Desember, Hujan dan Luka

3 0 0
                                    

Marni, 19 Tahun. Pelajar

Batinku masih sering menyebut namanya, mengingat wajahnya, sorot matanya, senyumnya, suaranya, seperti serangkaian film yang terus terputar 24 jam tanpa henti.

Kemudian setelah itu, aku mulai bertanya, sedang apa dia pagi ini?
Apakah dia merindukanku?
Atau sekedar mengingatku..
Setelah berkali-kali luka yang ia lontarkan padaku.

Aku masih berharap. Mungkin kau berfikir aku bodoh, menyedihkan, atau apalah itu.
Tapi sungguh, perasaan ini, hanya aku yang tau seberapa besar skalanya.

Begitu juga rindu. Anehnya aku sakit hati dan rindu padanya secara bersamaan.
Setelah sekelumit harapan yang ia beri tanpa kepastian.
Aku dibuatnya menunggu tanpa jaminan.

Yah, aku memang bodoh, aku menyadarinya..
Tapi perasaan ini terlalu impulsif untuk diabaikan.

Agamaku bilang, ketika hujan turun, berdoalah..karena rahmat Tuhan turun berkali-kali lipat di sana. Manatau doamu akan dikabulkan dengan segera.

Sungguh, aku selalu berdoa tiap bumi kebasahan. Namun doaku bukan lagi untuk dipersatukan dengannya, tidak. aku terlalu lancang untuk meminta itu. Seperti memaksakan takdir yang bukan untukku.
Aku berdoa pada Tuhanku agar Dia mencabut perasaan yang sia-sia ini.

Angan-angan yang berhembus seperti angin senja ini. Tapi alih-alih melupakannya, perasaan ini semakin kuat. Lalu aku berpikir, apakah Tuhan sedang mengujiku??

Dengan perasaan yang begitu rumit ini. Aku bertahan semampuku. Menahan perasaan yang mulai tumbuh menjadi luka-luka kecil ini. Jika sang penentu takdir tak menghendaki kita bersatu, cukuplah hujan yang tau, seberapa deras doa yang kuhantarkan..untuk menghapus luka-luka dan bayang-bayangmu..

-Makassar, 19/12/19-

Jurnal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang