WANITA TERBAIK

4.3K 374 6
                                    

Hidup itu seperti menyeberangi sungai. Jika kamu tergelincir, kemungkinan besar akan jatuh lalu terseret arus. Jika kamu berhasil melewati batu-batu yang licin, niscaya akan tiba dengan selamat di seberang sana. Hati-hatilah dalam memilih batu yang menjadi tumpuan. Karena tidak semua batu bisa membantumu.

- by Author -

.

--------------------------‐-----------------------------
.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Mas Arga? Silahkan masuk, Mas." Marisa mempersilahkan Arga yang sedang memberi salam dari teras rumahnya. Pintu rumahnya sedang terbuka.

"Afwan, Abah sama Umi ada?" tanya Arga sopan masih dari depan teras.

"Umi ada di dapur, sedang beres-beres. Abah masih di Masjid. Sedang ada persiapan untuk taklim nanti ba'da Ashar. Ayo masuk, Mas." Marisa mempersilahkan sekali lagi.

Dengan sedikit segan, Arga memasuki rumah itu. Perasaannya sedikit lega mengetahui ada ibunda Marisa di dalam rumah. Sehingga nantinya tidak akan jadi fitnah jika ia bertandang ke dalam rumah.

"Silahkan, Mas." Marisa menunjuk pada sofa yang terbungkus bahan kulit berwarna coklat. Mempersilahkannya untuk duduk. Sementara Marisa tetap berdiri di tempatnya dengan wajah tertunduk.

"Ada apa, Mas? Ada perlu dengan Abah?"

Arga diam sejenak. Sedang berpikir bagaimana menjawab pertanyaan itu. Karena maksud dan tujuannya datang ke rumah itu memang untuk berbicara dengan Marisa dan kedua orangtuanya.

"Emm, iya. Saya tunggu Ustadz Harun saja."

"Kalau begitu, Risa bikinkan minum dulu, Mas. Mas Arga mau minum apa?"

"Apa saja boleh," jawabnya ramah.

"Yang dingin atau hangat?"

"Cuaca di luar sepertinya panas. Yang dingin juga boleh."

Marisa tertawa kecil. "Sebentar ya. Risa buatkan dulu. Palingan sebentar lagi Abah pulang." Marisa segera berlalu ke arah dapur.

Melihat kepergian Marisa, Arga menghela napas lega. Beberapa kali ia menarik napas dalam, lalu menghempas perlahan. Jantungnya perlu ditenangkan. Belum pernah ia merasa segugup ini. Bisa saja sekarang ia kabur dan membatalkan tujuannya datang ke rumah itu. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi? Lebih cepat lebih baik. Segala sesuatu yang baik perlu dipercepat. Apalagi menyangkut masa depannya.

"Assalamu'alaikum." Suara bass seorang pria terdengar dari depan pintu. "Lho? Ada Arga."

"Wa'alaikumussalam, Ustadz." Arga segera berdiri lalu menyalami punggung tangan pria paruh baya itu. Kepalanya menunduk hormat.

"Tumben pagi-pagi datang kemari." Ustadz Harun menduduki sofa single. Tubuhnya berhadapan dengan Arga.

"Iya, Ustadz. Afwan mengganggu waktunya."

"Nggak apa-apa. Saya juga nggak terlalu sibuk. Cuma memonitor persiapan taklim saja. Jadi, ada yang bisa dibantu?" Ustadz Harun tersenyum lebar. Sepertinya menebar senyum memang jadi hobinya.

"Emm, begini Ustadz ..." Kalimatnya terhenti saat melihat Marisa yang berjalan menuju ruang tamu dengan membawa sebuah nampan berisi dua gelas es sirup dan sepiring singkong goreng.

"Wah, kamu tahu aja Abah lagi butuh yang seger-seger." Ustadz Harun kembali tersenyum puas saat Marisa meletakkan segelas es sirup di hadapannya.

"Sirup untuk Abah nggak terlalu dingin, lho. Nanti radang tenggorokan lagi," ingat Marisa pada orangtuanya itu.

LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang