Tak Berdaya

362 14 0
                                    

Aku terbangun dari tidurku, kurasa sudah lama sekali kedua mataku terlelap. Tadi aku juga memimpikan sesuatu, tapi sayangnya tak bisa kuingat lagi bunga tidur itu walaupun baru saja mendapatkannya. Semua terasa nyata tadi, entah itu mimpi buruk atau bukan tapi seolah-olah aku hidup di dalam mimpiku itu semalam.

Yang masih bisa aku ingat dari mimpi itu hanyalah seorang perempuan yang berkata bahwa ia tak menyukaiku, di keadaanku yang seperti ini dan apa yang aku lakukan selama ini. Entahlah apa maksud dari itu semua, lagipula aku juga tak ingat perempuan itu siapa. Jadi aku hanya bersikap seolah itu hanyalah mimpi biasa, yang tak ada maknanya.

Aku heran kenapa saat ini berbeda dari biasanya saat aku terbangun, sama seperti waktu aku mabuk dan terbangun di kamar Zahra. Ku tahu sekarang diriku ini berada di rumah sakit, karena kulihat infus terpasang di tanganku dan juga selang oksigen yang membantu pernafasanku. Hanya saja aku masih belum ingat kenapa aku bisa ada di tempat ini.

Ruangan ini gelap, tak ada satupun lampu yang menyala. Satu-satunya penerangan hanyalah sinar bulan yang masuk lewat kaca jendela, itu pun ruangan ini masih tak terang. Kupandangi sekitarku, aku melihat seseorang sedang duduk di sampingku dengan kepala terbenam di kasur tempatku tertidur. Dia perempuan, hanya saja aku tak tahu dia siapa karena mukanya mengarah membelakangi wajahku. Kucoba untuk melanjutkan tidurku tapi tak bisa, mataku seperti menolak untuk terlelap. Suhu ruangan ini terasa dingin, bahkan dengan berselimutpun hasilnya sama saja. Aku heran kenapa perempuan yang di sampingku ini sama sekali tak merasa kedinginan, ataukah mungkin hanya diriku saja yang merasakannya. Hingga pada akhirnya aku baru bisa tidur lagi saat adzan subuh terdengar.

Aku terbangun kembali, kali ini keadaan ruangan tak gelap seperti saat aku terjaga tadi malam. Dan juga, perempuan itu sudah berdiri dan terlihat sibuk. Tak kusangka, yang sejak malam tadi tidur bersamaku adalah Zahra. Dan aku heran kenapa dia tidak disekolahnya sekarang, karena seingatku ini bukan hari Sabtu ataupun Minggu.

"Zahra ...," panggilku dengan suara lirih.

"Eh, Lang ... Kamu udah bangun," balasnya sambil meletakan sesuatu di meja lalu mendekati diriku.

"Iya ... Ayah ibuku nggak disini?"

"Kan mereka masih di luar kota, Lang ... Mungkin dalam waktu dekat mereka pulang."

"Ohh, kamu sendiri kok malah di sini? Kamu nggak sekolah?"

"Kamu jangan banyak gerak dulu dong, Lang ... Nanti kamu kalau tambah sakit, kan aku juga yang kerepotan," ucapnya menahan pergerakan tubuhku.

Aku bersandar kembali seperti semula, sebenarnya aku tak nyaman dengan posisi seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua agar sakitku tak bertambah parah. Zahra kembali ke meja mengambil sebuah barang, sesuatu yang membuat dia sibuk saat aku terbangun tadi. Ternyata itu adalah nasi dan sayuran untuk sarapan, dan itu untukku.

"Sarapan dulu, Lang ... Kamu dari kemarin belum makan kan?" ucapnya sambil membawa makanan itu dan segelas air putih hangat.

"Aku belum lapar kok Ra, kamu sendiri udah sarapan apa belum? Kalau belum, itu buat kamu aja."

"Makanan ini tuh buat kamu, bukan buat aku ... Nanti aku bisa ke kantin rumah sakit,"

"Tapi, Ra ...."

"Aku suapin," ucapnya dengan wajah datar, dan caranya bicara itu terkesan memaksa.

Akhirnya aku hanya bisa menurut saja apa yang ia katakan, lagipula aku sama sekali belum makan sejak kemarin dan tanganku juga terasa sakit jika digerakkan. Raut wajahnya masih sama seperti tadi, tak ada senyuman yang ia perlihatkan kepadaku sejak pertama kali aku melihatnya di rumah sakit ini.

"Senyum dikit kenapa sih, Ra ... Dari tadi mukamu datar terus, kaya kamu kalau lagi marah aja," ucapku menegurnya disaat ia menyendok nasi.

"Habisin makanannya dulu, Lang ... Selesai makan baru ngobrol," balasnya sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.

Aku jadi terpikir mengapa hari ini dia tak pergi ke sekolah, tapi malah menemaniku di rumah sakit ini. Setahuku ia tak pernah membolos sejak SMP, bahkan saat sakit pun ia sering memaksakan diri untuk tetap berangkat. Lalu apa yang membuatnya jadi seperti ini? Kurasa baru kali ini dia tak masuk sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Padahal dia sehat.

"Kamu kok nggak ke sekolah sih, Ra?" tanyaku saat ia selesai makanan itu sudah habis.

"Tenang aja, tadi aku udah minta Shania buatin surat izin palsu."

"Tumben kamu bolos?"

"Ya mau gimana lagi, Lang."

"Mau gimana lagi apanya?"

"Sebagai sahabatmu, mana mungkin aku bisa tenang kalau tahu kondisimu kaya gitu," ucapnya membuatku tersenyum di dalam hati.

"Kamu kok bicaranya mirip kayak yang aku omongin waktu itu sih, Ra?" balasku sambil terkekeh pelan.

"Aku tuh khawatir sama kamu, makannya aku rela bolos demi bisa temenin kamu disini."

"Harusnya kamu nggak perlu sampai korbanin sekolahmu cuma demi temenin aku di sini, Ra."

"Kamu pikir kalau aku di sekolah, aku bisa tenang aja gitu? Aku malah makin pikiran, jadi gak bisa fokus sama pelajaran."

"Kan di sini ada suster yang jagain aku."

"Udah kamu diem aja bisa nggak sih? Gak usah komplain, kamu juga seneng kan kalau aku ada di sini?"

"Sebenarnya iya sih, hahaha," ucapku sambil tertawa.

Setelah itu Zahra memintaku untuk menceritakan apa yang terjadi hingga aku bisa seperti ini, kuceritakan itu tanpa terkecuali dari awal terjadi masalah hingga aku sampai di rumah sakit ini. Ia mendengarkan setiap kata yang kuucap dengan cermat, dan aku senang karenanya. Dan seketika itu aku juga teringat dengan pembicaraan terakhirku dengan Wiwik dan Vira. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan pada mereka, sebuah hal yang membawaku sampai disini. Aku ingin segera sembuh, dan menemui mereka berdua kembali.

Waktu berlalu dengan cepat, canda dan tawaku serta berbagai cerita bersama Zahra di hari ini membuatku melupakan rasa sakit yang aku alami. Aku belum pernah mengobrol dengannya sebanyak ini, hingga tanpa kusangka temanku datang menjenguk diriku yang terkapar tak berdaya ini.

"Yahh, jagoan Warung Ijo terkapar tak berdaya," ucap Arya menggodaku.

"Sekali lagi manggil aku jagoan, aku bunuh kamu."

Arya hanya tertawa lebar membalasnya. Beberapa temanku yang lain juga ikut masuk ke ruangan dimana aku berada saat ini, karena sekarang sudah memasuki Jam jenguk pasien.

"Hir," panggilku ke Tohir.

"Apa?"

"Pengen rokok, hehe."

"Makannya cepet sembuh, nanti kalau sembuh aku beliin rokok sebungkus deh."

Aku tersenyum menanggapinya, lalu aku menyalami teman-temanku yang lainnya. Semua teman satu tongkronganku datang tanpa terkecuali, memang hanya bisa beberapa orang saja yang masuk kesini agar tidak membuat ruangan ini sesak dan mereka juga masih bisa bergantian menjengukku.

"Eh Lang, nih air infus kalau diganti pakai anggur merah gimana ya jadinya?" celetuk Angga tak masuk akal.

"Mabuk melulu yang ada di otakmu, aku kan udah nggak gitu lagi."

"Hahaha, pokoknya kalau udah keluar dari RS, kamu wajib traktir anggur merah buat kita-kita."

"Nah bener tuh, kita doain Erlang biar cepet sembuh," sahut Arya.

"Aamiin ...," ucap semua orang yang ada disini.

Walaupun berisik dan terkesan mengganggu, tapi aku tetap senang mereka ada disini. Mereka semua bercanda di ruangan ini seperti saat di tongkrongan, dan itu membuat mereka mendapat teguran oleh karyawan rumah sakit ini beberapa kali. Tapi mereka tetap melakukan hal seperti itu lagi dan lagi, tanpa takut diusir oleh pihak rumah sakit. Kurasa urat malu mereka sudah putus sejak lama.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang