Mereka makan malam dalam diam. Hanya denting sendok garpu yang beradu di atas piring, serta gelegak air yang tertuang ke dalam gelas yang mengisi kekosongan sunyi di ruang makan.
"Ini rumah apa kuburan ya? Sepi amat ...," kelakar Pak Widhi mencoba memecah kebekuan suasana.
"Hush, Pa! Bukan kuburan, tapi rumah duka!" Chandra tak habis pikir dengan orang tuanya yang masih bisa menerimanya dan seolah melupakan tingkah 'nakal'nya.
"Pa ... Ma ... Ga lucu!" ucap Chandra datar.
"Emang papa dan mama nglawak, Mas?" Chandra mendesah panjang.
"Maaf ya Ta, kamu harus kuatin hati nantinya menghadapi orangtuaku."
Prita hanya diam saja dari tadi, dan menunduk. Badannya kembali bergetar. "Ta ...." Chandra menyibak surai yang menjuntai menutupi wajahnya. Pipi Prita tampayk tembem karena makanannya menyumpal di rongga mulut, urung dikunyah.
Prita meletakkan sendoknya dan menyeka bibirnya dengan kain yang diletakkan di pahanya. "Ta?"
"Mas, habis ini antar Prita pulang. Orang hamil memang sensitive seperti itu," kata Bu Laras.
"Iya, Ma."
***
Chandra tampak bingung menghadapi Prita yang hanya bisa menunduk selama perjalanan. Gadis itu menutup wajahnya dan memperdengarkan suara pilu. Chandra tak tega membiarkan Prita sendiri dan memilih menepikan mobilnya di pinggir jalan.
Cahaya lampu yang menyoroti jalanan menjadi penerang kegelapan di dalam mobil. Chandra hanya mengamati punggung Prita yang bergetar naik turun, tak tau harus berbuat apa untuk menenangkannya. Chandra merutuki dirinya karena tidak berpengalaman dalam berhadapan dengan perempuan. Begini salah, begitu juga salah. Andai ada kamus besar 'Cara Menghadapi Perempuan', dipastikan dia akan langsung memesannya sebelum buku itu dicetak.
Chandra menghela napas panjang, memandang gadis langsing di depannya. "Ta, aku sudah ngelakuin apa yang kamu mau, tapi kenapa kamu malah sedih gini? Aku kurang gimana? Harus apa?"
Prita hanya menggeleng berulang, membuat Chandra semakin bingung. "Ta, please, ngomong dong. Aku bukan cenayang yang bisa nebak isi hati orang!"
"Jangan kaget ya ...."
"Apaan sih, Ta ...." Jantung Chandra berdebar kencang tak jelas.
Pelan-pelan Prita menurunkan tangannya dan menoleh ke arah Chandra. Chandra tersentak dan beringsut ke belakang melihat penampakan Prita yang kacau : rambut hitamnya menjulur ke depan dengan garis-garis hitam yang kini terlihat seperti aliran sungai berlumpur di pipi putihnya. Penampakan Prita mengingatkan Chandra pada karakter film horror Jepang yang keluar dari kotak televisi.
"Ta, wajahmu nakutin!"
"Tuh kan! Aku jelek, aku nakutin!" Prita mencondongkan badannya melampaui persneling mobil, hendak melayangkan pukulan ke tubuh pemuda di depannya. Namun, Chandra langsung menyambar pergelangan Prita untuk menenangkannya.
"Dari tadi kamu nutup wajahmu, dan nunduk gara-gara malu eyelinermu luntur kemana-mana?" Prita mengangguk.
"Ya ampun, Mas. Aku malu sekali sama Papa Mama mu!"
Chandra menepuk jidatnya. Kecemasannya rupanya terlalu berlebihan. Alih-alih merasa bersalah, Prita sedari tadi menunduk karena menyembunyikan riasan matanya yang hancur.
Chandra mendesah, melihat baik-baik wajah Prita yang seperti setan dengan riasan mata yang hancur karena luntur. Chandra menyekap kedua pergelangan tangan Prita dengan satu tangannya sementara tangan yang lain merogoh ke saku celananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled (Completed)
RomanceChandra Pradipta, pemuda selengekan yang enggan berkomitmen. Di usianya ke 28 tahun, Prita kekasihnya meminta agar Chandra segera menikahinya. Namun, adik Chandra - Cinde, yang enam bulan lagi menikah membuat Chandra tidak bisa langsung menyetujui n...