Akhir Mei, 2015
UtahBarangkali apa yang dikatakan Manu kala malam kelulusan itu benar adanya. Seseorang mana mungkin bisa mengubah dirinya secara drastis. Ia meyakinkanku seperti itu. Belum lagi pernyataan lain yang dilontarkan Jackie seakan memberi dukungan pada apa yang telah dikatakan Manu.
Bagaimana bisa aku mengubah diriku? Aku labil. Selalu berpakaian longgar. Gadis yang tidak pernah mau memamerkan lekuk tubuhnya seperti yang dilakukan gadis-gadis lain—atau setidaknya Jackie. Gadis yang selalu mencoba untuk tidak menggubris apa kata orang. Si gadis baik.
Mungkin kebiasaan yang seperti itu masih bisa ditolerir jika aku masih berada di Utah. Namun sebentar lagi gadis Salt Lake ini akan berubah menjadi gadis London—kota tempat banyak budaya bertemu.
Jackie bilang aku harus mewarnai rambutku menjadi coklat. Ia pernah bilang padaku bahwa orang berambut pirang sering dianggap sebagai turis bodoh atau semacam lelucon bagi sebagian orang. London itu pusatnya manusia, A. Semua jenis ada di sana. Kira-kira begitulah yang Jackie katakan padaku. Jackie sendiri adalah seorang gadis berdarah Meksiko murni.
"A, sungguh, kau harus ikuti apa yang kukatakan." Jackie mengangkat kedua tangannya dari meja kedai, tapi tetap meninggalkan sikunya menempel. Ia mengisyaratkan perubahan dengan telunjuknya yang menunjuk arah rambut dan menggambarkan lingkaran tak terlihat, lalu mengarah ke arah bawah dan atas seakan sedang menjelaskan peningkatan pada skala perekonomian. "Wanita berambut pirang punya resiko besar untuk dipermainkan."
"Nuh-uh." Aku menggeleng sambil memejamkan mata dan menggerakkan telapak tangan ke depan dengan dramatis. "Kau bilang hanya sebagian orang. Jadi, ayo, kita berharap saja kalau aku akan bertemu dengan sebagian yang lain agar tak diperlakukan dengan buruk."
Saat itu juga pintu kedai terbuka. Semua orang menoleh karena suara yang dihasilkan cukup kencang. Benar saja, itu Manu dengan kebiasaan berlarinya. Ia pasti punya sesuatu yang sangat penting—menurutnya—untuk dikatakan.
"Teman-teman!" serunya sesaat setelah ia mendaratkan bokongnya di atas bangku. Ia sekarang di sebelahku. Jackie, seperti biasa, memutar bola mata.
"Emmanuel, ya Tuhan. Setidaknya biarkan ragamu bernapas barang sedetik saja." Aku bermaksud untuk menenangkannya.
"Tidak. Tidak bisa, A." Manu menggeleng. "Ini sangat, sangat penting."
"Cepat katakan sebelum meteor sebesar Menara Sears jatuh ke kedai ini." cerca Jackie.
"Jack, bisakah kau diam dan menyimak barang sedetik saja? Setidaknya kau bisa menghargai usahaku mengebut dengan minivan ayahku di tengah jalanan sambil diperhatikan oleh anjing-anjing yang sedang menikmati udara sejuk penghujung musim semi."
Aku tertawa melihat Manu mengatakan semua itu dalam satu tarikan napas.
"Oh, sungguh?" erang Manu. "Kau juga, A?"
Aku menggeleng dan mengeluarkan cengiran bersalahku. "Jadi," Aku berdeham. "apa yang ingin kau sampaikan?"
"Penting?" tanya Jackie mengejek.
"Seperti yang kubilang tadi, sangat, sangat penting." Nada bicara Manu semakin dramatis. Ditambah lagi dengan jari telunjuknya yang digerakkan.
Kali ini Manu yang berdeham. Aku menaikkan alis mataku sebelah dan cukup yakin sekarang aku terlihat seperti Para Plastik—julukan yang menurut Jack paling tepat untuk Bridget Perkasa dan gengnya.
Manu menarik napas, lalu berkata dengan cepat. "Benhur Bridgers mengadakan pesta di rumahnya malam ini."
"SHUT UP!" pekikku sambil membanting meja dan berdiri. Aku bisa merasakan paru-paruku memaksa untuk keluar dan meloncat dari tempatnya. Tapi, selang sepersekian detik aku sadar bahwa semua orang di kedai ini memerhatikanku dengan risih. Lagi, aku menyengir tanda bersalah dan meminta maaf.
Aku masih tak percaya karena Benhur Bridgers—orang yang diam-diam kutaksir, semoga ini bisa membuat masuk akal mengapa aku berteriak seperti kesetanan—bukanlah seorang murid populer. Namun entah kenapa bisa acara ini tersebar begitu cepat. Barangkali Emily Si Plastik, mantan kekasih Benhur yang melakukannya.
Sebelum aku membuka mulut lagi—aku yakin Manu takut harga dirinya makin jatuh—Manu berkata, "Gadis Avery itu yang mengatakannya."
Oh, aku percaya sekarang. Lauren Avery si gadis bertubuh tinggi dengan bintik di hidungnya. Ia ada di kelas sejarah yang sama denganku sepanjang kelas duabelas. Ia ramah dan dapat diandalkan.
"Manu, apa kau keberatan jika van-mu yang malang itu digunakan untuk perjalanan kita ke suatu tempat?"
Oh, boy.
Aku mencium sesuatu berbau rencana bodoh. "Sungguh, Jack?" Aku memelas dramatis.
"Oh, tidak. Tak apa." kata Manu tersenyum bahagia bak seorang ibu yang justru bangga melihat anak perempuannya menghilangkan keperawanannya. "Tidak membayar bensin pun tak apa."
Bodoh sekali Manu menjawab begitu. Tapi, lebih bodoh lagi ketika aku membiarkan diriku terseret secara lahir dan batin oleh bujukan setan Jackie dan tarikan maut tangan Manu.
● ● ●
Kami tiba di Cake lima menit kemudian. Manu memang sinting. Jackie menawarkan kupon diskon kacamata hitam retro yang Manu idam-idamkan selama ini. Segera saja secepat cahaya ditancapkannya gas van malang itu.
Cake adalah sebuah salon. Hanya berjarak sekitar limabelas menit dari rumahku. Ibu dan kakakku Louanne sering mengajakku ke sini setiap dua pekan.
Benar saja, ketika kami sudah duduk manis di ruang tunggu, Donnilah memampangkan wajah kagetnya. Ia berusaha menunjukkan senyum ramahnya ketika melihatku di situ tanpa melakukan reservasi sebelumnya.
Aku yakin ia tidak mau mengecewakan salah satu pelanggan setianya sehingga ia menyuruhku duduk dan bertanya mau seperti apa aku ingin rambutku ditata.
"Oh, Miss, bisakah kau potong dan warnai saja rambutnya?" kata Jackie. Aku yakin itu bukan pertanyaan, tapi perintah. "Tapi jangan terlalu pendek. Aku tidak mau dibunuh Ibunya."
Potong?!
Jackie tidak menyinggung sesuatu yang berhubungan dengan potong-memotong saat kegiatan berkendara gila itu dilakukan. Mom bakalan tidak terima.
Tapi bodohnya, Donnilah malah tersenyum simpul dan mendukung Jackie. "Tenang saja. Liz takkan membunuhmu hanya karena mengubah visualisasi putri bungsunya."
Ya, Donnilah dan Mom memang cukup dekat. Bahkan terkadang mereka suka melakukan kegiatan tukar menukar kue dengan para pelanggan salon lain—yang sering berakhir dengan acara gosip.
"Kau tahu, Don?" Aku menatap Donnilah dari pantulan cermin. "Mom takkan menyukai ini."
Donnilah hanya tersenyum.
"Uh-uh." Manu menggoyang-goyangkan telunjuknya ke depan tanda menolak. "Dia pasti akan mengatakan, 'Oh, my sweet Orion!'"
Aku memutar bola mata. Mereka semua tertawa.
"Percayalah, walau Ibumu sangat menyayangkan pirang ini dipotong, ia akan lebih menyayangkan ketika putrinya tak bisa berekspresi. Lagipula, kau kan sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu."
Donnilah benar. Mungkin mulai dari sini aku harus belajar mandiri. Dan mungkin agak spontan.
● ● ●
Klise, ya? Sayangnya, cuma ini aja muncul dari pikiran saya sekarang. Kalau kalian ada feedback, jangan malu malu buat comment. Saya butuh banget biar kita bisa sama sama membangun cerita ini. Juga sama vote-nya boleh! <3
Makasih! (っ◔◡◔)っ
Rabu, 1 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way You Run Away To
FanfictionOrang-orang di Salt Lake tahu Orion Asiana Fitzgerald-yang hanya ingin dicap sebagai A-itu gadis yang lugu. Tak pernah keluar dari zonanya. Tak pernah mengintip ke dunia dimana anak-anak lain selalu berkunjung ke sana. Namun, suatu malam ia meningg...