, tapi dari caranya bicara, dia seperti sedang berkata apa adanya.

"Aku miris sama pertemanan kalian, Lang," ucapnya.

"Bacot, anjing."

"Lang, jangan terpengaruh, dia cuma mau mancing emosi kamu doang," kata Anas mengingatkanku

Aku tak menggubris ucapannya, bagiku semua itu tak ada benarnya sama sekali. Bagiku Vira itu seorang perempuan yang baik, dan tak akan mungkin dia pernah punya niat untuk membuat hubunganku dengan Wiwik hancur. Emosiku sudah benar-benar memuncak, kini diriku dipenuhi hasrat untuk melukai Candra.

"Sebenarnya sebelum kita mulai, aku mau cerita tentang kenapa hubunganmu sama Wiwik itu bisa putus ... Tapi kayaknya kamu nggak bakal mau denger, Lang."

"Omonganmu itu cuma omong kosong, Can ... Vira nggak mungkin jadi penyebab aku putus sama Wiwik, Vira itu orang baik."

"Kamu bicara seolah-olah tahu semuanya, padahal aslinya kamu nggak tahu apa-apa, Lang," ucapnya sembari menertawaiku.

Langit mulai mendung dan udara menjadi sedikit lebih dingin, tapi diriku malah semakin panas karena emosi sebab ucapan Candra. Kurasa hujan akan turun sore ini, namun kuharap air dari langit tak menetes sampai urusan ini selesai.

Melihat Candra menertawaiku seperti itu, akhirnya emosimu memuncak. Bahkan aku seperti kehilangan kuasa atas diriku sendiri, yang aku inginkan sekarang hanyalah melukai Candra. Sama seperti dia melukai Vira di kafe waktu itu, aku sangat ingin membalasnya. Aku juga sangat marah ketika ia bilang bahwa dia sedang memanfaatkanku agar ia bisa putus dari Vira, aku belum pernah sejarah ini sebelumnya.

Aku berlari ke arah Candra sembari memakinya, sepertinya ia sudah siap menghadapi pergerakanku. Kuarahkan kepalan tanganku ke bagian perut, tapi dia berhasil menangkis itu dan membalasku dengan pukulan tangan kanan yang cukup keras di pipiku. Tubuhku sedikit terpental, tapi aku mencoba memukulnya sekali lagi dan mengenainya. Kami berdua saling balas pukulan, dan itu terjadi beberapa kali. Aku merasa sakit karena pukulan darinya, entah Candra merasakan hal yang sama seperti itu juga atau tidak. Bahkan salah satu pukulan darinya membuat gusiku berdarah, membuat air liurku berwarna merah gelap saat aku meludah.

"Woy, woy, woy ... Kabur woy, ada warga," ucap salah satu orang dari teman Candra, aku sama sekali tak tahu siapa dia.

Kami semua yang berada di sini langsung berhamburan pergi untuk menyelamatkan diri masing-masing, semuanya berpencar ke segala macam penjuru arah. Aku, Ari, Anas langsung berlari ke arah motorku berada, lalu kami berniat untuk kembali ke tongkrongan.

Hujan tiba-tiba turun begitu derasnya, tapi sepeda motorku tetap terus melaju tanpa henti. Tak peduli tetesan air hujan itu melukai mataku, yang penting aku bisa segera menjauh dari Candra dan teman-temannya. Untung saja tak ada satu orang pun dari teman-teman Candra yang mengejarku, jadi aku aman hari ini.

"Lang, aku duluan," ucap Ari sembari berlari ke arah motornya diparkirkan.

"Nggak mampir dulu?"

"Ada Wiwik di tongkronganmu," ucapnya, disusul Anas yang juga berlari ke arah motor Ari.

"Kamu kenal? Emang kenapa kalau ada dia?"

"Iya, aku kenal dia ... Kemarin dia bikin aku kesel, makannya aku males ketemu dia."

"Terserah kamu aja deh."

"Duluan, Lang," ucap Anas dan Ari lalu pergi.

Kupandangi semua motor yang terparkir di pinggir jalan, ternyata memang benar ada motor Wiwik di sana. Ternyata Ari bisa melihat sekitar dengan lebih cermat daripada aku. Aku berlari menuju ke dalam warung, Vira dan Wiwik nampak terkejut saat mendapatiku berlarian ke dalam dengan baju basah karena hujan. Di saat itu pula Wiwik langsung meminta Tante sang pemilik warung untuk membuatkanku kopi untuk menghangatkan tubuhku, walaupun sebenarnya aku tak perlu itu, yang aku perlukan hanyalah baju ganti.

"Habis dari mana, Lang?" tanya Wiwik.

"Ada urusan sama temenku tadi, terus kehujanan waktu di perjalanan."

"Pipimu kok lebam?" tanyanya.

Kupegang pipiku dan benar saja itu terasa sakit, dan di saat itu pula teman-temanku yang mendengar ucapan Wiwik langsung menanyakan apa yang baru saja ku alami.

"Kamu berantem kok nggak bilang-bilang sama kita sih?" ucap Tohir menyalahkanku.

Wiwik yang terkejut langsung menanyaiku,"Habis berantem sama siapa, Lang?"

"Tanyanya nanti aja deh, aku mau ngrokok dulu."

"Yang bener aja, bangsat," sahut Setyo.

"Ntar deh aku jelasin," balasku sambil mengkode teman-temanku jika aku tak bisa menjelaskannya selama masih ada Wiwik disini.

Mereka semua langsung mengerti, dan tak lagi menanyakan berbagai hal tentang luka lebamku di pipi.

"Vira," sapaku saat ia sendang melamunkan sesuatu.

"Ehh, iya, Lang?"

"Kamu putus ya sama Candra?"

Kulihat raut wajah Wiwik, dia seperti ingin berkata sesuatu tak tak sampai. Sepertinya ia terkejut saat aku mulai membahas Candra, apalagi saat aku berkata bahwa banyak hal sudah terjadi. Aku hanya tersenyum dengan itu, kurasa apa yang dibicarakan Candra tentang Vira itu ada benarnya. Tapi untuk sekarang aku masih tak punya bukti yang kuat, jadi aku lebih memilih untuk diam saja.

"Kamu kok tahu kalau aku putus sama Candra?" ucap Vira seperti sedang tidak menyangka.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang