11. Menjadi yang Kedua Itu Tak Mudah

541 31 5
                                    

Sejak Diah sadar perhatian Mas Ben selalu tertuju padanya. Bahkan pernikahan yang semula cukup hangat meskipun tak bisa terang-terangan, kini perlahan terasa hambar.

Kemarin Mas Ben mengatakan bahwa hari ini Uda Ali akan datang ke rumah sakit. Untuk memudahkan keseharianku di rumah mereka nantinya, aku akan diperkenalkan pada Diah sebagai saudara Uda Ali yang akan membantu pekerjaan rumah.

Oke, Na ... akhirnya harapanmu terkabul untuk menjadi asisten ... rumah tangga. Entah mengapa tiba-tiba ada sakit di sudut hati ini mengingat semua itu. Aku tak menyangka perlahan diriku mengharapkan sesuatu yang berbeda dari pernikahan kami.

Sejak awal aku yang mengatakan bahwa pernikahan ini hanya untuk sementara, dan Mas Ben sejauh ini hanya diam. Aku tak tahu apa benar-benar bisa pergi saat waktunya tiba.

"Na?" Suara itu mengejutkanku.

"Eh, Uda Ali?" kataku sedikit gugup.

"Bagaimana keadaan Mas Ben? Kenapa kamu sendirian di sini?"

Aku tak menjawab pertanyaan Uda Ali. Ada sesak yang entah mengapa ingin kutumpahkan padanya.

"Ada apa, Na?" tanyanya lagi.

Tangisku pun pecah. Kutangkupkan tangan menutupi wajahku, lalu terisak.

"Hei ... apa aku salah bicara?"

Suara Uda Ali terdengar di antara desau angin di taman rumah sakit ini. Aku masih merasakan keberadaannya meskipun kini ia tak lagi bersuara. Mungkin pria itu ingin membiarkanku untuk melepaskan segala rasa. Ia pasti tahu bahwa apa yang Mas Ben dan aku jalani bukanlah suatu hal yang mudah.

"Aku nggak tahu harus bagaimana, Uda Ali. Aku takut sekali," ucapku membuka suara.

Hening. Pria di sampingku masih membiarkanku memilah kalimat lanjutan yang mungkin bisa dijadikannya alasan untuk ikut membahas.

"Aku nggak menyangka mencintai Mas Ben akan berujung seperti ini. Sekarang identitasku seolah disembunyikan dari orang-orang." Aku berusaha sangat kuat untuk menyelesaikan kalimat itu. Dada ini begitu sesak.

Hening. Kini Uda Ali yang tampak sedang berusaha menemukan kalimat yang tepat untuk menanggapi perkataanku.

"Sudah, jangan menangis," katanya, setelah sekian detik menjeda.

Aku menghela napas, memandang langit yang sedikit mendung. Dengan enggan kuhapus air mata yang membasahi kedua pipiku.

"Aku ... boleh menanyakan sesuatu?" tanyanya kemudian.

"Ya."

"Mengapa kalian menjalani hubungan terlarang itu?"

Deg! Jantungku terasa berhenti. Aku tak menyangka Uda Ali akan bertanya tentang itu.

"M-maaf, aku tak bermaksud untuk menghakimi, tapi ... Diah pasti sangat terluka dengan semua itu." Kalimatnya memukulku dengan telak. Aku tak menemukan satu kata pun untuk membela diri.

"Aku ... aku ...." Hanya terhenti di situ. Dadaku kembali sesak. Lihatlah bagaimana aku ternyata benar-benar menjadi seorang penjahat. Apakah cinta cukup untuk menjadi alasan menghancurkan hati wanita lain?

Uda Ali membiarkanku tertunduk. Ternyata ia tahu tentang hubungan gelap yang dulu kumulai dengan Mas Ben. Entah sejak kapan ia mengetahuinya. Aku malu!

"U-uda tahu dari siapa?" tanyaku, terbata.

"Diah itu sahabatku. Dia sempat mengirimkan pesan sebelum kecelakaan itu terjadi. Lagi pula, apa nggak aneh jika tiba-tiba kalian menikah seperti ini? Apa kamu pikir aku nggak akan berpikir macam-macam?"

Hening lagi. Aku gelisah di bangku yang kududuki. Ingin rasanya berteriak untuk melenyapkan semua rasa yang berkecamuk, tapi itu sungguh tak mungkin.

"Maafkan aku," akhirnya kalimat itu yang terucap.

"Meskipun aku nggak berhak, tapi aku sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ben pada Diah. Siapa yang memulai duluan?"

Suara Uda Ali terdengar seperti bentakan olehku.

"Maaf," ulangku.

Perlahan ia menoleh ke arahku.

"Jadi kamu menggoda Ben?" tanyanya.

Aku masih saja menunduk. Tak tahu harus di mana kutaruh muka ini.

"Aku menganggap diammu adalah jawabannya, Na. Jadi ... undangan di restoran waktu itu hanya kedok saja? Apa kalian sebenarnya hanya ingin bertemu?"

Lagi-lagi aku tak tahu harus menjawab apa.

"Betapa kejinya. Kalian melibatkan aku dalam kejahatan kalian!"

"Uda ... maaf, tapi ...."

"Kalian memang sudah menikah. Ya, aku juga nggak menentang poligami, tapi nggak begini juga dong. Kalian mengkhianati sahabatku!" Susah payah Uda Ali menahan amarah.

Tangisku tak bisa kutahan lagi. Semua rentetan kalimatnya benar. Cinta telah membutakanku. Apapun upayaku saat ini tak akan mengembalikan keutuhan rumah tangga Mas Ben dan Diah lagi.

"A-apa yang harus kulakukan, Uda? Apa yang harus kulakukan untuk menebus semua ini?" kataku, di sela isakan.

Pria di sampingku itu hanya diam. Tampak kilatan amarah yang tak kunjung padam di wajahnya.

"Na! Sedang apa di sana? Ben mencarimu! Ali?" Aku tersentak. Ibunya Diah mendapatiku sedang menangis di hadapan Uda Ali. Semoga ia tak salah paham.

"Iya, Bu. Aku sudah datang."

"Mengapa Na menangis di sini? Ada apa?" tanya wanita itu tegas.

"Heum ... kurang tahu, Bu." jawab Uda Ali, berbohong.

"Na! Kamu jangan bikin ulah dalam situasi seperti ini. Kamu sudah berjanji akan membantu Ben dan Dian kan? Buktikan ucapanmu!"

"Ba-baik, Bu."

Aku mengucapkan itu dengan terbata. Tatapan ibu Diah menyelidik tanpa ampun. Ia bergantian menatapku dan juga Uda Ali.

"Aku nggak akan membiarkanmu menyakiti anakku lagi, Wanita Perebut! Setelah semua ini selesai, kamu harus angkat kaki dari kehidupan mereka. Paham?"

"Bu, sudah. Nggak enak dilihat orang. Ayo kita masuk aja. " Uda Ali menenangkan ibu Diah yang terbakar emosi. Mereka lantas pergi meninggalkanku seorang diri.

Ah, andai Ayah ada di sini.

***

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang