Tuti, 21 tahun. Mahasiswi
Hari ini dia kembali menelfonku. Bercerita tentang sibuknya akhir pekan yang ia lewati sampai-sampai untuk makan saja tidak ada waktu. Tapi masih sempat menelfonku. Ia juga bercerita tentang susahnya mencari bahan skripsi yang tengah ia susun. Tentang teman-temannya yang usil menyembunyikan kunci motornya dan blaa blaa blaa..
Yah, tak ada hari yang ia lewatkan tanpa menelfonku. Mungkin ia fikir hanya aku satu-satunya wadah yang bisa ia datangi kala kepenatan merundungi isi kepalanya. Tapi taukah kau? Ia tak pernah menanyakan keadaanku sedikitpun. Sudah tiga tahun kami pacaran.
Semenjak tahun-tahun itu pula, aku merasa berjuang sendiri. Sesekali aku ingin curhat padanya. Mengeluh tentang mahalnya biaya study tour ke luar kota. Belum lagi rasanya ditinggal teman-teman yang sudah wisuda. Atau sekedar bercerita lepas tentang kegiatan seharian di kampus. Hal-hal receh seperti itu, ingin sekali kucurahkan padanya.
Tapi sepertinya dia bukan tipe pendengar yang baik. Setiap aku bicara sepatah dua patah kata, ia selalu menyelanya. Mengganti dengan topiknya yang semuanya tentang dia, dia dan dia!
Pernah sekali, temanku mampir ke kostan. Kami ada tugas kelompok yang harus diselesaikan hari itu juga. Ditengah kesibukan kami, dia menelfon. Mungkin dia melewati hari yang buruk saat itu. Dengan basa-basinya yang bertanya "lagi ngapain?" atau "sudah makan?" aku tau percakapan ini akan terasa panjaang dan membosankan.
Lagian aku juga tidak berniat mendengarkannya lebih jauh, toh ada temanku disini yang juga tengah bertukar pikiran denganku. Jadi aku berniat untuk menyudahi telfon dengannya hari itu. Namun respon yang kuterima sungguh berlebihan. Ia marah, dan berkata
"yaudah, sekarang aku tau, lebih penting temenmu daripada aku.."
Dia ngambek seperti anak-anak dan menutup telfonnya. Tapi ya sudahlah. Yang ingin kukatakan adalah, dia seharusnya tau dan mengerti, bahwa bukan hanya dia yang menjadi pusat duniaku. Aku juga punya kehidupan sendiri. Teman sendiri. Dan cerita sendiri untuk dibagi kepadanya.
Bukan aku tidak mau mendengarkannya. Meski melelahkan, aku pasti mendengarnya. Tapi waktunya tidak tepat. Dia bisa menelfon nanti malam. Saat waktu senggang. Atau, yah kapan-kapan lah kalau aku sudah tidak sibuk dan siap mendengar semua curahan hatinya meski dia tidak pernah membuka telinga untukku.
But, it's ok. Ldr itu memang tidak mudah. Ditambah lagi jika pacarmu memiliki tingkat keegoisan yang tinggi. Bersiaplah bersabar. Tentang waktu yang harus dibagi. Tentang jam-jam menelfon, tentang kakhawatiran yang harus diredam. Tentang kepercayaan yang harus di pegang kuat-kuat. Tentang hati yang berjuang menahan rindu.
Meski dia dan dunianya sudah menjadi makanan sehari-hariku. Tapi aku tetap menyayanginya. Mungkin karena dia tidak pernah ingkar janji. Dan menyayangiku dengan segenap kekuranganku. It's ok. Di lain hari, saat kami bertemu, saat cuacs cerah dan angin berhembus pelan. Saat senja sore tengah berarak di langit, saat aroma laut menenagkan kami.
Akan kukatakan padanya. Bahwa aku juga ingin membagi sedikit warna duniaku padanya. Bahwa kadang aku menunggu untuk menjabarkan hal-hal kecil yang menurutuku mengganggu jika tidak diutarakan padanya. Bahwa kita akan semakin dewasa jika bisa menanggung segalanya bersama.
-Jojga, 21/12/19-
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Hati
Non-Fictionrangkaian kata-kata dari batin yang bicara, dan bibir yang terlihat bungkam..siapa tau, kau juga pernah merasakan hal yang sama.