Sepuluh

389 133 37
                                    

Jangan lupa vote terlebih dahulu ya! Dan jangan lupa komen juga hehe :)

🎀🎀🎀

10.

Hari ini pertama kalinya Dearni telat, karena pekan kemarin ia baru saja membeli novel yang sejak bulan lalu ia ingin beli. Karena rasa penasaran yang mengebu, maka Dearni menghabiskan waktu untuk membaca novel tersebut. Tidak lama ponsel Dearni pun bergetar menampilkan nomor Gianita.

"Wey cepetan udah telat ini!" teriak Gianita dari balik telepon, membuat yang mengangkatnya dengan sigap menjauhkan telepon.

"Iya, Iya Ndoro, sabar," sahut Dearni dari balik telepon dan segera mematikannya.

"Mama. Dearni berangkat." Dearni mencium punggung tangan mamanya dan mencium kedua pipi mamanya.

"Ia, hati-hati ya sayang."

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Setelah berpamitan dengan Namira—mamanya. Dearni segera mengemblok ransel berwarna peachnya dan berjalan menuju teras rumah mengenakan kedua sepatu sekolahnya. Dilihatnya Gianita yang tengah bermain ponsel sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas motor. Dengan langkah pasti Dearni berjalan membuka pintu gerbang rumahnya.

"Yuk!" Gianita memberikan sebuah helm pada Dearni untuk dipakai.

Helm sudah Dearni kenakan di kepala. Ia pun menutup kembali pintu gerbang rumah, lalu menaiki motor Gianita. Gianita melajukan motornya dengan kencang membelah jalanan yang terlihat ramai tapi lancar. Meskipun begitu, mereka tetap saja terlambat. Gerbang sekolah sudah ditutup setengah dan mereka tidak bisa memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Alhasil mereka harus memarkirkan motornya di parkiran DPR atau biasa disebut parkiran di bawah pohon rindang.

Tiket parkir sudah Gianita dapatkan, segera mereka mencari tempat parkir yang masih tersedia. Tidak butuh waktu lama mereka pun mendapatkan tempat parkiran di ujung pintu keluar. Dearni melepaskan helmnya begitu juga dengan Gianita. Berpacu dengan waktu degub jantung yang mulai tidak keruan, Dearni dan Gianita mempercepat langkah kakinya. Dengan napas yang masih tersengal-sengal Dearni berusaha berlari, namun ternyata mereka tetap saja terlambat dan gerbang sekolah sudah tertutup. Dearni masih mengatur napas yang terengah-engah.

'Sial!' rutuk Dearni dalam hati.

"Pak ... Pak satpam, tolong bukanin pintu gerbangnya," teriak Gianita dari luar gerbang.

Tiba-tiba Dearni mendengar suara napas terengah-engah dari seseorang di sampingnya. Refleks Dearni melirik ke arah Gianita yang masih sibuk meneriaki Pak Satpam yang tidak kunjung membuka 'kan pintu gerbang. Dengan hati-hati Daerni melihat seseorang tersebut. Dan seseorang tersebut masih mengatur napasnya yang terlihat sangat Lelah. Ia mulai membungkuk 'kan badan memijat pelan kakinya, kemudian dia menyeka keringat yang menetes dari dahinya.

Lah dia? Jadi seseorang yang napasnya terengah-engah itu dia? Hah? Beneran? Dunia ini memang sempit. Kenapa dari banyaknya siswa di sini harus dia? Semesta kenapa mempertemukanku dengan dia kembali?

Dia, Mahera..

Tiba-tiba terdengar lah suara pintu gerbang terbuka dan tampak lah dihadapan mereka. Dua orang pria paruh baya yang mengenakan seragam satpam dan seragam guru. Pak Harno dan Pak Wahid sedang menatap mereka bertiga dengan tatapan seperti membunuh.

"Mati gua!" tutur Mahera spontan.

Dearni melirik Mahera. Pasalnya Mahera sudah pasih, tahu hukuman yang akan ia terima. Mengambil sampah pada tiap-tiap kelas dengan membawa tong sampah kecil supaya siswa dan siswi dapat langsung membuangnya di sana. Hukuman yang sangat membuat malu.

***

Gianita berkacak pinggang.

"apa lihat-lihat!"

Gianita melotot menatap Sambara.
Bukannya marah Sambara malah tertawa dengan keras. Cowok bertubuh jangkung itu, kini mengacak rambut Gianita dengan seenaknya. Gemas katanya.

Gianita yang menyadari hal itu langsung menepis tangan Sambara. Cewek itu, kemudian mendengus kesal. Gianita paling tidak suka jika ada seseorang yang dengan seenaknya mengacak rambut yang sudah ia sisir rapi.

"Lo tuh gangguin hidup gua mulu! Ga ada kerjaan lain apa!" bentak Gianita.

Sementara itu, Sambara tersenyum simpul dan mengaruk tengkuknya.

"Ada. Mencintai lo," jawab Sambara.

Renu, Afat, Agasa yang saat itu berada di lokasi langsung hebah mendengar penuturan Sambara, sambil berteriak-teriak tidak jelas. Begitu juga dengan Dearni. Dearni menyenggol lengan Gianita yang terdiam cukup lama.

"Cie.." bisik Wilza pada Gianita.

"Berisik lo," bisik Gianita pada Wilza.

Gianita mengalihkan pandangan. Pipinya terasa panas dan ia yakin, jika kedua pipinya sekarang telah bersemu merah layaknya tomat rebus.

Sambara si kakak kelas yang hobinya menganggu Gianita si cewek tomboy yang cuek. Sambara terperangah menyadari ada hal lucu pada Gianita.

"Muka lo merah. Merah, kaya cepot!" Sambara menunjuk-nunjuk wajah Gianita lalu, tertawa kencang.

Bukan hanya Sambara yang tertawa. Renu, Agasa dan Afat tak kalah tertawa kencang. Dearni dan Wilza pun tersenyum-senyum tipis. Ingin tertawa juga, namun tak enak hati dengan Gianita. Gianita yang tidak terima langsung menginjak kaki Sambara dengan kencang. Membuat cowok itu meringis kesakitan.

"Sukurin!"

Mata Gianita melotot. Gianita pun berdiri dari tempat duduk dan pergi meninggalkan Sambara begitu saja. Dearni dan Wilza mengikuti ke mana Gianita pergi.

***


"Heh cewek kegatelan!"

"Woi, lo tuli apa gimana!" pelan-pelan Dearni memelankan langkah kakinya. Dan tiga orang cewek datang menghampirinya.

"Gua panggil lo dari tadi, lo budek ya?" pekik seorang cewek berambut hitam lurus panjang.

"Maaf kak, saya kira kakak bukan manggil saya."

Cewek itu bernama Keyva Andra. Yang Dearni liat dari nametag yang berada di bagian depan seragam sebelah kiri. Keyva tersenyum sinis. Kedua teman Keyva terlihat saling melempar kode.

"Gua peringatin sama lo. Jangan dekat-dekat sama Mahera!"

"Saya, ga pernah dekat-dekat sama dia kok. Jadi santai aja. Ada lagi?" jawab Dearni dengan cepat.

Keyva memajukan langkah kakinya  membuat Dearni merasa terkunci. Kedua teman Keyva pun tidak tinggal diam, mereka berdua kompak mengurung Dearni.

"Sopan dikit lo sama gua! Gua kakak kelas lo!"

Dearni mendorong tubuh Keyva. Otomatis membuat Keyva melangkah mundur begitu pun dengan kedua teman Keyva. Suasana lorong koridor lantai satu saat itu sudah sepi.

"Maaf kak, kalau begitu. Saya izin pamit, bel masuk sudah bunyi sejak tadi. Saya duluan kak!" ucap Dearni yang malas berdebat. Dan memilih kabur.

Terdengar hentakan kaki kekesalan Keyva, yang merasa tidak dihirau 'kan.  Sementara itu, Dearni tidak peduli ia memilih berjalan cepat menuju ruang kelas.

"Awas lo!"

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang