BAB XII

20 3 3
                                    


Kara agak berharap Leon akan menangis, mengatakan seribu satu alasan kenapa dia berani melakukan semua ini, atau setidaknya memohon pengertian darinya. Tapi itu tidak terjadi, Leon hanya pasrah. Menunduk di depan Kara sembari berkata penuh rasa bersalah.

"Aku memang BlackLin. Aku yang selama ini membantu orang- orang di BIT-A, termasuk kakak."

"Tapi kenapa?"

Kara tidak menunggu jawaban. Ketakutan muncul di benaknya. Isi kepalanya yang terbiasa menghadapi kasus langsung menyimpulkan satu hal. Tapi dia tidak sanggup mendengar kalimat itu sekarang juga. Dia tidak bisa mendengar itu dari Leon.

Air mata mengenang. Kara mengambil langkah mundur dan segera berlari keluar dari kamar itu. Pijakannya goyah saat Kara menelusuri lorong. Kemarahan memenuhi dadanya. Pintu kamar yang sedikit terbuka ia abaikan. Kara memilih berjalan lurus menelusuri lorong lantai dua hingga ia bertemu dengan Jackson yang tengah menaiki tangga.

Biasanya Kara akan bertanya kenapa orang lain masih bangun di jam segitu, tapi Kara sedang tidak dalam mood yang baik. Dia hanya melintas tanpa kata, tanpa gerakan lebih, menerobos masuk ke pintu kamar mandi di ujung lalu memasuki salah satu bilik di pojok. Tangannya dengan cekatan mengunci pintu kemudian duduk diam di atas kloset yang tertutup.

Selama beberapa menit dia hanya mematung di sana. Menatap dinding dengan pandangan kosong sembari berharap panas di dadanya akan segera mereda dengan sendiri.

"Aku memang BlackLin."

Kata- kata Leon kembali mengema di kepala Kara. Kenangan dari saat dimana alat itu di kenalkan ke mereka dua tahun lalu. Hari- hari saat dia pulang dari misi dengan menyembunyikan luka tapi mata Leon terus di penuhi rasa cemas. Kara mencoba untuk mengabaikannya tapi dia tidak bisa. Kenangan lain kembali muncul lebih banyak.

"Aku yang selama ini membantu orang- orang di BIT-A, termasuk kakak."

Dia tahu alasan adiknya. Dan itu makin membuat Kara makin marah. Dia merasa gagal. Dia merasa sangat bodoh. Ini adalah hal yang paling dia takutkan akan terjadi. Leon terseret dalam bahaya karena dirinya. Leon mengambil segala resiko untuk menjaganya. Leon, yang dia sayangi akan terluka karena dia.

Ia memejamkan mata, mengigit bibir, berharap kesepian ini akan membuat dia menemukan jalan keluar secepatnya.

***

Kara tidak tahu berapa lama dia di sana. Suara ketukan terdengar dua kali bersama panggilan dari Morgan.

"Kara? Kamu disana?"

Tok! Tok! Tok!

Tiga ketukan terdengar lagi. Kara ingin mengacuhkannya. Morgan mungkin terbangun karena dia tidak ada di ranjang, khawatir jika lagi- lagi dia pingsan seperti tadi di meja makan. Tapi suara lain juga datang, dan Kara tidak bisa membiarkan dirinya tinggal lebih lama.

Saat Kara membuka pintu, ia langsung berpapasan dengan wajah cemas Morgan.

"Kamu baik- baik saja?" Morgan bertanya lagi, tapi tatapan Kara sudah beralih ke anak laki- laki di belakang pria itu. Leon bermata sembab ikut berdiri disana.

Pemandangan itu membuat Kara kembali marah. Tanpa menunggu lama, ia langkahkan kakinya untuk menjauh pergi. Kara bahkan menepis genggaman tangan Morgan dengan tamparan keras, melewati keduanya dan terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari belakang.

'Aku hanya butuh waktu sendiri!' Itu yang dia katakan pada dirinya saat memasuki kamar miliknya dan Qiana. Kara segera mengunci pintu secepat ia masuk, mencegah dua orang yang mengikutinya untuk masuk.

Delta7 TeamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang