Cakrawyuha

16 2 0
                                    

Hati Abiem resah. Hari ini, Riri tidak masuk sekolah. Sebenarnya, Abiem sudah ingin melupakan Riri ataupun cinta yang pernah tumbuh di hatinya. Namun, terakhir melihat Riri dalam keadaan pucat pasi dengan suhu badan tinggi, tak ayal membuat Abiem khawatir. Jangan-jangan, Riri sakit parah?

Abiem segera menggeber motornya keluar dari gerbang sekolah. Hari ini, dia ingin langsung ke rumah Om Kris, mencari tahu apa yang terjadi dengan Riri. Namun, di sepanjang jalan, dia merasa ada beberapa orang bermotor mengikutinya. Orang-orang itu berboncengan dengan lima motor berknalpot brong. Mereka mengikuti ke arah manapun Abiem pergi. Siapa mereka?

Akhirnya, di jalan yang agak sepi, mereka berhasil mencegat Abiem dan memaksa Abiem berhenti. Mereka sepuluh orang berbadan kekar. Sebagian dari mereka ada yang bertato di lengan. "Berhenti!" Teriak salah satu dari mereka. Mungkin, dia itu pentolan genknya. "Serahkan semua yang Lo punya!" Gertaknya.

"Kalian bisa mendapatkan semua milikku. Tapi, langkahi dulu mayatku!" Abiem pasang kuda-kuda.

"Ayo! Ladeni kami!" Para preman itu satu per satu menyerang. Satu per satu, serangan mereka terpatahkan. Mereka kewalahan menghadapi Abiem jika harus tanding satu lawan satu. "Ayo!" Pimpinan preman itu segera mengomando anak buahnya. mereka bersiaga, mengelilingi Abiem membentuk lingkaran ibarat formasi perang Cakrawyuha. Abiem tetap waspada. Namun bagaimanapun juga, Abiem kalah jumlah. Abiem mampu menangkis serangan dari depan namun tidak bisa menahan serangan dari belakang. Dia mampu menghindari serangan dari belakang namun tidak bisa lolos dari serangan preman yang ada di kanan-kirinya. Abiem terdesak! Sebuah tendangan dari belakang tepat mengenai tengkuknya. Abiem tersungkur, babak belur!

"Rajam saja dia!" Samar, Abiem mendengar sebuah teriakan. Suara yang tidak asing baginya. Sejurus kemudian, preman-preman itu menghujaninya dengan batu. Membabi-buta, batu-batu itu merajam tubuh Abiem, mengenai tubuh dan juga kepalanya. Darah mulai mengucur dari kepala, mulut, dan hidung Abiem. Pandangannya mulai kabur.

"Rasakan, Abimanyu Putra Dananjaya! Mampus, Lo! Kalau Lo dah mampus, Riri akan selamanya jadi milikku. Hahahahahaha..." Suara itu... Buk! Sebuah injakan menyasar punggung Abiem.

"Emon!" Bisik Abiem. Ternyata, preman-preman itu bukan ingin merampas hartanya namun memang disuruh untuk menghabisi nyawanya.

"Ayo, Biem! Bangun kalau Lo mampu! Hahahahaha..." Emon menantang. Dia mengira, Abiem sudah tidak bernyawa. Namun, Abimanyu tidaklah selemah yang dikira Lesmana Mandrakumara. Tak dikira, Abiem membalikkan badan. Dia langsung menjegal Emon hingga Emon jatuh terjengkang. Tangan Abiem meraih sebongkah batu yang tadi sempat merajam tubuhnya. Dengan tenaga yang masih tersisa, Abiem memukulkan batu itu ke kepala Emon. "Haaarrrrgh!" Emon mendelik. Para preman yang ada di situ tak ada yang menyangka Abiem masih bisa melawan dan melukai orang yang telah membayar mereka. Emon sudah tidak lagi bergerak. Sedangkan Abiem, pandangannya semakin kabur. Dia jatuh terkulai.

"Eh, begal! Ada begal!" Warga yang tidak sengaja lewat melihat kejadian itu.

"Ada warga! Ayo kabur!" Para preman itu segera berhamburan pergi. Warga segera menolong Abiem dan Emon yang tergeletak dengan membawa mereka ke rumah sakit.

Sementara itu, di rumah sakit, Riri bangun dari ranjangnya. Dua hari tubuhnya lemah tak berdaya. Entah berapa kantong darah dan infus yang masuk ke tubuhnya. Kini, Riri merasa badannya jauh lebih baik. Dia merasa sudah lebih bugar. Tubuhnya sudah tidak lagi demam. Dia merasa baik-baik saja.

Ditengoknya tabung infus yang tergantung di sisi ranjang. Sudah hampir habis, saatnya minta ganti. Agak jauh dari ranjang, dia melihat bundanya tertidur lelap sekali. Ah, kasihan sekali ibu tirinya itu. Pasti dia kelelahan menjaga Riri selama dua hari ini. Riri tidak tega jika harus membangunkan bundanya. Maka, dia pun melepas jarum infus yang menacap di tangannya. "Aku sudah tidak butuh. Aku sudah kuat, kok." Begitu batin Riri. Namun, bagaimanapun juga, perawat harus tahu kondisinya sekarang. Riri pun memutuskan untuk menemui perawat jaga.

Pelan, Riri menuruni ranjang. Dia tidak mau membuat bundanya terbangun. Pelan, dia melangkah keluar bangsal. Dia tengok kanan-kiri. Ke mana kiranya ruang perawat jaga? Dia memutuskan untuk berjalan ke lorong sebelah kanan. Ternyata, lorong itu tidak membawanya ke ruang perawat jaga tapi ke arah IGD.

Beberapa perawat tampak mendorong ranjang dengan tergesa-gesa, memasukkan satu pasien ke ruang IGD. Tunggu! Riri terhenyak! Pasien yang baru masuk tadi seperti masih mengenakan seragam sekolah. Seragam sekolah yang sangat Riri kenal: seragam SMA Persada. "Jangan-jangan, ada teman yang sakit." Batin Riri. Riri segera menghambur ke IGD. Dari luar, masih ada satu pasien lagi yang dibawa masuk dengan tergesa. Dia juga masih mengenakan seragam SMA Persada. "Siapa dia?" Batin Riri. Riri mendekat. Pasien itu dibawa lewat depan Riri. Riri sempat membaca nama yang tertera di dada pasien yang terluka parah itu. "Abiiiiiiiem...!" Teriak Riri histeris. Riri langsung mengikuti ranjang dorong itu. Dia mencoba menggapai tangan Abiem. "Abiem... Abiem..." Panggil Riri.

"Maaf, Dik, tunggu di luar saja, ya! Biar kami tangani temanmu." Kata salah satu perawat, mencegah Riri ikut masuk ke IGD.

"Biarkan saya ikut masuk, Sus! Saya mohon! Biarkan saya ikut masuk!" Rengek Riri.

"Jangan! Tunggu di luar saja, ya!" Kata perawat itu sambil menutup pintu.

Seketika, tubuh Riri kembali terasa lemas. "Abiem... Abiem..." Lirih, dia memanggil nama Abiem. Dia pun jatuh terkulai. Untunglah, ada seseorang yang sigap menangkap tubuhnya.

"Riri! Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" Suara orang yang menangkap tubuh Riri.

"Abiem, Ayah! Abiem! Abiem di sana." Kata Riri sambil menunjuk ruang IGD. Namun, dia sudah tidak bisa lagi meneruskan kalimatnya. Dia sudah tidak sadarkan diri. Ayah Riri segera membopong Riri kembali ke bangsalnya.

Perlahan, Riri membuka mata. Tubuhnya kini terasa ringan dan lebih segar. Dia heran, bagaimana dia bisa berada di tempat indah ini. Dia berdiri di pinggir telaga, dikelilingi taman bunga seluas pandangan mata. Dia berdiri di situ, mengenakan pakaian pengantin seperti yang pernah dia kenakan saat pentas dulu. Hanya saja, pakaiannya kali ini serba putih. Bahkan, mawar hiasan sanggulnya pun berwarna putih.

Samar, dia mendengar suaranya sendiri menyanyikan baris awal lagu Anyam-anyaman Nyaman. Entah siapa yang menyanyikannya. Yang pasti, suara itu benar-benar mirip suaranya.

"Anut runtut tansah reruntungan, munggah-mudhun gunung anjuk samudra." Dia membayangkan seandainya Abiem juga ada di situ. Dan ternyata, Abiem memang muncul di sampingnya dengan pakaian pengantin yang serba putih pula. Dia muncul dan langsung menggandeng tangan Riri.

"Gandheng renteng anjejereng rendeng reroncening kembang, kembang temanten." Mulut Abiem tertutup. Hanya senyum bahagia yang menghiasi wajahnya namun entah bagaimana, suara Abiem terdengar merdu seperti menyahut nyanyiannya.

Abiem dan Riri saling berpandangan, berpegangan tangan, saling melempar senyum. Saat itu, mereka yakin bahwa tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan mereka.

Mantene wus dandan dadi dewa-dewi. Dewaning asmara gya mudhun bumi.

Cinta AbiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang