Tujuh jam tiga puluh menit lagi sebelum Rabu berganti menjadi Kamis, sebelum tanggal 18 Desember berganti menjadi 19 Desember. 19 Desember yang kesekian kalinya dalam hidup gue. Benar-benar kesekian kalinya karena gue sudah malas menghitung. I lost count since that day. Tujuh jam tiga puluh menit yang selalu menjadi saat-saat yang tepat untuk merefleksi hidup setahun terakhir. Apakah goals gue sudah tercapai? Apakah gue menjadi lebih baik? Apakah sudah berbuat kebaikan? Apakah sudah merasa cukup? Apakah sudah saatnya untuk melepaskan yang harus dilepaskan? Dan masih banyak apakah-apakah lain yang memenuhi pikiran.
Sore ini Entropy Cafe cukup lengang. Mungkin karena di luar sedang hujan. Atau mungkin karena masih hari kerja. Entahlah. Tapi rasanya sore ini adalah sore yang pas hingga gue mendengar alunan intro The One That Got Away yang dibawakan Boyce Avenue dari speaker kafe. Duh, ini pasti ulah salah satu anak part time baru yang belum ditraining. Aturan tidak tertulis yang ada di kafe gue adalah boleh memutar lagu apapun selain The One That Got Away. Lagu itu terasa ... sakit untuk didengarkan.
Gue sedang diam dan pasrah dengan memori-memori yang mulai memasuki pikiran dan hati saat dari dapur belakang, Jackson, barista andalan gue berlari tergopoh-gopoh sambil berteriak, "Sorry, bang! Belum gue kasih tau ini anak baru. Ini mau gue matiiin kok."
Gue menghela napas panjang. "Enggak usah. Biarin aja lagunya."
Jackson yang sudah sampai di belakang laptop untuk mematikan lagunya terlihat bingung. "Yakin, Bang?"
Gue mengangguk. "Iya."
Iya. Gue yakin. Gue harus yakin. Mungkin memang ini saatnya. Maybe it's the right time for me to do this.
Summer after high school, when we first met
We'd make out in your Mustang to Radiohead
And on your 18th birthday, we got matching tattoosGue menghela napas panjang sekali lagi saat Alejandro mulai menyanyikan bait pertama. Bait yang terasa sangat gue dan ... Gale.
Gale yang lucu. Gale yang cantik. Gale yang ramai. Gale yang selalu dikira laki-laki. Gale tetangga sebelah rumah yang selalu bad mood saat menerima paket karena Pak Pos pasti selalu bilang, "Paket buat Bapak Gale ya, Mbak," padahal Gale sendiri yang menerima. Gale yang selalu jadi tandem buy one get one. Gale yang waktu masih kecil selalu menangis saat Satria dan Jae menggodanya dengan candaan bahwa Gale sebenarnya adalah anak dari Sigale-gale, boneka mistis dari Samosir. Gale yang selalu berani naik ke pohon mangga tapi enggak pernah berani turun sebelum gue datang.
Gale-nya Mas Bra.
Gue tersenyum saat menyadari bahwa gue kembali menyebut diri gue sendiri dengan sebutan Mas Bra. Sebutan dari Gale yang awalnya sangat gue benci karena ... hell, bra doesn't sound nice, right? Bisa dikira mas-mas pervert gue. Tapi nyatanya, panggilan itu kini terasa manis.
"Panggil Mas Bri aja kenapa, sih? Bra tuh kayak underwear cewek, Le."
"Ih, kan namanya Brian. Should be pronounced as bra-yen. Jadi ya Bra aja."
"Tapiㅡ"
"Pokoknya Mas Bra. Titik."
Sangat manis hingga kini gue tidak sadar bahwa layar smartphone yang ada di genggaman sudah membuka satu folder berisi foto-foto Gale. Folder yang selalu berada di tempat tersembunyi dan gue kunci. Tidak ada siapapun yang tahu. Tidak Satria, tidak juga Jae.
Le, besok Mas ulang tahun. Dan hari ini ada part-timer yang muter lagu kita, Le. Memang salah Mas sih belum ngasih tahu. Tapi kan harusnya kalau hujan kayak gini jangan muter lagu itu ya, Le. Kan Mas jadi inget kamu.
Kamu apa kabar, Le? Mas Bra di sini berusaha buat selalu baik. Berusaha buat berjuang melanjutkan hidup. Mas Bra kangen kamu, Le. Kangen pas kamu tiba-tiba random ke rumah masih pakai seragam SMA habis UN dan bilang,