Cinta

3.4K 193 10
                                    

Menatap di setiap sudut yang gelap. Hawa dingin kian menusuk. Beberapa orang sudah tergeletak, bagaikan seonggok daging tak berharga. Sedangkan mata ini, jangankan untuk terpejam, berhenti membayangkan kejadian yang terlewati pun aku tak mampu.

Pikiran terus melayang, mengkhawatirkan keadaan wanita yang kucintai. Bagaimana tidak, aku memang berada di tempat yang jauh dari kata nyaman. Namun, istriku justru sedang menghadapi situasi yang sangat tidak aman.

"Enggak istirahat, Mas?" tanya seseorang, membuatku menoleh.

"Iya, Mas. Silakan, istirahat duluan saja," jawabku ramah.

Semua orang terkesan tak peduli, hanya dialah satu-satunya narapidana yang terlihat santun. Kalau boleh aku menilai, lelaki berkulit sawo matang itu tidak pantas rasanya berada di tempat suram ini.

"Yang sabar, Mas. Terkadang dunia sejomplang itu, jauh dari kata adil," ucapnya lagi.

Mendengarnya, membuatku seketika menatap. Lelaki yang baru saja kuketahui bernama Beni itu, seolah tahu apa yang sedang aku hadapi. Ketidakadilan memang sedang merajalela.

"Mas orang baik, enggak seharusnya berada di sini," pujiku. Hanya itu yang bisa kukatakan, karena tak sampai hati jika langsung bertanya, apa sebab ia berada di sini?

Dia tersenyum menunduk, terlihat tulus. Entah kenapa, aku selalu ingin memujinya.

"Kupikir, Mas sedang membicarakan diri sendiri," jawabnya. Ternyata kami mempunyai pikiran yang sama.

"Tidak ada saksi, tidak ada dukungan dari keluarga. Hanya terima nasib saja," sambungnya.

Tanpa perlu penjelasan, aku mengerti bahwa saat ini ia sedang menikmati buah dari kejinya fitnah. Meski tak tahu pasti, tapi tahu betul dari sorot matanya, tidak bisa dibohongi.

"Jika memang Mas sedang merasakan hal yang sama, maka Mas masih mempunyai kesempatan memperjuangkan. Memang kerabat tidak selalu bisa diandalkan. Setidaknya harus bersukur, jika salah satu dari mereka masih ada yang berhati tulus."

Entah kenapa, aku merasa dia mengetahui keluh kesahku, meski tanpa bertanya.

***

Benar saja, badan terasa sakit saat pertama kali membuka mata. Tulang terasa nyeri, juga dingin yang berhasil menjalar. Mungkin tubuh ini belum mampu beradaptasi.

Aku serupa manusia yang tersesat di dalam hutan. Entah bagaimana cara membersihkan diri, atau rutinitas lainnya yang biasa dilakukan pada pagi hari.

Mas Benilah yang menuntunku, tentang aktivitas dan tempat mana saja yang bisa di akses. Semua serba memprihatinkan.

Jam 9.00, pintu setinggi 1,5 meter di gerbang besi rutan dibuka. Antrean pengunjung mengular. Terlihat beberapa orang berbaris. Dari belasan larik yang berjejer, ada seseorang yang sangat kukenal. Mefi.

Pada saat bersamaan, seorang polisi menyerahkan ponsel dan senjata api genggam jenis revolver di tempat penitipan barang. Ia menyalamiku dan mengatakan bahwa senjata jenis apa pun harus dilucuti biar tak direbut penghuni rutan.

Mefi sampai pada pemeriksaan awal. Ia menyerahkan surat izin kunjungan dan KTP. Kemudian petugas membongkar isi dua tas kresek hitam yang dibawanya.

Setelah itu, Mefi masuk ke bilik mirip kamar pas berukuran 1x1 meter. Seluruh bagian tubuhnya digeledah. Ketika melewati gerbang besi kedua, identitas dan surat besuk diperiksa kembali.

Rindu ... rasa menggebu membuatku ingin terus menatap tanpa berkedip. Wajah ayu yang merona, terlihat jelas bahwa ada sesuatu yang tertahan di sana.

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang