Aku menyadari bahwa aku telah kehilangan ayah sejak 12 tahun yang lalu. Aku telah menginjak kelas XII SMK. Hari itu adalah hari ini, 8 Agustus , yaitu hari dan bulan saat ayah meninggal bertepatan dengan ulang tahun ibuku. Miris bukan? Aku sebenarnya berharap tidak akan menceritakan ini pada lebih banyak orang kecuali orang tertentu, aku tidak ingin orang lain merasa hidupku menyedihkan, padahal sesungguhnya aku sudah sangat stabil dengan apa yang aku jalani. Aku menikmati hidupku. Aku sudah melewati fase fase kehilangan terberat itu. Tapi kondisinya membuatku harus menceritakan ini,karena tipe sahabat sahabatku sepertinya orang yang sangat penasaran. Dan mereka memberiku pengalaman bahwa mengapa berteman harus lebih dari satu orang? Karena kita harus saling berbagi, entah itu berbagi beban, suka ataupun duka. Bersama mereka aku selalu terhibur hingga aku lupa jika aku juga punya beban.
Mungkin ini sangat terlihat luar biasa bagi orang lain. Namun bagiku ini sudah biasa. Bukan muak atau bosan, tapi justru aku sudah biasa untuk mempertahankannya. Mempertahankan prestasi yang selama ini telah aku raih. Pertama kali aku mendapatkan peringkat dua di kelas VIII SMP merupakan kebanggaan yang sangat mengharukan bagi ibu. Ia pernah berfikir aku bodoh, tidak akan bisa mengejar apa yang aku inginkan. Mengetahui hal itu tidak akan mematahkan semangatku. Justru aku menjadikannya tonggak agar aku bisa menjadi yang diharapkan. Ibuku tak menyangka, ia hampir menangis saat dipanggil pembawa acara naik ke atas panggung untuk mengambil piala dan sertifikat atas namaku di acara perpisahan kelas IX. Ia langkahkan kakinya yang pincang dengan berjalan tertatih tatih dituntun oleh beberapa guruku, memang benar waktu itu ibu tengah sakit kaki yang parah. Mungkin jika tidak segera berobat ia harus pasrah menggunakan kursi roda. Bahkan guruku yang bertugas sebagai seksi dokumentasi yang sedang mencari spot foto yang bagus pada objek panggung teralihkan pandangannya menuju ibuku dan membantunya naik ke panggung yang cukup bisa dibilang sangat tinggi. Aku senang melihat ibu bangga atas keberhasilan anaknya disaat sang ibu berjuang untu melawan penyakitnya.
Tahun berikutnya, aku mampu bertahan menjadi peringkat dua di kelas berturut turut sampai aku berada di bangku SMK kelas XII. Aku jadi teringat, ayah pernah bilang padaku saat kecil dulu, kalau aku harus dan pasti menjadi wanita hebat saat besar nanti. Ayah tidak pernah bilang bagaimana caranya bahkan aku tidak pernah tahu apa yang ayah maksud dengan kata “ Hebat”
Entah dengan menjadi wanita karier yang meraih berbagai penghargaan, lalu punya gelar panjang di depan atau di belakang nama atau mungkin menjadi seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai isteri yang baik serta ibu yang tak pernah lelah mendengar keluh kesah anaknya.
Atau..
Atau entahlah..!Tapi senyum ayah menjadi alarm dikepalaku. Senyum ayah adalah tanda bahwa aku sudah melangkah satu demi satu langkah menjadi wanita yang hebat. Aku berjanji, senyuman ayah tak akan hilang dalam ingatan walau ia sudah pergi.
Tentu saja! Aku selalu mendoakan ayah setiap malam, agar ayah tenang disana. Agar disana, ayah bisa melihatku melalui semuanya, walau ia tak harus berdiri saat aku wisuda, walau aku mau ayah bangga melihatku sudah bekerja suatu saat nanti, aku mau ayah menikmati gaji pertamaku. Aku ingin ayah bangga! Dan berkata aku sudah menjadi wanita yang hebat!
Tapi semua itu membuat tetes demi tetes air mataku berjatuhan bersamaan dengan lututku yang melemas. Aku meluruh jatuh ke lantai. Tak ada rasa sakit saat kulitku menyentuh kerasnya ubin. Yang terasa justru perasaan begitu sedih dan hampa. Di kamar ini, hanya terdengar isak tangisku, tak akan ada yang mendengarnya kecuali Tuhan dan ayah disana.
“Ayahmu meninggal bukan artinya meninggalkan kamu, ibumu, kakakmu atau siapapun yang disayangi dan menyayanginya. Dia justru berada di tempat yang lebih baik untuk mengawasi kalian, mencintai kalian dengan cara yang baru” Suara itu? Vinda? Itu hanya halusinasi yang terlintas di pikiranku,hanya sebuah memori yang berputar di kepalaku saat kami kelas enam SD menuju masa masa perpisahan, ia sempat mengatakan itu.
Pernah suatu ketika, saat aku dan keluargaku kesulitan untuk membiayaiku sekolah, hutang kami menumpuk, semua tagihan pembayaran terus menekan kami dan ibu menenangkanku dengan senyuman walau aku tahu itu hanya senyum palsu yang diutarakan demi menutup kesedihan
“Tak apa nak, untunglah sejak SD kamu mendapat beasiswa dan keringanan, ibu tidak perlu memikirkannya terlalu berat” Ucapnya sambil menyiapkan sarapanku.
“Iya bu, ibu benar selain beasiswa prestasi aku juga dapat beasiswa anak yatim. Kita masih kebantu dengan itu” Jawabku seraya menalikan tali sepatu yang sudah terpasang dikakiku.
“Iya nak,ternyata kepergian ayahmu masih membawa rezeki bagi kita”. Aku meneguk ludahku kasar mendengar perkataan ibu, kulanjutkan dengan mengambil minum.
“Yaa..emm...karena kita keluarga bu, ayah tidak akan pernah melupakan kita hehehee” Aku selingi dengan tawa renyahku dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Lagipun sesalku tak kan dapat memelukmu, ayah, dan harapku tak akan mampu untuk mengembalikanmu.
Setiap saat kami merasa begitu sulitnya kehidupan. Aku berusaha semampuku membantu ibu. Kalian tau? Ibuku sudah tidak terbilang muda lagi, dia bahkan sudah tergolong manusia lanjut usia karena sudah menginjak umur 64 tahun, sedangkan umur orang tua teman teman sebayaku masih berumur sekitar kepala tiga atau empat. Pantaslah jika ibuku sudah tak sekuat dulu, tulang yang mudah rapuh tak setegas diwaktu aku masih kecil, tidak dapat melakukan pekerjaan berat sementara ia harus membiayaiku sekolah hingga tamat. Andai aku terlahir sebagai seorang laki laki mungkin aku sudah berhenti sekolah saja dan bekerja sebagi kuli bangunan untuk meringankan beban ibu. Mataku terpejam sejenak dan ketika aku membuka mata, aku sudah berada di meja belajar kamarku. Aku raih buku gambar serta pensil. Kumulai dari goresan hingga berakhir menjadi sketsa gambar. Dengan bakat menggambarku, aku ambil kesempatan untuk melakukan hal kreatif yang dapat dijual dan menghasilkan uang. Dengan bantuan dari Kaka, adik keponakanku, anak dari kakakku yang kini sudah kelas 5 SD, aku bisa mempromosikan gambaranku ke anak anak di sekolahnya. Tampaknya ideku berhasil, aku mendapatkan uang dengan menjualnya. Setelahnya teman kakakku menyuruhku mendekorasi properti kuda lumping miliknya dengan karyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYAH [END] ✔
Não FicçãoHanya sebuah kisah terpurukku yang selalu berharap kembalinya ayah. Berjuang melewati masa sulit dalam kerasnya kehidupan untuk bertahan hidup dan meraih sebuah impian menjadi wanita hebat seperti yang ayah harapkan Rindu? Jelas! karena ia telah me...