Malam yang dirindukannya, kini telah datang menyapa dengan senyuman yang merangkum seluruh keajaiban waktu ini. Malam dimana ia dan sahabat-sahabatnya berkumpul bersama, lantunkan canda tawa di temani secangkir kopi dan sebungkus rokok. Telah mengobati seluruh kerinduan yang sedari dulu mengikuti hari-harinya, untuk kembali ke tempat dimana ia memulai masa pubertas.
Nuansa malam pesantren yang telah mengajarkannya arti kabersamaan, membuat waktunya selama tiga tahun ini terasa begitu bermakna. Canda tawa anak ndalem bernama Udin yang begitu polos, kekonyolan sahabat karibnya yang bernama Rizal. Melengkapi dan menemani indahnya kenangan di pesantren yang akan ia tinggalkan beberapa bulan kelak untuk melanjutkan cita-citanya yang begitu tinggi.
"Mam... di ajak bicara, malah ngelamun."
Ia yang terkaget, segera melepaskan seluruh khayalan-khayalan yang telah memenuhi kotak besar imajinasinya.
"Iya, Imam ini kok malah ngelamun." Sahut yang lain.
"Maaf... maaf..." Ucapnya tersenyum. "zal... din..."
"Lagi mikirin apa sih? Sumringah tenan?" Tanya Rizal menelusuri mimic muka sahabatnya ini.
Ia pun hanya cengengesan mendapati pertanyaan sahabatnya ini. "Gini zal, din... Kita kan sebentar lagi mau UN. Nah... selepas ujian kita kan lulusan..." Jelasnya singkat mencoba mendapatkan perhatian teman sekamarnya ini. "Jadi habis lulusan kita mau kemana?" Tanyanya membentangkan kedua tangannya.
"Halah... ujian saja belum. Mikirin mau kemana."
Imam pun tersenyum heran mendapati jawaban dari sahabatnya ini. Ia tak menyangka, orang yang selalu ada di sampingnya ini masih terperangkap dalam kebimbangan pilihan hidup yang begitu pelik. "Tapikan dalam hidup, kita itu harus memiliki scadule... Iya gak din?" Ujarnya meminta dukungan ke teman yang lain.
"Iya..." Jawabnya yakin seraya melihat orang yang tengah mereka kroyok itu. "Tapi mam, sadul (scadule) itu apa?" Tanyanya polos.
Ia pun hanya bisa menelan ludah kekecewaan yang begitu pahit. "Lah kamu din, scadule itu rencana." Sesalnya atas ketidaktahuan temannya ini.
Sementara itu, Rizal pun tak kuasa menahan tawa dalam perutnya, sikap lucu sahabatnya ini seraya melihat tingkah Imam yang kikuk. Tanpa sengaja, ia mengingat sesuatu yang sedari tadi di lupakannya. Segera ia beranjak memasuki kamar untuk mengambil sesuatu di dalam tas sekolahnya.
"Oh, rencana to... Tapi aku kan ngak sekolah, mam." Tuturnya memelas.
"Memang, tapi bukan itu yang menyebabkan kita harus menyerah dalam hidup din." Ucapnya menyuport orang yang tak bisa sekolah karena keterbatasan materi ini, agar tetap semangat mengarungi kerasnya hidup di dunia luar sana.
"Mam... ini ada surat dari ning Ulya." Ucapnya menyerahkan surat yang ia dapatkan dari wanita yang ikut menjengguk bersamanya di rumah sakit.
"Lho... kok gak dibaca mam?" Tanya Udin melihat perbedaan sikap temannya ini yang berbeda dari biasanya ini.
"Alah... ora usah di piker. Sekarang kita happy dulu." Jawabnya dengan menghirup sebatang rokok di tangan, yang tinggal beberapa centi lagi.
Namun, dari dalam hatinya yang begitu jernih. Ia ingin mendapatkan ketenangan yang sedari dulu telah hilang dari genggaman. Ketenangan yang mampu membuatnya untuk berfikir jernih akan langkah apa yang akan ia persiapkan untuk menghadapi segala masalah yang tengah merintang di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...