Suara telepon tiba-tiba membuyarkan lamunannya, entah berapa lama ia melamun menghadap jendela kaca gedung tinggi itu. Pada layar ponselnya tertulis nama kontak yang tak asing lagi, "Ayah".
"Halo, assalamualaikum," terdengar suara pria tua diujung telpon.
"Waalaikumusalam."
"Zamil, bagaimana kabarnya perusahaan kita?, apa inflasi bulan ini berpengaruh besar terhadap perusahaan?"
"Tidak menjadi masalah, masih bisa diatasi dengan baik."
"Jangan terlalu berani mengambil risiko, jaga perusahaan itu baik-ba.."
Belum sempat Ayahnya menyelesaikan perkataannya, Zamil langsung menutup telpon dengan sedikit kesal. Bukannya menanyakan keadaan putra satu-satunya, Ayahnya justru menghawatirkan perusahaan yang belum lama dipercayakan pada Zamil. Mungkin dalam pikiran Zamil perusahaan itu adalah anak sebenarnya dari Ayahnya, sedangkan dia tak lebih dari seorang pesuruh yang tak diperhatikan.
Kini telepon kantor diatas mejanya yang berdering, Zamil tahu persis apa yang akan dikatakan orang pada saluran telepon tersebut.
"Ya," ucap singkat Zamil.
"Maaf Pak, Bapak sudah ditunggu diruang rapat," sekertarisnya kembali mengingatkan.
"Batalkan semua rapat dan jadwal hari ini, saya ada urusan yang lebih penting," perintah Zamil pada sekertarisnya.
Zamil segera pergimeninggalkan kantornya tanpa memikirkan tanggung jawabnya sebagai seorangpimpinan. Ia tak ingin semakin dipusingkan oleh perusahaan yang sangat disayang Ayahnya itu. Ia terus berjalan menyusuri trotoar tanpa tahu arah tujuan, saat ini hanya sebuah ketenangan yang ingin ia cari.
***
Setelah jauh berjalan kaki, Zamil memutuskan untuk kembali keparkiran kantornya. Dengan baterai ponsel yang kehabisan daya, dia tidak bisa menyuruh Ujang untuk menjemputnya. Sedangkan hari sudah semakin sore, jalanan semakin padat oleh kenderaan pada jam pulang kantor. Dari kejauhan ia melihat sosok wanita sedang memberikan bungkusan makanan pada seorang pria tua bertongkat, paras wanita itu sangat ia kenali. Wanita yang seketika meberikan ketenangan pada hidup Zamil. Perlahan ia menghampiri, wanita itu yang tampak cantik disinari cahaya jingga mentari senja. Diapun menyadari keberadaan Zamil lalu menyambutnya dengan senyuman dan binar mata yang indah.
"Eh, Mas Mil, dari mana?, kok jalan kaki?" kini Fira mempunyai panggilan khusus untuk Zamil, dan masih bertanya dengan lugu seperti biasanya.
"Sesekali gapapakan jalan kaki, capek naik mobil terus."
"Dasar orang aneh, justru jalan kaki yang bikin capek, diatas mobil mah tinggal duduk, adem lagi," celoteh Fira memperlihatkan ekspresi lucunya yang ditunggu-tunggu Zamil.
"Lalu kamu sendiri mau kemana?"
"Ya pulanglah, mau kemana lagi, bentar lagi magrib."
"Pulangnya aku antar ya, tapi jalan kaki."
"Nggak usah Mas, rumahku masuk gang-gang sempit lho, entar Mas Mil nyasar pulangnya."
"Kan bisa nanya sama orang Ra, inikan tengah kota bukan tengah hutan."
"Ya udah, tapi aku nggak jamin sepatu Mas yang mengkilap itu akan selamat dari becekan sepanjang jalan."
"Yaelah, Cuma sepatu doang, jebol juga gapapa. Asalkan tuan putri sampai dengan selamat."
"Hahaha.. mana ada tuan putri yang tinggal didalam gang, adanya tikus got noh," Fira tertawa dengan gombalan receh Zamil.
Mereka terus mengobrol sepanjang jalan, bersenda gurau seperti orang yang telah lama saling kenal. Padahal mereka berdua baru bertemu seminggu yang lalu, tapi telah sangat akrab dalam waktu yang sebentar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dentum Rindu
Storie d'amorepercayakan saja pada rindu, dentumannya akan menjawab semua tanyamu