Mila kini berada di kontrakannya bersama Laila yang tengah sibuk menyiapkan diri.
"Lo itu harusnya belajar dandan dari kecil jadinya gak bakal ngerepotin orang pas gede," omel Mila sembari membedaki wajah Laila.
"Yaudah sih maaf, kan gue ga ada cita-cita buat jadi sekretaris," tukas Laila tidak mau disalahkan.
"Emangnya tunggu lo jadi sekretaris aja, lo bakal dandan? Kalo lo udah nikah lo harus dandan, lo mau suami lo digaet sama orang? Enggak kan?" gerutu Mila lagi.
Laila hanya melipat dahinya. "Lah, kenapa lo jadi bahasin nikah gini?"
"Kenapa ga suka? Emang gue harus bahas ini? Lo mau jadi gadis tua? Kalo gue sih ogah! Cantik sih iya tapi kagak ada yang naksir, masih bagusan nasib gue tinggal tunggu lamaran," jawab Mila tidak kalah sengit.
"Jadi apa masalah lo? Jodoh gue tuh lagi di impor dari luar negeri. Jadi tunggu aja bakalan dateng," kekeh Laila mulai berargumen.
"Nah kan, lo parah banget. Lo kira jodoh itu dijual di olshop, terus ngirimnya gimana? Pake surat POS?"
Laila tidak menjawab apa-apa, ia hanya tertawa kecil. Laila melihat dirinya sendiri di cermin, ia tidak menyangka jika dirinya lebih cantik daripada biasanya. Mila begitu handal setelah kursus dengan seorang banci salon.
"Gue cantik banget, kan?"
"Percuma cantik kalo gak ada yang naksir, buang aja tuh muka biar lebih berfaedah," umpat Mila sembari membereskan barang-barangnya.
Laila hanya menatap Mila dengan sangat datar, ia sungguh tidak menyangka. "Lo mau berdiri aja di sana? Bantu gue! Makanya abis lulus tuh kerja kalo emang gak keterima kuliah! Sadar diri dikit kenapa? Udah numpang terus ga bisa masak, pemales, ga bisa dandan, badan kurus banget kek tiang, bangun selalu siang. Mau jadi apa lo?" tanya Mila panjang lebar sembari melipat tangannya di depan dada.
"Orang kaya," jawab Laila spontan. Mila membelalakkan mata ketika mendengar jawaban Laila yang tidak masuk akal baginya.
"Orang kaya? Lo mau jadi orang kaya? Sana, lo ke kamar terus tidur! Dan lo bakal jadi orang kaya buat seharian. Gimana mau jadi kaya? Hobinya rebahan mulu di kamar, mainin hape mulu ga ada habis-habisnya. Coba aja lo tuh pinter, pasti bakal jadi karyawati di toko-toko, kan gajinya lumayan. Kalo enggak, cukup lo pinter masak kan bisa masuk ke rumah makan ato gak restoran. Pinter dandan bisa masuk salon, kalo enggak punya badan yang ideal lah. Makan banyak gak lebar-lebar tuh badan," gerutu Mila lagi. Laila hanya melangkah dengan malas dan menghela nafasnya panjang.
Pidato panjang di pagi harinya benar-benar membuat semangatnya jatuh berceceran. Ia merasa kekurangan ion, bagaimana dengan harinya? Di rumah telah menerima pidato dan di kantor ia akan bekerja seakan memberikan nyawanya sendiri.
"Udah selesai?" tanya Mila sembari berkacak pinggang. Laila hanya mengangguk dengan malas. Ia melangkah sembari menggeret kakinya.
"Kenapa kaki lo? Sakit?" tanya Mila dengan rasa sedikit khawatir, bagaimanapun kesehatan Laila menjadi amanah untuknya.
"Gue jadi males kerja karena ngedengerin pidato lo yang panjang banget. Ga capek lo ngomong mulu dari tadi?" gumam Laila sembari menggosok matanya. Dengan cepat Mila menarik tangan Laila dari matanya sendiri.
"Jadi lo males kerja hari ini?"
Laila menatap Mila dengan polos lalu mengangguk pelan. "Gue jadi pengen rebahan, bisa gak gue masuk besok aja? Gue lagi gak bergairah."
"Gak bergairah?" tanya Mila lagi. Dengan gerakan cepat, Mila menjewer telinga Laila seperti yang ia lakukan di kafe Sirent. Ia sedikit memelintirnya lebih kuat daripada kemarin.
"Aw.... Sakit Mil, lepasin!" pinta Laila sembari meringis kesakitan.
"Biar lo lebih bergairah," gumam Mila sekali lagi memelintir telinganya lalu akhirnya melepaskannya.
Laila menggosok telinganya guna mengurangi rasa sakit dan beranjak berdiri di depan cermin. "Kan lo liat, telinga gue merah karena lo."
"Biarin! Ga usah ngedumel! Ayo kita pergi entar kita telat!" Mila langsung saja menarik Laila agar keluar kontrakan.
Mila berbalik dan mengejutkan Laila. "Ada apa?" kaget Laila tiba-tiba melihat wajah Mila di depan matanya.
"Lo jangan sekali-kali maluin gue. Dan stop buat ngomongin keluarga Lathfierg! Gue gak mau mati konyol cuma gegara tingkah lo yang kepo akut itu. Kalo gue dapet teguran lagi dari atasan gue, abis lo dengan gue. Dan lagi, misalkan lo punya masalah sama mereka. Gue bersumpah gue gak bakal peduli dengan lo! Mau lo dibunuh berantai ato disiksa, gue ga peduli! Ambil sisi baiknya aja, gue bakal jadi orang kaya setelah itu karena mungut semua sumbangan untuk lo dengan tangisan dramatis gue. Sedangkan lo bakal istirahat dengan tenang di pemakaman!" ancam Mila sembari mengangkat senyum sinisnya.
Laila menatap Mila berkaca-kaca. "Lo kejam!"
"Hapus air mata lo. Gue ga punya banyak waktu buat make-up ulang," gumam Mila sembari menarik Laila ke luar dan mencari angkot untuk menuju ke perusahaan tempat mereka berdua bekerja.
***
Dengan terengah-engah, Mila berlari dan mengisi daftar hadir. Semenit saja ia telat, uang gajinya akan dipotong beberapa persen. Mila meninggalkan Laila di depan pintu kaca masuk, sedangkan Laila berjalan santai menuju ruangan Oxy.
"Permisi...." pintu dibuka dan ia melihat Erick sedang berbicara dengan dua orang. Laila lebih memilih berhati-hati.
"Akhirnya kau datang. Tuan Gio, perkenalkan dia adalah Laila yang pernah kita bicarakan. Laila, ini tuan Gio dan istrinya, Lulu." Laila tersenyum kecut ketika melihat tangan kiri bosnya menggenggam tangan istrinya sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah samurai yang lumayan panjang.
"Baiklah, atur perusahaan ini dengan baik, Erick. Jika ada suatu hal hubungi aku dan jangan coba-coba menjatuhkan perusahaan ini, kau tau kami siapa. Dan kau Laila, bekerjalah dengan baik!"
Gio bersama Lulu memilih keluar dari ruangan. Laila menatap kepergian mereka dengan tatapan horor. "Tenang, jika kau tidak mengacau ataupun mengganggu adik tersayangnya Lidya, samurai itu tidak akan dikibaskan di lehermu."
Laila mengangguk pasrah dan menelan salivanya, "Baiklah pak Erick."
"Mejamu ada di sana, aku telah menyiapkan pekerjaanmu. Aku akan menyiapkan beberapa pekerjaan Oxy sebentar," gumam Erick
Laila duduk dan memulai pemindahan data yang diperintahkan Erick. Setelah beberapa saat pintu dibuka lagi dan Laila menatap seorang perempuan yang teramat cantik. Erick langsung berdiri dengan kaget.
Perempuan itu adalah Aluna, dia bergerak dan membanting beberapa dokumen yang ia bawa. "Apa-apaan ini?" respon Laila dengan refleks.
Aluna melotot dan membelalakkan matanya. "Apa? Kau tidak setuju?!"
"Jelas! Kau datang dan tiba-tiba memberikan setumpuk dokumen dengan cara membantingnya? Kau punya sopan santun!"
Aluna langsung mengeluarkan belati dari balik jaketnya. "Erick berhentikan dia! Aku menyesal karena telah merekrut dia di perusahaanku!" Aluna mengarahkan belati itu tepat di dada Erick.
"Maafkan aku, dia adalah Laila."
"Aku mengetahui hal itu dari Gio! Sebab itu aku membawa dokumen ini!"
"Maklumkanlah dia. Laila, ini adalah Aluna, adiknya Oxy."
Laila menelan ludahnya, terasa pahit. Lagi-lagi dia salah langkah dan akan membuat Mila menjadi kaya dalam waktu singkat. "Aluna, maafkan aku."
"Jaga sopan santunmu, kau beruntung karena kini kau bersikap denganku. Jika kau bersikap kurang santun dengan kakakku, Lidya. Kau bukan saja akan dipecat dan kau akan lenyap! Erick! Awasin dia!"
Aluna meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa dan membuat jiwa Erick dan Laila seakan meronta.
"Maafkan aku," gumam Laila merasa bersalah. Erick hanya mengangguk pelan dan menenggak air mineral, kerongkongannya serasa tercekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave The World with Yourlove [Lathfierg Series] [End]
RomanceBook 3 of Lathfierg Series Tuntutan ekonomi yang menjadi penyebab masuknya Laila Nurfajah ke dalam kehidupan Oxyvier Lathfierg. Ditambah lagi dengan pekerjaan Oxy yang semakin memadat membuatnya harus mencari pengganti Lidya dengan segera. Mereka be...